BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Madrasah
Kata madrasah dalam bahasa Arab berarti tempat
atau wahana untuk mengenyam proses pembelajaran[1].
Dalam bahasa Indonesia madrasah disebut dengan sekolah yang berarti bangunan
atau lembaga untuk belajar dan memberi pengajaran[2].
Karenanya, istilah madrasah tidak hanya diartikan sekolah dalam arti sempit,
tetapi juga bisa dimaknai rumah, istana, kuttab, perpustakaan, surau,
masjid, dan lain-lain, bahkan seorang ibu juga bisa dikatakan madrasah
pemula[3].
sementara Karel A. steenbrik justru membedakan antara madrasah dan sekolah-sekolah,
dia beralasan bahwa antara madrasah dan sekolah mempunyai ciri yang berbeda[4].
Meskipun demikian, dalam konteks ini penulis cenderung untuk menyamakan arti
madrah dan sekolah.
Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa
madrasah adalah wadah atau tempat belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu
pengetahuan keahlian lainnya yang berkembang pada zamannya. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa istilah madrasah bersumber dari Islam itu sendiri.
B. Latar Belakang Berdirinya Madrasah
Madrasah mulai didirikan dan berkembang pada abad
ke 5 H atau abad ke-10 atau ke-11 M. pada masa itu ajaran agama Islam telah
berkembang secara luas dalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan, dengan
berbagai macam mazhab atau pemikirannya. Pembagian bidang ilmu pengetahuan
tersebut bukan saja meliputi ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an dan
hadis, seperti ilmu-ilmu al-Qur’an, hadits, fiqh, ilmu kalam, maupun ilmu
tasawwuf tetapi juga bidang-bidang filsafat, astronomi, kedokteran, matematika
dan berbagai bidang ilmu-ilmu alam dan kemasyarakatan[5].
Aliran-aliran yang timbul akibat dari
perkembangan tersebut saling berebutan pengaruh di kalangan umat Islam, dan
berusaha mengembangkan aliran dan mazhabnya masing-masing. Maka terbentuklah
madrasah-madrasah dalam pengertian kelompok pikiran, mazhab atau aliran. Itulah
sebabnya sebagian besar madrasah didirikan pada masa itu dihubungkan dengan
nama-nama mazhab yang masyhur pada masanya, misalnya madrasah Syafi’iyah,
Hanafiyah, Malikiyah atau Hanbaliyah.
Berdasarkan dengan keterangan di atas, jelaslah
bahwa penggunaan istilah madrasah, sebagai lembaga pendidikan Islam maupun
sebagai aliran atau mazhab bukanlah sejak awal perkembangan Islam, tetapi
muncul setelah Islam berkembang luas dan telah menerima pengaruh dari luar sehingga
terjadilah perkembangan berbagai macam bidang ilmu pengetahuan dengan berbagai
macam aliran dan mazhabnya.
Pada awal perkembangan Islam, terdapat dua jenis
lembaga pendidikan dan pengajaran, yaitu kuttab yang mengajarkan
cara menulis dan membaca al-Qur’an, serta dasar-dasar pokok ajaran Islam kepada
anak-anak yang merupakan pendidikan tingkat dasar. Sedangkan masjid
dijadikan sebagai tingkat pendidikan lanjutan pada masa itu yang hanya diikuti
oleh orang-orang dewasa. Dari masjid-masjid ini, lahirlah ulama-ulama besar
yang ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan Islam, dan dari sini pulalah
timbulnya aliran-aliran atau mazhab-mazhab dalam berbagai ilmu pengetahuan,
yang waktu itu dikenal dengan istilah madrasah[6].
Kegiatan para ulama dalam mengembangkan ajaran Islam di tengah-tengah
masyarakat Islam maju dengan pesatnya, bahkan dari satu periode ke periode
berikutnya semakin meningkat.
Untuk menampung kegiatan khalaqah yang semakin
banyak, sejalan dengan meningkatnya jumlah pelajaran dan bidang ilmu pengetahuan
yang diajarkan, maka dibangunlah ruangan-ruangan khusus untuk
kegiatan khalaqah atau pengajian tersebut di sekitar masjid. Di
samping dibangun pula asrama khusus untuk guru dan pelajar, sebagai tempat
tinggal dan tempat kegiatan belajar mengajar setiap hari secara teratur, yang
disebut dengan zawiyah atau madrasah yang pada mulanya hanya dibangun
di sekitar masjid, tetapi pada perkembangan selanjutnya banyak dibangun secara
sendiri[7].
