30 Okt 2012

MENELADANI KEPEMIMPINAN IBRAHIM AS



MENELADANI KEPEMIMPINAN IBRAHIM AS


Segala sanjungan puja dan puji syukur hanyalah kepada Allah SWT., atas segala karunia kenikmatan yang kita terima dalam jumlah yang begitu besar sehingga kita bisa hadir pada pagi hari yang agung ini untuk melaksanakan shalat Idul Adha. Kehadiran kita pagi ini bersamaan dengan kehadiran sekitar empat juta jamaah haji dari segala penjuru dunia yang sedang menyelesaikan pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci. Suara mereka bertaut dengan suara kita, sambung-menyambung di angkasa raya dalam pujian, takbir, tahlil dan tahmid. Ini karena kita semua disatukan dalam nikmat terbesar yang diberikan Allah SWT, yakni nikmat Iman dan Islam.
Prosesi manasik dalam ibadah haji dan perayaan ‘Idul Adha tidak terlepas dari penapak tilasan dan mengenang kembali seorang Manusia Agung yang diutus oleh Allah SWT. sebagai nabi dan rasul, yakni Nabi Ibrahim AS, yang juga diangkat oleh Allah sebagai Imam/pemimpin untuk menjadi panutan seluruh alam hingga akhir zaman. Keagungan pribadi nabi Ibrahim beserta keluarga dan pengikutnya, serta keteguhannya dalam berjuang menegakkan dakwah tauhid dan pemurnian loyalitas manusia kepada Allah, membuat kita bahkan Nabi Muhammad harus mampu mengambil keteladanan darinya. Allah SWT. berfirman:
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dengan kamu kebencian dan permusuhan buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja..” (QS 60:4).
Banyak hal yang harus kita teladani dari Nabi Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan beliau, dalam khutbah yang singkat ini akan kami sampaikan tiga hal yang menjadi isyarat bagi kaum Muslimin untuk mewujudkannya dalam realitas kehidupan, apalagi bagi kita, kaum muslimin bangsa Indonesia yang masih harus terus berjuang untuk mengatasi berbagai persoalan besar yang menghantui kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pertama, belajar dari kehidupan Nabi Ibrahim AS. membuat kita harus memberikan kepedulian yang lebih besar terhadap kesinambungan generasi yang dapat memperjuangkan tegaknya nilai-nilai kebenaran. Hal ini karena ketika usia Nabi Ibrahim sudah semakin tua, kerinduannya pada generasi penerus perjuangan menjadi semakin besar, dan ia pun harus berdo’a agar Allah SWT. menganugerahkan kepadanya keturunan yang shaleh. Beliau mengatakan dalam sebuah do’anya:
” Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku seorang anak yang termasuk orang-orang yang shaleh”
Kondisi generasi muda kita sekarang boleh dibilang cukup memprihatinkan. Kasus-kasus perzinahan, pemerkosaan, pembunuhan, perkelahian/tawuran, pencurian, narkoba, AIDS, dan berbagai kasus kriminal lainnya adalah kasus-kasus yang banyak dilakukan oleh generasi muda kita.
Satu hal yang harus kita ingat bahwa anak merupakan anugerah sekaligus amanah yang diberikan Allah SWT kita, maka setiap orang tua harus mensyukuri kehadiran sang anak, apapun jenis kelaminnya dan bagaimanapun keadaan anak itu. Dalam hal ini anak harus di didik dengan sebaik-baiknya sebagaimana Nabi Ibrahim dan Siti Hajar yang mendidik puteranya Ismail dengan sedemikian baik. Sebagai seorang isteri,siti hajar selalu mendukung sang suami yang aktif berjuang di jalan Allah dan rela ditinggalkan di satu lembah yang tandus dan tak berpenghuni,namun Siti Hajar tetap memberikan perhatian kepada anaknya Ismail dengan begitu baik, meskipun ia harus berusaha mencari rezki sendiri yang dalam hal ini adalah mencari air, ia pergi hingga ke bukit Shafa, namun ia khawatir pada anaknya, maka ia pun berjalan kembali untuk melihat anaknya. Ketika dilihat anaknya dalam keadaan baik, ia pun menuju Marwa.ritual Inilah yang kemudian disebut dengan Sa’I dari Shafa ke Marwa sebanyak tujuh kali.
