Kreativitas dan Inovasi dalam
Memajukan Sekolah
Pendahuluan
Sistem dan program
pendidikan di seluruh tingkatan, secara umum sudah membutuhkan revolusi alias
perlu diubah total. Di berbagai jenis dan jenjang pendidikan, kini sekolah
cenderung tidak terarah karena kurikulum yang tidak serasi. Proses pembelajaran
pun tidak kreatif dan tidak mendorong kreativitas anak didik. Di sisi lain,
pengelolaan dalam materi pembelajaran kerap tumpang tindih sehingga mematikan
prakarsa pelajar. Kemampuan guru-guru di bidang pedagogik, didaktik dan metodik
juga sangat kurang, sehingga acapkali guru sama sekali tidak mempedulikan
pengembangan kepribadian dan watak anak didiknya.
Pendidikan di Indonesia
makin materialistis. Pendidikan kita juga terperangkap dalam keyakinan keliru,
seolah-olah makin banyak mata ajaran yang dikuasai semakin terdidik seseorang.
Kenyataan itu merupakan materialisme dikdaktis yang harus segera dihentikan.
Lebih ironis lagi, pendidikan yang materialistis itu bersifat komersial. Tak
berlebihan bila istilah penyelenggara sekolah kini sudah dapat diubah menjadi
pengusaha sekolah.
Pendidikan memang
membutuhkan biaya besar, tetapi biaya itu tidak perlu seluruhnya dibebankan
kepada murid (orang tua/wali). Pemerintah sebagai pengayom masyarakat harus
menjalankan asas subsidiaritas. Jika tidak, makin banyak anak jalanan, anak
fakir miskin, anak telantar. Kecen-derungan itu tidak boleh diabaikan oleh
masyarakat dan pemerintah.
Sebaiknya pendidikan dan
persekolahan wajib dibebaskan dari etatisme (pengaruh dan pengaturan pemerintah
yang berlebihan). Pendidikan juga perlu dibebaskan dari sentralisme
(penyeragaman). Harus ada variasi kurikulum, serta dikembangkan otonomi
pengelolaan pendidikan di berbagai kawasan. Otoritas ini memiliki wewenang
penuh untuk mengatur pendidikan di wilayahnya.
Persepsi Keliru tentang
Pendidikan
Ada tiga persepsi yang
kurang benar tentang pendidikan. Pertama, pendidikan hanya terjadi di sekolah.
Kedua, tugas sekolah ialah mengajarkan pengetahuan. Ketiga, sekolah harus
membuat siswa menjadi “manusia siap pakai”.
Akibat negatif dari
kesalahan pertama, pengetahuan tentang pendidikan keluarga tidak berkembang.
Sistem pendidikan nonformal tidak berkembang dan kemampuan bangsa untuk belajar
dari situasi pendidikan nonformal menjadi rendah.
Sedangkan dampak kesalahan
kedua, kemampuan siswa yang rendah untuk mempergunakan pengetahuan sebagai alat
berpikir dan alat untuk memahami serta memecahkan masalah. Kepekaan siswa
terhadap nilai-nilai terhadap norma juga sangat rendah, baik norma estetis maupun
norma synnoetis (norma kehidupan sosial), atau pun norma etis.
Kesalahan ketiga berakibat
lulusan sekolah tidak cukup menguasai konsep-konsep dasar. Mereka terpaku
kepada keterampilan yang bersifat terapan. Selain itu, tenaga kerja menjadi
kurang retrainable. Persepsi yang sebaiknya, adalah bahwa pendidikan terjadi
sebelum anak masuk sekolah dan sesudah anak tamat sekolah. Sekolah hanya suatu
mata rantai dari suatu kegiatan nyata pendidikan yang luas, dinamis dan saling
ber-sambungan. Tugas sekolah ialah mempersiapkan anak untuk mengarungi
kehidupan, bukan hanya membuat siswa menjadi siap pakai. Untuk itu, tugas pokok
sekolah bukan sekadar mengajarkan pengetahuan, melainkan me-mupuk kepekaan
terhadap nilai-nilai.