Pada hakikatnya timbulnya madrasah-madrasah di
dunia Islam merupakan usaha pengembangan dan penyempurnaan kegiatan proses
belajar mengajar dalam upaya untuk menampung pertumbuhan dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan jumlah pelajar yang semakin meningkat dan bertambah setiap
tahun ajaran.
C. Kontribusi Madrasah terhadap
Indonesia; kajian historis dan visioner
Sementara itu, madrasah boleh dikatakan sebagai
fenomena baru dari lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia, yang
kehadirannya sekitar permulaan abad ke-20[8].
Namun dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajarannya masih belum punya
keseragaman antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, terutama sekali
menyangkut kurikulum dan rencana pelajaran. Usaha ke arah penyatuan dan
penyeragaman sistem tersebut, baru dirintis sekitar tahun 1950 setelah Indonesia
merdeka. Dan pada perkembangannya madrasah terbagi dalam jenjang-jenjang
pendidikan; Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.
Salah satu pilar pendidikan nasional adalah
perluasan dan pemerataan akses pendidikan. Upaya perluasan dan pemerataan akses
pendidikan yang ditujukan dalam upaya perluasan daya tampung satuan pendidikan
dengan mengacu pada skala prioritas nasional yang memberikan kesempatan yang
sama bagi seluruh peserta didik dari berbagai golongan masyarakat yang beraneka
ragam baik secara sosial, ekonomi, gender, geografis, maupun tingkat kemampuan
intelektual dan kondisi fisik. Perluasan dan pemerataan akses memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya bagi penduduk Indonesia untuk dapat belajar
sepanjang hayat dalam rangka peningkatan daya saing bangsa di era globalisasi.
Pendirian madrasah oleh para pemuka muslim di
berbagai pelosok negeri memainkan peranan yang sangat penting dalam membuka
akses bagi masyarakat miskin dan terpencil untuk memperoleh layanan pendidikan.
Komitmen moral ini dalam kenyataan tidak pernah surut, sehingga secara
kelembagaan madrasah terus mengalami perkembangan yang sangat pesat hingga
sekarang. Berdasarkan statisik pendidikan Islam tahun 2007, laju pertumbuhan
madrasah dalam lima tahun terakhir mencapai rata-rata kisaran 3% per tahun dan
lebih dari 50% madrasah berada di luar Jawa yang terdistribusi di daerah
pedesaan.Sumbangan madrasah dalam konteks perluasan akses dan pemerataan
pendidikan tergambar secara jelas dalam jumlah penduduk usia sekolah yang
menjadi peserta didik madrasah. Pada tahun 2007, jumlah seluruh peserta
madrasah pada semua jenjang pendidikan sebesar 6.075.210 peserta didik. Adapun
Angka Partisipasi Kasar (APK) madrasah terhadap jumlah penduduk usia sekolah
pada masing-masing tingkatan adalah 10,8% MI, 16,4% MTs, dan 6,0% MA.
Kontribusi APK tersebut tersebar berasal dari madrasah swasta pada
masing-masing tingkatan.[9]
Sumbangan lain dari madrasah dalam pembangunan
pendidikan nasional adalah dalam penuntasan wajib belajar pendidikan dasar
(wajar dikdas) sembilan tahun. Program wajib belajar pendidikan dasar sembilan
tahun pada pendidikan madrasah dikembangkan melalui Madrasah Ibtidaiyah (MI)
dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Jumlah MI sebanyak 22.610 buah dengan 3.050.555
peserta didik. Jumlah MTs sebanyak 12.498 buah dengan 2.531.656 peserta didik.
Jumlah peserta didik dalam program wajib belajar pendidikan sembilan tahun
terdiri dari 47,2% peserta didik MI dan 31,8 peserta didik MTs. Sisanya 21,0%
peserta didik/santri pondok pesantren salafiah. Kontribusi madrasah terhadap
penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun cukup lumayan besar
mencapai 17%. Meskipun belum tercapai, namun diharapkan sampai tahun 2009 dapat
dituntaskan. Kriteria tuntas adalah angka partisipasi kasar (APK) mengikuti
pendidikan SMP atau Madrasah Tsanawiyah mencapai 95%. Sampai tahun 2008 baru
mencapai sekitar 92,3%. Angka sisanya yaitu sekitar 2,7 % diharapkan pada tahun
2009 dapat dicapai angka partisipasi kasar pendidikan dasar sembilan tahun hingga
95%. Artinya wajib belajar pendidikan dasar pendidikan dasar sembilan tahun itu
dianggap tuntas, meskipun 95% masih ada sisanya 5%. Angka 5% dari 50 juta anak
usia sekolah bisa dikatakan lumayan banyak yang tercecer, tetapi bisa dianggap
selesai.