Untuk bisa melahirkan generasi yang shaleh, yang harus menjadi shaleh terlebih dahulu adalah kita sebagai orang tuanya. Sangat jarang terjadi orang tua mendambakan anaknya menjadi shaleh sementara ia sendiri tidak shaleh. Hal ini karena mendidik anak harus dimulai dengan keteladanan yang baik dari lingkungan keluarganya, karenanya bagaimana mungkin orang tua bisa mendidik anak-anaknya dengan baik kalau ia sendiri tidak bisa memberi contoh yang baik. Perhatian dan kepedulian terhadap kaderisasi generasi muda harus menjadi agenda utama setiap pemimpin dan calon pemimpin bangsa ini, karena di tangan generasi muda lah terletak masa depan yang diharapkan lebih baik dari masa kini.
Kedua, yang menjadi pelajaran dari profil Nabi Ibrahim AS. dan keluarganya adalah keharusan mempertahankan dan memperkokoh idealisme sebagai seorang mu’min yang senantiasa berusaha untuk berada pada jalan hidup yang benar, apapun keadaannya dan bagaimanapun situasi dan kondisinya. Begitulah memang, yang telah ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim AS dan keluarganya dalam mempertahankan dan memperjuangkan ideologi Tauhid dengan hujjah, argumentasi atau alasan yang kuat. Dalam sejarah Nabi Ibrahim, kita dapatkan beliau menghancurkan berhala-berhala yang biasa disembah oleh masyarakat di sekitarnya, saat itu Ibrahim adalah seorang anak remaja, sebagaimana yang tercermin dalam firman Allah SWT yang menceritakan hal ini: (الأنبياء: 58-60)
 “Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur terpotong-potong, kecuali yang terbesar dari patung-patung yang lain, agar mereka kembali ( untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata: Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan sembahan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim. Mereka berkata: Kami dengar ada seorang anak remaja yang mencela tuhan-tuhan ini, namanya Ibrahim”.
Untuk mempertahankan idealismenya ini, Ibrahim bahkan siap untuk terus berjuang sampai mati, meskipun harus berjuang di wilayah lain, ia menyebut dirinya sebagai orang yang pergi (berhijrah) kepada Allah SWT, Tuhannya Yang Esa. Dalam hal ini Nabi Ibrahim menyatakan di hadapan orang-orang kafir: (الصافات: 99)
” Dan Ibrahim berkata: Sesungguhnya aku pergi (berhijrah) kepada Tuhanku dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku”.
Oleh karena itu, idealisme yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim AS tidak hanya saat ia masih muda belia, tapi bandingkan dengan suatu peristiwa yang amat menakjubkan, saat Ibrahim diperintah oleh Allah SWT untuk menyembelih puteranya, Ismail, dalam peristiwa pengorbanan yang sangat terkenal itu, saat itu Ibrahim sudah sangat tua, sedangkan Ismail adalah anak kesayangannya yang sangat didambakan sejak lama. Maka Ibrahim pun melaksanakan perintah Allah SWT yang terasa jauh lebih berat dari sekedar menghancurkan berhala-berhala di masa mudanya. Ini menunjukkan kepada kita bahwa Nabi Ibrahim AS memiliki idealisme sekaligus loyalitas dan totalitas yang tinggi kepada Allah semenjak masih muda sampai ia sudah tua. Dan inilah yang amat