Konsekuensinya, sekolah
harus tahu jenis pendidikan yang telah dilalui anak di keluarga dan menilainya
sejauh mana pendidikan keluarga itu dapat dipergunakan sebagai landasan untuk
menyusun program pendidikan sekolah. Sekolah juga harus membimbing anak untuk
menguasai kemampuan belajar, baik untuk situasi pendidikan formal, maupun
situasi pendidikan nonformal dan informal. Tugas sekolah adalah melahirkan
generasi yang menjadi bagian dari bangsa yang pandai belajar.
Kurikulum Padat,
Kreativitas Anak Terabaikan
Para guru sebenarnya
menyadari bahwa pelajaran yang memberi kesempatan mengembangkan kreativitas,
sangat dibutuhkan anak. Akan tetapi mereka umumnya tidak tahu harus berbuat apa
dan bagaimana mengatasi keadaan itu. Kesulitan mereka terutama karena padatnya
kurikulum pendidikan sehingga kreativitas anak terabaikan.
Fakta menunjukkan minimnya
waktu dan pelajaran yang bersifat untuk mengembangkan kreativitas pada sekolah
formal, padahal di sisi lain menurut upaya memunculkan pribadi kreatif sangat
dibutuhkan bagi anak dalam kehidupannya. Dengan demikian, para guru memiliki
kesulitan bagaimana menanamkan dan menumbuhkan jiwa kreativitas kepada anak.
Diperlukan adanya pelatihan
bagi guru dan penerbitan buku mengenai kreativitas, sebab guru pun membutuhkan
tuntunan. Beberapa sekolah yang secara finansial memadai kini memang sudah
mempunyai tenaga psikolog sosial dan lainnya, tetapi psikolog pendidikan belum
ada, yang mendampingi para guru dan khususnya guru Bimbingan Konseling dalam
membina siswa di sekolah. Namun sekolah-sekolah lainnya belum mampu ke arah
rekruitmen seperti itu.
Dapat mengerti betapa
sulitnya posisi guru, karena kurikulum pendidikan dasar dan menengah saat ini
memang sangat luas. Tentu mereka tak memiliki waktu lagi untuk mengasah
kreativitas siswa. Selain waktu, kreativitas membutuhkan ruang. “Bagaimana
mungkin bisa dilakukan guru jika di ruang kelas diisi 40 atau lebih anak?”
Hargai Perbedaan
Untuk bisa menanamkan
kreativitas pada siswa, mestinya kurikulum memfokuskan pada hal dasar dan
esensial, sehingga cukup waktu untuk mengasah kreativitas. Di luar itu harus
pula diperhatikan, harus ada kurikulum yang berbeda karena anak memiliki
perbedaan bakat dan minat.
Terdapat jalan agar siswa
mendapat kesempatan mengasah daya kreativitasnya, yakni dengan meluangkan waktu
untuk keperluan itu. Anak-anak jangan didesak untuk menerima hafalan yang
sebenarnya tak menambah kecerdasannya. Dalam memberikan soal hendaknya jangan
memberi peluang untuk satu jawaban saja. Guru dapat membuat pertanyaan yang
menuntut pemikiran banyak gagasan dan janganlah membuat semuanya serba seragam,
karena setiap anak memiliki pribadi berbeda. Upaya itu akan menumbuhkan hasil
berupa kelancaran dalam berpikir.
Selanjutnya, faktor
originalitas yang bisa dilakukan oleh guru dengan cara lebih luwes dalam
menghargai gagasan unik, bahkan mendorong mereka mengutarakan pendapat lain
dari yang lain. Terakhir, perlu elaborasi dengan memperkaya gagasan dengan
uraian lebih rinci.
Empat unsur di atas
sebaiknya masuk kurikulum sebab hal-hal itu yang menjadi dasar-dasar
kreativitas. Selain berpikir kreatif, perlu pula bersikap kreatif dengan
merangsang anak membuat sesuatu yang baru, membuat sesuatu yang imajinatif.