Sedangkan jika dilihat secara keseluruhan
termasuk Madrasah Aliyah, kontribusi madrasah dari mulai MI sampai MA terhadap
angka partisipasi mengikuti pendidikan di berbagai jenjang pendidikan secara
agregat atau secara keseluruhan itu bisa mencapai 21%. Bukan angka sedikit 21%
dari sekitar 60 juta penduduk. Artinya masyarakat terutama madrasah telah
memberikan andil pada upaya-upaya pemerintah menyediakan lembaga-lembaga
pendidikan yang cukup besar. Di samping kenaikan APK, indikator lain dari
percepatan penuntasan program wajib belajar sembilan tahun adalah semakin
menurunnya angka drop out pada tahun 2006 sebesar 0,6 % menjadi 0,4 % pada
tahun 2007 untuk MI dan untuk MTs sebesar 1,06 % pada tahun 2006 menjadi 1,02 %
pada tahun 2007. Pada tahun 2008 angka drop out pada MI dan MTs diperkirakan
turun 1,04 % sedangkan APK pada MI dan MTs masing-masing mencapai 14,75 % dan
20,70 %.[10]
Peran penting dalam rangka perluasan akses
masyarakat dari kelompok marginal tampak secara jelas dari latar belakang
keluarga peserta didiknya. Berdasarkan Statistik Pendidikan Islam Tahun 2007,
lebih dari 92,7% orang tua peserta didik madrasah berpendidikan sederajat atau
kurang dari SLTA dengan pekerjaan utama sebagai petani, nelayan, dan buruh
(58,0%). Sejalan dengan kondisi ini, 85% berpenghasilan kurang dari Rp. 1 juta
per bulan.Gambaran kondisi orang tua peserta didik tersebut menunjukkan bahwa
madrasah memiliki aksessibilitas yang tinggi terhadap peserta didik dengan
latar belakang keluarga masyarakat yang miskin secara ekonomi.
Aksessibilitas madrasah bagi kelompok marginal
juga tercermin pada aspek kultural, yaitu perannya yang penting dalam gender
mainstreaming bidang pendidikan berkenaan dengan komposisi peserta didiknya
yang sebagian besar kaum perempuan. Realitas ini adalah prakondisi yang baik
bagi pengembangan pendidikan Islam berwawasan gender dan juga sekaligus menepis
tudingan berbagai kalangan bahwa sikap dan pandangan keagamaan umat Islam
cenderung diskriminatif terhadap perempuan.
D. Isu- isu eksistensi dan implikasinya
Dalam perkembangannya, sistem pendidikan Islam
madrasah sudah tidak menggunakan sistem pendidikan yang sama dengan sistem
pendidikan Islam pesantren. Karena di lembaga pendidikan madrasah ini sudah
mulai dimasukkan pelajaran-pelajaran umum seperti sejarah ilmu bumi, dan
pelajaran umum lainnya. Sedangkan metode pengajarannya pun sudah tidak lagi
menggunakan sistem halaqah, melainkan sudah mengikuti metode pendidikan moderen
barat, yaitu dengan menggunakan ruang kelas, kursi, meja, dan papan tulis untuk
proses belajar mengajar[11].
Melihat kenyataan sejarah, kita tentunya bangga
dengan sistem dan lembaga pendidikan Islam madrasah yang ada di Indonesia.
Apalagi dengan metode dan kurikulum pelajarannya yang sudah mengadaptasi sistem
pendidikan serta kurikulum pelajaran umum. Peran dan kontribusi madrasah yang
begitu besar itu pada gilirannya—sejak awal kemerdekaan—sangat terkait dengan
peran Departemen Agama yang mulai resmi berdiri 3 Januari 1946. Lembaga inilah
yang secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia.