dibutuhkan dalam kehidupan di negeri kita, jangan sampai ada generasi yang pada masa mudanya menentang kezaliman, tapi ketika ia berkuasa pada usia yang lebih tua justeru ia sendiri yang melakukan kezaliman yang dahulu ditentangnya itu. Jangan sampai ada generasi yang semasa muda menentang korupsi, tapi saat ia berkuasa di usianya yang sudah semakin tua justeru ia sendiri yang melakukan korupsi padahal dahulu sangat ditentangnya. Dalam kehidupan sekarang, kita dapati banyak orang yang tidak mampu mempertahankan idealisme atau dengan kata lain tidak istiqomah sehingga apa yang dahulu diucapkan dan diperjuangkan tidak tercermin dalam langkah dan kebijakan hidup yang ditempuhnya, apalagi hal itu dilakukan karena terpengaruh oleh sikap dan prilaku orang lain, teman sejawat atau kelompoknya yang tidak baik. Karena itu, Rasulullah SAW, mengingatkan dalam haditsnya:
Janganlah kamu menjadi orang yang ikut-ikutan dengan mengatakan, kalau orang lain berbuat baik kami pun berbuat baik dan kalau mereka berbuat zalim kami pun akan berbuat zalim. Tetapi teguhkanlah dirimu dengan berperinsip: jika orang lain berbuat kebaikan kami berbuat kebaikan pula dan kalau orang lain berbuat kejahatan maka janganlah kamu berbuat zalim (seperti mereka).
Ketiga, dari sekian banyak ‘Ibrah dari pribadi Nabi Ibrahim dan keluarganya adalah pelajaran tentang kepemimpinan (Imamah). Di mana Allah telah memilih Nabi Ibrahim sebagai pemimpin bagi umat manusia atas berbagai prestasinya yang gemilang dalam banyak ujian yang telah dilaluinya. Dalam hal ini Allah menyebutkan dalam Al Qur’an:
” Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya secara sempurna. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu pemimpin bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: ” Janjiku ini tidak mencakup orang-orang yang zalim”.
Ujian Allah terhadap Nabi Ibrahim AS. cukup banyak, diantaranya, perintah untuk berdakwah memurnikan ketauhidan ummat manusia yang telah terkontaminasi oleh perbuatan syirik (menyekutukan Allah), perintah menyembelih puteranya Ismail, membangun Ka’bah dan membersihkan Ka’bah dari kemusyrikan, menghadapi raja Namrudz dan lain-lain. Selanjutnya Allah mengangkat Ibrahim sebagai pemimpin bagi manusia. Pemimpin yang menjadi tauladan yang baik dan berlaku bijak dan adil terhadap rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin manusia di bidang misi risalah yang diembannya dari Allah SWT, di bidang kehidupan beragama, politik, hukum, ekonomi dan lain-lain. Pemimpin yang berjuang untuk mengangkat martabat rakyatnya agar menjadi bangsa yang punya ‘izzah, berwibawa di mata Allah dan di dalam percaturan dunia. Tetapi Nabi Ibrahim berharap agar kepemimpinannya itu kelak akan diwariskan kepada anak cucunya, tetapi Allah memberikan ketentuan bahwa Imamah atau kepemimpinan ini tidak akan diberikan-Nya kepada orang-orang yang berbuat zalim; zalim terhadap dirinya dengan berbuat syirik (menyekutukan) kepada Allah, atau berbuat zalim kepada umat manusia dengan cara mengkhianati amanah yang telah dipercayakan kepadanya. Di dalam sejarah, kita mengenal banyak nabi dan rasul yang diutus oleh Allah untuk menjadi pemimpin manusia dari anak keturunan Nabi Ibrahim AS, dan yang terakhir adalah Nabi kita Muhammad SAW. Tapi tidak jarang dari anak keturunan Ibrahim yang berlaku zalim seperti orang-orang Yahudi dan bangsa Arab Jahiliyah yang tidak mampu mewarisi misi dakwah yang dibawa oleh Nabi Ibrahim AS, yang akhirnya Allah menghinakan mereka.