Pendidikan Wadah
Pemberdayaan Civil Society
Di mata penulis, pendidikan
dalam arti yang luas memegang peranan yang sangat strategis bagi setiap
masyarakat dan kebudayaan. Bahkan kualitas suatu bangsa dapat diukur dari
sejauh mana kualitas pendidikan yang diberlakukan. Jelaslah bangsa yang
mempunyai pendidikan yang berkualitas akan mampu pula menyediakan sumber daya
manusia yang berkualitas secara menyeluruh. Lebih lanjut penulis mengatakan,
pendidikan tidak hanya sebagai wadah bagi penyiapan SDM bermutu, melainkan juga
menjadi wadah bagi pemberdayaan masyarakat warga.
Di mana letak peranan
pendidikan sebagai wadah pemberdayaan masyarakat madani itu? Pendidikan dalam
masyarakat madani Indonesia tidak lain ialah proses pendidikan yang mengakui
hak-hak serta kewajiban perorangan dalam masyarakat. Sebab, dalam suatu
masyarakat yang demokratis, hak-hak dan kewajiban merupakan batu landasan dari
masyarakat. Masyarakat demokrasi hanya ada apabila hak-hak dan kewajiban warga
negaranya diakui, dikembangkan dan dihormati.
Sudah barang tentu proses
pendidikan dalam masyarakat demokratis mengakui adanya identitas masyarakat
atau bangsa yang berbudaya. Dan pengembangan pribadi di dalam masyarakat yang
berbudaya, baik lokal maupun nasional tidak terelakkan lagi dalam kehidupan
global abad ke-21.
Di benak penulis, dalam
interaksi antara perkembangan kepribadian dengan kebudayaannya, proses pengembangan
pribadi manusia lebih mendasar, karena bukan sekadar menyerap unsur-unsur
kebudayaan secara pasif, tetapi manusia itu merupakan makhluk yang dinamis.
Dinamisme kepribadian di dalam cipta, karsa, dan rasa secara keseluruhan
merupakan sumber bagi perkembangan masyarakat warga. Di dalam proses yang
dinamis itu terjadilah proses hominisasi dan proses humanisasi yang justru
menjadi titik pijak bagi pemberdayaan civil society.
Apa yang diperlukan dalam
membangun masyarakat madani Indonesia melalui pendidikan? Penulis mengatakan,
untuk mengupayakan civil society, beberapa paradigma baru dalam pendidikan
diperlukan. Paradigma baru itu adalah pendidikan, dari, oleh, dan bersama-sama
masyarakat.
Pendidikan dari masyarakat
artinya pendidikan haruslah mampu memberikan jawaban kepada kebutuhan
masyarakat itu. Jadi, pendidikan bukan dituangkan dari atas, dari kepentingan
pemerintah semata-mata, apalagi dari penguasa; tetapi pendidikan yang tumbuh
dari masyarakat itu sendiri dengan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat
itu sendiri.
Pendidikan oleh masyarakat
artinya bahwa masyarakat bukanlah merupakan obyek pendidikan untuk melaksanakan
kemauan negara atau suatu kelompok semata-mata tetapi partisipasi yang aktif
dari masyarakat di mana masyarakat mempunyai peranan di dalam setiap langkah
program pendidikan. Hal ini berarti masyarakat bukan sekadar penerima belas
kasih dari penguasa, tetapi suatu sistem yang percaya kepada kemampuan
masyarakat untuk bertanggung jawab atas pendidikan generasi mudanya.
Terkait dengan itu,
pendidikan juga harus bersama-sama masyarakat, artinya, masyarakat
diikutsertakan di dalam program-program pemerintah yang telah mendapatkan
persetujuan masyarakat karena lahir dari kebutuhan nyata masyarakat itu
sendiri. Jadi, masyarakat bukan disubordinasikan oleh pemerintah.