Orientasi usaha Departemen Agama dalam bidang
pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat Islam agar pendidikan agama
diajarkan di sekolah-sekolah, di samping pada pengembangan madrasah itu
sendiri. Perkembangan serta kemajuan pendidikan Islam terus meningkat secara
signifikan. Hal itu dapat dilihat misalnya pada pertengahan dekade 60-an,
madrasah sudah tersebar di berbagai daerah di hampir seluruh propinsi
Indonesia. Dilaporkan bahwa jumlah madrasah tingkat rendah pada masa itu sudah
mencapai 13.057. dengan jumlah ini, sedikitnya 1.927.777 telah terserap untuk
mengenyam pendidikan agama. Laporan yang sama juga menyebutkan jumlah madrasah
tingkat pertama (tsanawiyah) yang mencapai 776 buah dengan jumlah murid 87.932.
Adapun jumlah madrasah tingkat Aliyah diperkirakan mencapai 16 madrasah dengan
jumlah murid 1.881. Dengan demikian, berdasarkan laporan ini, jumlah madrasah
secara keseluruhan sudah mencapai 13.849 dengan jumlah murid sebanyak
2.017.590. Perkembangan ini menunjukkan bahwa sudah sejak awal, pendidikan
madrasah memberikan sumbangan yang signifikan bagi proses pencerdasan dan
pembinaan akhlak bangsa[12].
Dalam pada itu, meskipun pemerintah melalui
departemen agama sudah banyak melakukan perubahan dan perumusan kebijakan di
sana-sini untuk memajukan madrasah, namun itu belum terlalu berhasil jika
dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum yang dalam hal ini dikelola oleh
departemen pendidikan. Karena realitasnya, masyarakat hingga periode 90-an
masih mempunyai sense of interest yang tinggi untuk masuk ke
sekolah-sekolah umum yang dinilainya mempunyai prestige yang lebih
baik daripada madrasah / sekolah Islam (Islamic School). Lebih dari itu, dengan
masuk ke sekolah-sekolah umum, masa depan siswa akan lebih terjamin ketimbang
masuk ke madrasah atau sekolah Islam.
Hal itu bisa jadi disebabkan oleh image
yang menggambarkan lulusan-lulusan madrasah tidak mampu bersaing dengan
lulusan-lulusan dari sekolah-sekolah umum. Lulusan madrasah hanya mampu menjadi
seorang guru agama atau ustdaz. Sedangkan lulusan dari sekolah umum mampu masuk
ke sekolah-sekolah umum yang lebih bonafide dan mempunyai jaminan
lapangan pekerjaan yang pasti.
Dalam konteks kekinian, image madrasah atau
sekolah Islam telah berubah. Madrasah sekarang tidak lagi menjadi sekolah Islam
yang hanya diminati oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Melainkan sudah
diminati oleh siswa-siswa yang berasal dari masyarakat golongan kelas menengah
ke atas. Hal itu disebabkan sekolah-sekolah Islam atau madrasah elit yang
sejajar dengan sekolah-sekolah umum sudah banyak bermunculan. Diantara madrasah
atau sekolah Islam itu adalah; Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, Sekolah Islam
al-Azhar, Sekolah Islam al-Izhar, Sekolah Islam Insan Cendekia, Madania School,
dan lain sebagainya.
Sebelum mengalami perkembangan seperti sekarang
ini, madrasah hanya diperuntukkan bagi kalangan masyarakat kelas menengah ke
bawah. Namun sejak mulai mengadopsi sistem pendidikan moderen yang berasal dari
Barat sambil tetap mempertahankan yang sudah ada dan dilengkapi dengan
fasilitas-fasilitas yang mendukung iklim pembelajaran siswa dan pengajaran
siswa, madrasah (atau sekolah Islam) sekarang sudah sangat diminati oleh
kalangan masyarakat kelas menengah ke atas. Apalagi madrasah sekarang ini sudah
banyak yang menjalankan dengan apa yang disebut sebagai English Daily.
Semua guru dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar harus berbicara dalam
bahasa Inggris. Seperti Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, Sekolah Islam
Al-Azhar, sekolah Islam Al-Izhar, Sekolah Islam Insan Cendekia, dan lain
sebagainya adalah beberapa contoh diantaranya.