Di dalam kehidupan kekinian, cukup relevan untuk dikemukakan bahwa di dalam memilih pemimpin haruslah kita berhati-hati, jangan sampai kita memilih orang yang zalim sebagai pemimpin kita; karena sudah dapat dipastikan Allah akan menghancurkan orang-orang yang zhalim, dan kita yang memilihnya pun akan ikut binasa. Allah berfirman:
 “..maka Tuhan mewahyukan kepada para rasul: Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zhalim”. (Ibrahim:13).
Dan di akhirat, para pemimpin yang zalim dan para pemilih dan pengikutnya akan sama-sama disiksa di neraka dengan azab yang sangat pedih. Mari kita simak firman Allah berikut ini:
 “Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan (atau disate) di neraka, mereka berkata, ‘alangkah baiknya seandainya kami taat kepada Allah dan taat pula kepada Rasul. Dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan kebenaran. Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar”.
Kepemimpinan di dunia ini memang terkadang jatuh ke tangan orang-orang yang zalim akibat lemahnya orang-orang yang shaleh, padahal orang-orang shalehlah yang paling berhak menjadi pemimpin di muka bumi ini. Allah berfirman:
 “..Sesungguhnya bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang shaleh“.
Berbagai prilaku arogan yang dipertontonkan oleh orang-orang zalim di dunia kini adalah akibat dari kelemahan orang-orang shaleh, praktek-praktek buruk seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan berbagai ketidak adilan dalam pemerintahan yang dilakukan orang-orang yang zalim adalah akibat dari lemahnya orang-orang yang shaleh. Karena itu orang-orang yang beriman haruslah memilih orang yang shaleh yang memiliki visi dan misi kepemimpinan sebagaimana misi kepemimpinan nabi Ibrahim, yakni misi dakwah dan reformasi di semua sektor kehidupan. Barangsiapa yang memilih orang zalim sebagai pemimpinnya, maka ia ikut bertanggung jawab atas semua kezalimannya di hadapan mahkamah Allah SWT dan bertanggung jawab juga kepada rakyat.
Untuk memilih pemimpin yang shaleh, kita dapat melihat track record kepribadiannya di masa lalunya, secara vertikal ia harus baik hubungan ibadahnya kepada Allah SWT, dan secara horisontal ia selalu berbuat adil dan bijaksana serta penuh kasih sayang dan berakhlak baik kepada sesama manusia. Kondisi akhlak dan pendidikan keluarga dan anak-anaknya. Karena atas dasar inilah Nabi Ibrahim dipilih oleh Allah SWT. sebagai imam (pemimpin) bagi semua manusia. Hanya dengan kejelian dan penuh rasa tanggung jawab kita dalam memilih pemimpin yang shalih, beriman dan bertakwa serta memiliki dedikasi yang tinggi kepada Sang Khalik, di samping berakhlak mulia dan penuh kepedulian kepada sesamanya, negeri ini diharapkan dapat keluar dari krisis multidimensi, dan menjadi negeri yang penuh berkah dan maghfirah dari Allah SWT. “Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofuur”.
Dari uraian khutbah kita yang singkat pada pagi ini, dapat kita simpulkan bahwa sebagai seorang Muslim kita sangat dituntut untuk menunjukkan komitmen atau keterikatan dan loyalitas kita kepada Allah SWT. dengan menegakkan nilai-nilai Islam yang telah diturunkan-Nya, sebagai apapun kita dan di manapun posisi kita, baik dalam kehidupan berkeluarga, atau bermasyarakat dan berbangsa. Karenanya, Rasulullah SAW berpesan kepada kita agar selalu bertaqwa kepada Allah SWT di manapun kita berada.