Selain paradigma tersebut,
pendidikan harus didasarkan pada kebudayaan nasional yang bertumpu pada
kebudayaan lokal. Kebudayaan Nusantara yang merupakan silang budaya antarbangsa
telah menampung unsur-unsur terbaik dari budaya luar dan menghasilkan
kebudayaan Nusantara.
Unsur-unsur budaya lokal
itu seharusnya dikaji dan dikembangkan dalam pendidikan sehingga dapat
memberikan sumbangan besar bagi terwujudnya masyarakat madani yang berdaya. Di
sini tugas pendidikan nasional bukan hanya sekadar menghayati dan mengembangkan
kebudayaan lokal tetapi juga ikut membangun kebudayaan nasional itu.
Paradigma berikut adalah
proses pendidikan mencakup proses hominisasi dan proses humanisasi. Pendidikan
dalam pengertian ini perlu dijadikan upaya mengembangkan manusia sebagai
makhluk hidup, dan makhluk yang mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri
maupun terhadap kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesempatan untuk
belajar bertanggung jawab mengenal dan menghayati serta melaksanakan nilai-nilai
moral perlu ditumbuhkembangkan dalam pendidikan. Terkait dengan itu relevanlah
budaya demokrasi dihidupkan dalam seluruh proses belajar mengajar. Dengan
budaya seperti itu jiwa demokrasi akan tumbuh dan berkembang secara baik.
Selain tiga paradigma di
atas, desentralisasi manajemen pendidikan menjadi keharusan demi pemberdayaan
masyarakat warga. Penulis menganalisis bahwa kesalahan yang terjadi dalam
pemerintahan Orde Baru adalah pemberlakuan sistem dan praksis pendidikan
nasional yang sifatnya sentralistik.
Model seperti itu sama
sekali tidak bisa mengembangkan dan menumbuhkan potensi-potensi yang ada di
dalam masyarakat, khususnya pengelola pendidikan. Dengan kata lain,
sentralistik justru bertentangan dengan hakikat masyarakat madani. Atau tegasnya,
hal itu memperlihatkan ketidakpercayaan pemerintah pada kemampuan rakyat
sendiri.
Kini sudah waktunya
memberlakukan sistem desentralisasi manajemen dalam pendidikan. Ini penting,
karena desentralisasi memiliki sejumlah dampak positif, antara lain mengembangkan
kebudayaan lokal, mengem-bangkan kebudayaan nasional sebagai benteng pertahanan
menyaring pengaruh-pengaruh kebudayaan global yang negatif, serta akan mampu
mengembangkan inisiatif untuk bereksperimen dan bersaing dalam pengembangan
mutu pendidikan nasional menghadapi persaingan global, serta akan meningkatkan
peran masyarakat swasta untuk mengembangkan ciri khasnya sebagai sumbangan bagi
pemberdayaan civil society.
Dapat disimpulkan bahwa
pendidikan, kebudayaan, dan masyarakat warga merupakan elemen-elemen yang
terkait dalam tatanan kehidupan bersama. Perhatian yang seimbang atas ketiga
unsur itu dalam praksis pendidikan akan mampu menumbuhkan orang-orang yang
berdaya dalam masyarakat.
Penutup
Semakin jelas kini betapa
persoalan terberat bangsa Indonesia adalah ketiadaan lembaga kemasyarakatan
(society institution) yang real. Pada banyak realitas sosial, hegemoni state
seperti gurita yang terus saja membelit kehidupan warga masyarakat. Hal
tersebut berlangsung pada berbagai aspek dan level kehidupan, termasuk tentu
saja dunia persekolahan kita.