Kemampuan bahasa asing yang bagus di era
globalisasi seperti sekarang ini mutlak diperlukan. Oleh karena itu, di
beberapa madrasah dan sekolah Islam itu kemudian tidak hanya memberikan
pengetahuan bahasa Inggris saja. Lebih dari itu, pengetahuan bahasa asing
lainnya juga absolut diajarkan oleh madrasah seperti bahasa Arab
misalnya. Atau bahasa Jepang, Mandarin dan lainnya pada tingkat Madrasah
Aliyah. Di samping itu, dalam menghadapi era globalisasi, madrasah sebagai
institusi pendidikan Islam tidak lantas cukup merasa puas atas keberhasilan
yang telah dicapainya dengan memberikan pengetahuan bahasa asing kepada para
siswanya dan desain kurikulum pendidikan yang kompatibel dan memang dibutuhkan
oleh madrasah.[13]
Akan tetapi, justru madrasah harus terus berpikir
ulang secara berkelanjutan yang mengarah kepada progresivitas madrasah dan para
siswanya. Oleh karena itu, dalam pendidikan madrasah memang sangat diperlukan
pendidikan keterampilan. Pendidikan keterampilan ini bisa berbentuk kegiatan
ekstra kurikuler atau kegiatan intra kurikuler yang berupa pelatihan atau
kursus komputer, tari, menulis, musik, teknik, montir, lukis, jurnalistik atau
mungkin juga kegiatan olahraga seperti sepak bola, basket, bulu tangkis, catur
dan lain sebagainya.
Dari pendidikan keterampilan nantinya diharapkan
akan berguna ketika para siswa lulus dari madrasah. Karena jika sudah dibekali
dengan pendidikan keterampilan, ketika ada siswa yang tidak dapat melanjutkan
sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi seperti universitas misalnya, maka
siswa dengan bekal keterampilan yang sudah pernah didapatnya ketika di madrasah
tidak akan kesulitan lagi dalam upaya mencari pekerjaan. Jadi, kiranya penting
bagi madrasah untuk mengembangkan pendidikan keterampilan tersebut. Sebab,
dengan begitu siswa akan langsung dapat mengamalkan ilmunya setelah lulus dari
madrasah atau sekolah Islam. Namun semua itu tentunya harus dilakukan secara
profesional. Dengan adanya pendidikan keterampilan di sekolah-sekolah Islam
atau madrasah, lulusan madrasah diharapkan mampu merespon tantangan dunia
global yang semakin kompetitif. Dan nama serta citra madrasah juga tetap akan
terjaga. Karena ternyata alumni-alumni madrasah mempunyai kompetensi yang tidak
kalah kualitasnya dengan alumni sekolah-sekolah umum.
BAB III
PENUTUP
Solusi yang ditawarkan
Almuhafadhoh ala qodimis sholeh, wal akhdu
bijadidil ashlah, ini adalah sebuah solusi yang mungkin bisa memecahkan
permasalahan yang mengakar ditubuh madrasah sekarang ini, seperti yang telah di
paparkan diatas bahwa softskil atau keterampilan siswa itu sangatlah
urgen dalam perkembangan pendidikan siswa.
Kita tahu bahwa image yang ada tentang
madrasah cenderung mengarah ke sesuatu yang bersifat agamis saja, berbeda
dengan Sekolah Umum yang masyhur dengan sainsnya. Semua itu bisa kita rubah
dengan tetep mempertahankan dasar madrasah sebagai wadah pendidikan yang
bersifat agamis, tanpa mengenyampingkan ilmu pengetahuan umum atau dalam hal
ini adalah sains dan keterampilan.
Solusi yang kedua adalah dengan
mempertimbagkan kembali ide yang sebenarnya sudah lama disuarakan oleh beberapa
kalangan, yaitu adanya pendapat yang menginginkan “pendidikan satu atap”
di negeri ini. Seperti yang diungkapkan bahwa fenomena penganaktirian
madrasah sesungguhnya adalah konsekwensi dari pemberlakuan dualisme manajemen
pendidikan di negeri ini yang berlangsung sudah sejak lama. Maka terkait dengan
masalah dualisme pendidikan ini, ide tentang pendidikan satu atap ini juga
layak kembali dipertimbangkan.
Menurut saya ketika semangat otonomi pendidikan
menjadi isu sentral dalam reformasi pendidikan nasional, maka madrasah
seharusnya include dalam semangat otonomi itu. Ada banyak alasan
ilmiah yang menguatkan bahwa otonomi pendidikan diyakini akan mendatangkan
kemaslahatan terhadap peningkatan kualitas pendidikan nasional di masa datang.