Overlapping peran dan
fungsi kemasyarakatan—sebut saja eksekutif yang merangkap rakyat
kebanyakan—dalam dunia persekolahan kita semakin menjadi ruwet dan terkesan
sebagai sebuah kelaziman yang tidak aneh. Lihat saja pengurus BP3 berbaju
”Komite Sekolah” yang masih tetap menjadi ‘kaki tangan’ sang raja kecil yang
bernama Kepala Sekolah. Simak pula LSM Persatuan Orangtua Murid Indonesia yang
‘pentolan-pentolan’-nya justru eksekutif di dunia pendidikan (baca= persekolahan).
Bukankah orangtua murid itu identik dengan warga masyarakat? Mengapa LSM
Persatuan Orangtua Murid Indonesia tidak digawangi oleh the real orangtua
murid?
Sementara itu gaung School
Based Management ataupun School Council hanya menjadi gincu kosmetika
persekolahan belaka. Padahal dari sinilah segala problematika pendidikan dan
persekolahan sekaligus solusinya bersemi.
Kejujuran dan keseriusan
semua pihak dalam menyongsong era baru dunia pendidikan formal kita dengan
diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang berbasis Kompetensi,
akan menjadi titik krusial mengatasi berbagai problema kemandulan kreativitas
dan inovasi yang seharusnya bersemi dari balik dinding sekolah.
Sebuah institusi sekolah
akan mampu mengembangkan kreativitas dan inovasi siswa bila berbagai aspek, dan
berbagai lini manajerial sekolah dijalankan sesuai dengan semangat atmosfer
filosofis pendidikan yang membebaskan. Dalam arti, secara praktis Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan akan bernasib sama dengan Kurikulum yang sebelumnya
bila manajemen pendidikan yang dilaksanakan di setiap unit kerja atau sekolah
masih dikungkung oleh model kepemimpinan kepala sekolah yang monolitik, soliter
dan jauh dari prinsip-prinsip kreatif dan inovatif.
Memajukan sekolah dengan kemandirian
Dunia pendidikan di tanah
air terus berbenah. Seolah ingin berlari cepat mengejar segala bentuk
ketertinggalan dibanding dengan pendidikan di negara-negara mapan dan maju.
Kebutuhan dan pentingnya pendidikan di negeri ini juga telah menjadi kesadaran
dan kebutuhan bersama. Seluruh komponen bangsa didukung pemerintah telah
berusaha mewujudkan pendidikan Indonesia yang berkualitas dan mampu menciptakan
lulusan yang mumpuni.
Berbagai reformasi
kebijakan juga sudah dilakukan, mulai ditetapkannya anggaran pendidikan 20
persen dari APBN, dilegalkannya Undang-Undang Sisdiknas, pemberlakuan
standarisasi sistem pendidikan (BSNP), peningkatan kualitas mutu peserta didik
melalui ujian nasional, pembenahan kurikulum, hingga bantuan fisik dan
finansial yang digelontorkan pemerintah kepada lembaga pendidikan. Semua upaya
tersebut dalam rangka pemajuan pendidikan Indonesia dengan tujuan pencerdasan
anak bangsa.
Seiring dengan perkembangan
global, pemerintah berharap agar pendidikan di Indonesia kelak dapat berdiri sepadan
dengan lembaga-lembaga pendidikan internasional, atau yang akhir-akhir ini kita
kenal dengan sekolah bertaraf internasional (SBI). Guna menuju ke sana,
pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional berusaha menciptakan iklim
pendidikan yang kompetitif, dengan tujuan adanya kompetisi perlombaan mejadikan
lembaga pendidikan lebih maju dan progresif. Lahirnya strata Sekolah Dasar
Standar Nasional (SDSN) untuk jenjang SD, Sekolah Standar Nasional (SSN) untuk
jenjang SMP dan SMA, serta program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah
langkah-langkah pemerintah mewujudkan harapannya.
Namun, bagi sebagian besar
pengamat pendidikan, langkah-langkah pemajuan pendidikan yang telah ditempuh
pemerintah belum cukup apabila tidak diimbangi dengan kesungguhan lembaga
pendidikan dalam mereformasi dirinya menjadi lembaga yang mandiri. Kemandirian
lembaga-lembaga pendidikan merupakan sebuah keharusan agar dalam upaya
meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan lembaga-lembaga tersebut, tidak hanya
menunggu kebijakan dari pemerintah. Dengan kemandirian diharapkan lembaga
pendidikan mampu menyediakan pelayanan pendidikan yang kreatif, inovatif, dan
memenuhi harapan masyarakat.
Reformasi pendidikan
memiliki bentuk konkret pada dimensi individu (guru dan siswa), dimensi sekolah,
dimensi masyarakat atau makro. Sekolah mandiri salah satu bentuk konkret dari
reformasi pendidikan pada dimensi sekolah. Yakni, suatu kebijakan yang
menempatkan pengambilan keputusan pada mereka yang terlibat langsung pada
proses pendidikan: kepala sekolah, guru, orang tua siswa dan masyarakat.
Kebijakan ini akan membawa dampak, tidak saja pada manajemen sekolah, tetapi
juga pada implementasi kurikulum dan proses belajar mengajar yang dilaksanakan.
Sebab, tanpa ada perubahan pada proses belajar mengajar, apapun yang
dilaksanakan di sekolah tidak akan banyak artinya. Perubahan juga tidak akan
banyak artinya tanpa melibatkan aparat sekolah secara keseluruhan.
Sekolah mandiri tidak
berarti tanpa kendali. Melainkan mandiri dalam konteks sistem-pendidikan
nasional. Sekolah memiliki kemandirian dalam melaksanakan rekayasa untuk
menjabarkan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara nasional, tanpa
meninggalkan latar belakang dan karakteristik kondisi lokal setempat. Untuk
itu, sekolah mandiri memiliki kultur, kebiasaan dan cara kerja baru yang
berbeda dengan kebiasaan dan tata cara kerja sekolah dewasa ini. Kultur,
kebiasaan-kebiasaan dan tata cara kerja baru ini akan mempengaruhi perilaku
seluruh komponen sekolah: kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, dan
siswa. Bahkan, dalam jangka panjang, kebiasaan dan tata cara kerja baru ini
akan berpengaruh di kalangan orangtua siswa dan masyarakat. Kultur, kebiasaan,
dan tata cara kerja baru tersebut antara lain: a) setiap sekolah memiliki visi
dan misi, b) sekolah memiliki program yang mendasarkan pada data kuantitatif,
c) sekolah merupakan sistem organik, d) sekolah memiliki kepemimpinan mandiri,
e) sekolah memiliki program pemberdayaan bagi seluruh komponen sekolah, f)
sekolah merupakan kegiatan pelayanan jasa dengan tujuan utama memberikan
kepuasan maksimal bagi siswa, orangtua siswa dan masyarakat selaku konsumen,
dan, g) sekolah mengembangkan "trust" (kepercayaan) sebagai landasan
interaksi internal maupun eksternal seluruh warga sekolah.
Menurut Prof. Dr. H.
Fasich, Apt., Rektor Universitas Airlangga Surabaya, sekolah mandiri adalah
sekolah yang mampu mendorong dirinya untuk menjadi otonom. ”Maksudnya, lembaga
pendidikan tersebut mampu menyelenggarakan seluruh pendidikannya sendiri, mulai
dari kurikulum, pendanaan, rekruitmen (tenaga pendidik dan peserta didik),
keuangan, sampai organisasinya,” jelas Wakil Bendahara PP Muhammadiyah
tersebut. Sedangkan, menurut Prof. Dr. Ir. Eng. Imam Robandi, M.Eng., Ketua
Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jawa Timur, kemandirian sekolah tidak hanya
dalam masalah finansial, tetapi yang lebih dari itu adalah kemampuan sekolah
dalam menyelesaikan permasalahan di internalnya melalui inisiatif sendiri.