Masalahnya adalah sekalipun madrasah sesungguhnya bergerak di bidang pendidikan
yang sudah diotnomikan, selama ini madrasah berada dalam jalur birokrasi
Departemen Agama yang tidak diberikan wewenang otonomi, maka akibatnya jadilah
madrasah sebagai anak tiri oleh pemerintahan daerah.
Saya beranggapan bahwa pendidikan satu atap,
dimana pendidikan hanya dikelola oleh satu departemen, dalam hal ini Departemen
Pendidikan Nasional, akan memberikan dampak luar bisa kepada perkembangan
madrasah pada masa datang. Apalagi UU No.20/2003 telah menegaskan bahwa
madrasah dalam banyak hal, seperti dalam hal kedududukan, status, dan kurikulum
sama persih dengan sekolah umum, maka secara yuridis ide pendidikan satu atap
ini sesungguhnya telah memiliki landasan hukum yang sangat kuat.
Pada tataran praktis, kalau ummat Islam khawatir
memudarnya idealisme pendidikan Islam di madrasah, kenapa tidak dibuka saja
satu jurusan baru di SMA, jurusan Pendidikan Agama Islam misalnya, yang khusus
mengakomodir keinginan peserta didik untuk mempelajari agama Islam secara lebih
mendalam? Apalagi bukankah juga sudah ada ribuan pesantern yang memfasilitasi
keinginan itu? wacana tentang "pendidikan satu atap ini" sangat debatable,
karena ada banyak kepentingan di situ. Tapi poin saya adalah semua kalangan
dalam pendidikan Islam tidak boleh berhenti mencarikan solusi terbaik agar
madrasah tidak terus menerus menjadi anak tiri, agar madrasah bisa
"dipangku ibu pertiwi" dalam makna yang sesungguhnya.
Daftar Refrensi
Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam.
(2008). Kebijakan Departemen Agama dalam Peningkatan Mutu Madrasah di
Indonesia. Jakarta: Ditjen Penais Departemen Agama.
Hasbullah, 2001, cet. 4 Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
Mustofa.A, aly, Abdullah, Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah, Bandung : CV. Pustaka Setia,
1999
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada
Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, Cet. VII; Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Prof. Dr. suwito, sejarah sosial pendidikan
islam, Kencana, Jakarta 2005. Hlm : 214
Mahmud yunus, sejarah pendidikan islam,
Hidakarya agung, Jakarta 1985.
Depag, Rekronstruk sisejarah pendidikan
islam di Indonesia, depag 2006.
[1]
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan
Pertengahan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 50
[2]
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cet. VII;
Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 889.
[3]
Prof. Dr. suwito, sejarah sosial pendidikan islam, Kencana, Jakarta
2005. Hlm : 214
[4]Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001),
h. 160.
[5]
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2001), h. 161.
[6]
Hasbulloh, sejarah pendidikan islam di Indonesia, PT Raja grafindo
persada, Jakarta, 1995, hlm : 162
[7]
Mahmud yunus, sejarah pendidikan islam, Hidakarya agung, Jakarta 1985,
hlm : 82
[8]
Depag, Rekronstruksisejarah pendidikan islam di Indonesia, depag
2006, hlm : 98
[9]
Depag, Kebijakan Departemen Agama dalam Peningkatan Mutu Madrasah di
Indonesia. Jakarta 2008, Ditjen Penais Departemen Agama. Hlm : 39
[10]
Depag, Kebijakan Departemen Agama dalam Peningkatan Mutu Madrasah di
Indonesia. Jakarta 2008, Ditjen Penais Departemen Agama. Hlm : 41
[11]
Mustofa.A, aly, Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk
Fakultas Tarbiyah, Bandung 1999, CV. Pustaka Setia. Hlm : 151
[12]
Depag, Kebijakan Departemen Agama dalam Peningkatan Mutu Madrasah di
Indonesia. Jakarta 2008, Ditjen Penais Departemen Agama. Hlm : 45
[13]
Mustofa.A, aly, Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk
Fakultas Tarbiyah, Bandung 1999, CV. Pustaka Setia. Hlm : 155
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar sahabat sangat membantu untuk perkembangan di blogs kami
berikanlah komentar yang membangun