”Setiap komponen dalam sekolah mandiri harus mempunyai inisiatif, karena ini
merupakan kunci pokok,” tegas dosen ITS Surabaya tersebut. Lebih lanjut Imam
menjelaskan, bahwa inisiatif dalam menyelesaikan permasalahan tidak hanya
menjadi kewajiban pimpinan sekolah saja, tetapi, seluruh elemen sekolah, mulai
pimpinan, guru, karyawan, bahkan sampai tukang kebersihan, sekuriti, dan tukang
parkir harus mempunyai kemandirian dalam menyelesaikan pekerjaan dan tanggung
jawabnya tanpa harus disuruh-suruh oleh pimpinan. ”Jadi, bukan seperti robot
hanya menunggu instruksi dari pimpinan, kemudian baru jalan. Kalau itu terjadi
pertumbuhan sekolah menjadi sangat rendah,” imbuhnya.
Sekolah mandiri tidak hanya
diartikan dengan membentuk suatu lembaga di sekolah dengan wewenang tertentu
seperti anggaran dan kurikulum. Dengan telah dibentuknya lembaga ini belum
tentu sekolah sudah memahami tanggung jawab dan peran yang baru dalam mengelola
sekolah, dan akan mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu sekolah.
Dengan singkat dikatakan, bahwa implementasi sekolah mandiri memerlukan suatu
bentuk kesadaran baru dalam menjalankan roda organisasi sekolah. Kepala sekolah
beserta guru harus memiliki otonomi dan otoritas yang memadai, dan instruksi
serta petunjuk dari kantor pendidikan harus dikurangi. Sejalan dengan itu,
berbagai sumber daya perlu disebarluaskan sampai pada dimensi sekolah. Seperti,
informasi prestasi siswa dan kepuasan orangtua siswa serta masyarakat, serta
sumber-sumber yang tersedia perlu disampaikan pada dimensi sekolah, sehingga
sekolah memiliki pertimbangan yang jelas dalam menentukan kegiatan.
Prof. Imam Robandi kurang
setuju apabila kemandirian diterjemahkan sebagai otonomi yang seluas-luasnya
tanpa kontrol dan perhatian dari pemerintah. Dalam hal ini, tugas pemerintah
tetap sama sebagaimana sebelumnya, yakni merumuskan kebijakan umum, membantu
peningkatan kualitas lembaga pendidikan, serta memberikan bantuan sarana
belajar dan finansial. Menurutnya, kemandirian sekolah juga akan sangat
membantu mengurangi beban pemerintah. ”Itu namanya self tunning. Kalau setiap
sekolah nanti sudah sangat mandiri, beban pemerintah menjadi ringan. Pemerintah
hanya menjadi fasilitator dan bagi-bagi kebijakan,” urai mantan Ketua Ikwam SD
Muhammadiyah 4 Pucang tersebut. Kebutuhan mewujudkan sekolah mandiri adalah
agenda yang penting, mengingat pada ranah praktis banyak sekolah-sekolah yang
sangat menggantungkan keberlangsungan lembaganya pada pemerintah.
Sedangkan, menurut Prof.
Fasich, sekolah yang sudah mandiri tetap mengemban amanat pengembangan ilmu dan
masa depan anak. Oleh karena itu, pendidikan tidak boleh didominasi oleh
kepentingan kekinian. ”Kita bisa bayangkan jika pendidikan itu didominasi oleh
kepentingan birokrasi dan kekinian, maka cita-cita untuk menjadikan anak-anak
sebagai bagian dari masa depan akan sulit untuk dicapai,” jelas mantan Ketua PW
Muhammadiyah Jawa Timur tersebut. Lebih lanjut, beliau menegaskan, bahwa
sekolah tidak boleh terpengaruh kepentingan-kepentingan sesaat, termasuk
politik. ”Anak-anak kita adalah anak masa depan. Oleh karenanya, kemandirian
sangat penting untuk melihat sebuah proses pembelajaran yang diantisipasikan ke
depan dan terbebas dari kepentingan-kepentingan saat ini,” pungkasnya
10 Cara meningkatkan prestasi
di sekolah
Sekarang ini motivasi untuk
belajar sedikit berkurang, sehingga menyebabkab penurunan prestasi di sekolah,
nah mungkin kiat-kiat dibawah ini bisa membantu kamu yang sedang mengalami
penurunan motivasi belajar, semoga bermanfaat
1. Jadilah seorang
pemimpin. Latihlah rasa tanggung jawabmu.
Apabila guru meminta
bantuanmu untuk mengerjakan sesuatu misalnya membersihkan kelas, jangan ragu
untuk menerimanya. Ajak beberapa teman kelas dan pimpin mereka untuk
membersihkan kelas bersama-sama.
2. Mendengarkan penjelasan
guru dengan baik.
Jawablah setiap pertanyaan
yang diajukan oleh guru apabila kamu mengetahui jawabannya. Jangan menunggu
guru untuk memanggil kamu untuk menjawab pertanyaan.
3. Jangan malu untuk
bertanya.
Selalu ajukan pertanyaan
kepada guru apabila tidak mengerti tentang sesuatu hal.
4. Kerjakan PR
Kerjakan PR dengan baik,
jangan selalu mencari alasan untuk tidak mengerjakannya. Jangan malas
mengerjakan PR dengan alasan lupa atau menunda-nunda mengerjakannya. Enak kan
kalau kita cepat mengerjakan PR, jadi masih punya banyak waktu untuk bermain
dan nonton TV deh!
5. Selalu Mengulang Pelajaran
yang Sudah diajarkan
Setiap pulang dari sekolah,
selalu mengulang pelajaran yang tadi diajarkan. Nanti sewaktu ada ulangan jadi
tidak banyak yang harus dipelajari! Asyik!
6. Cukup istirahat, makan
dan bermain.
Semuanya dilakukan secara
berimbang. Setelah pulang sekolah, kita sering ingin cepat-cepat bermain dan
melupakan segala hal penting lainnya, contohnya makan dan istirahat. Padahal
setelah seharian di sekolah, tak terasa badan kita membutuhkan masukan energi
tambahan yang bisa didapatkan dari istirahat dan makanan yang kita makan. Oleh
karenanya kita harus dapat membagi waktu untuk makan, istirahat dan bermain.
Kalau semuanya dilakukan dengan baik, badan jadi segar setiap hari! Jadi tidak
sering mengantuk di kelas!
7. Banyak berlatih
pelajaran yang kurang disuka.
Apabila kamu tidak
menyenangi suatu mata pelajaran, contohnya matematika, maka banyak-banyaklah
berlatih, mengikuti kursus atau belajar berkelompok dengan teman. Sehabis
belajar bisa bermain dan menambah teman baru di tempat kursus. Selain itu,
siapa tahu dari kurang menyukai matematika, kalian malahan menyukainya.
8. Ikutilah kegiatan
ektrakurikuler yang kamu senangi.
Cari tahu kegiatan apa yang
cocok dan kamu suka. Contohnya apabila kalian suka pelajaran tae kwon do,
cobalah untuk mengikuti kursus dari kegiatan tersebut, sehingga selain belajar
pelajaran-pelajaran yang diajarkan di sekolah, kalian juga dapat mendapatkan
pelajaran tambahan di luar sekolah.
9. Cari seorang pembimbing
yang baik.
Orangtua adalah pembimbing
yang terbaik selain guru. Apabila ada yang kurang jelas dari keterangan guru di
sekolah, kalian dapat menanyakan hal tersebut kepada orang tua. Selain itu,
kalian juga dapat belajar dari teman yang berprestasi.
10. Jangan suka mencontek
teman.
Kalau mencontek, kamu bisa
bodoh karena tidak berpikir sendiri. Lagipula belum tentu, teman yang kamu
contek itu menjawab pertanyaan dengan benar. Belum lagi kalau ketahuan guru dan
teman lain, malu kan? Kalau kamu rajin belajar, pasti bisa menjawab semua
pertanyaan dengan benar sehingga ulangan dapat nilai baik.