Kegiatan Manasik Haji Lembaga Pendidikan Anak Embun Nabawi 2012

Tahallul (Pemotongan Rambut)

Para Pembimbing Manasik Haji Lembaga embun Nabawi

Gaya Narsis Para Pembimbing


9 Jun 2012

permasalahan dalam pelaksanaan pembagian warisan


PERMASALAHAN DALAM PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARISAN
dan
WASIAT·
Oleh : Abdul Hay Al-Batawie

I. PERMASALAHAN DALAM PELAKSANAAN PEMBAGIAN WARISAN
  1. A. Al-Aul
Al-Aul artinya bertambah. Dalam ilmu Faraidh istilah Al-Aul diartikan bagian-bagian yang harus diterima oleh ahli waris lebih banyak dari pada asal masalahnya, sehingga asal masalahnya harus ditambah atau diubah. Sebagai contoh untuk masalah ini adalah :
Ahli waris terdiri dari istri, ibu, dua saudara perempuan kandung dan seorang saudara seibu. Harta peninggalan Rp 45.000.000,-. Maka bagian masing-masing ahli waris tersebut adalah istri 1/4  ; ibu 1/6, dua saudara perempuan kandung 2/3 dan saudara saibu 1/6. asal masalahnya 12
.Istri                                           = 1/4 x 12  =   3
Ibu                                           = 1/6 x 12  =   2
2 saudara (pr) kandung               = 2/3 x 12  =   8
Seorang saudara seibu                 = 1/6 x 12  =   2
Jumlah                                                              15
Asal masalahnya 12, sedangkan jumlah bagian 15, maka asal masalah dinaikkan menjadi 15. cara penghitungan akhirnya :
Istri                                           = 3/15 x 45.000.000,-    =          9.000.000,-
Ibu                                           = 2/15 x 45.000.000,-    =          6.000.000,-
2 saudara (pr) kandung               = 8/15 x 45.000.000,-    =        24.000.000,-
1 saudara seibu                          = 2/15 x 45.000.000,-    =         6.000.000,-
Jumlah                                                                                   45.000.000,-
  1. B. Ar-Radd
Ar-Radd (ar-raddu) yaitu : “mengembalikan”. Menurut istilah faraidh ialah membagi sisa harta warisan kepada ahli waris menurut pembagian masing-masing mnerima bagiannya. Ar-Radd dilakukan karena setelah  harta diperhitungkan untuk ahli waris ternyata masih terdapat sisa, sedangkan tidak ada ‘ashobah. Maka harta yang tersisa tersebut dibagikan kepada ahli-waris yang ada kecuali suami atau isteri.
Sebagai contoh untuk masalah ini adalah sebagai berikut :
Ahli waris terdiri dari seorang anak perempuan dan ibu. Bagian anak perempuan adalah 1/2 dan ibu 1/6. asal masalahnya berarti 6.
Anak perempuan                                   = 1/2 x 6          = 3
Ibu                                                       = 1/6 x 6          = 1
Jumlah                                                                             4
Asal masalah (KPT/KPK)  adalah 6, sedangkan jumlah bagian 4. maka penyelesaian dengan radd asal masalahnya dikembalikan kepada 4. sehingga cara penyelesaian akhirnya adalah :
Anak perempuan                                   = 3/4 x harta warisan     =…
Ibu                                                       = 1/4 x harta warisan     =…
Cara penyelesaian diatas adalah apabila tidak ada suami atau istri. Apabila ada suami atau istri, cara penyelesaiannya adalah sebagai berikut;
Seseorang   meninggal dengan meninggalkan harta sebesar Rp 18.000.000,-. Ahli warisnya terdiri dari istri, dua orang saudara seibu dan ibu. Bagian istri 1/4, dua orang saudara seibu 1/3 dan ibu 1/6. asal masalahnya adalah 12.
Istri                                           =1/4  x 12        = 3
Dua saudara seibu                      = 1/3 x 12        = 4
Ibu                                           = 1/6 x 12        = 2
Jumlah bagian                                                       9
Karena ada istri, maka sebelum siswa warisan dibagikan, hak untuk istri diambil dulu dengan menggunakan asal maslah sebagai pembagi.
Maka untuk istri = 3/12 x  Rp. 18.000.000,- =  Rp 4.500.000,-.
Sisa warisan setelah diambil adalah 18.000.000,-  -  4.500.000,- = 13.500.000,- dibagi kepada dua saudara seibu dan ibu, dengan cara bilangan oembaginya adalah jumlah perbandingan kedua pihak ahli aris, maka 4+2 = 6. jadi bagian masing-masing adalah :
Dua sudara seibu                       = 4/6 x Rp. 13.500.000,-            = Rp.   9.000.000,-
Ibu                                           = 2/6 x Rp. 13.500.000,-            = Rp.   4.500.000,-
Jumlah                                                                          = Rp. 13.500.000,-
Maka dapat diketahui bagian masing masing ahli waris tersebut.
C. Gharawain
Gharawain artinya dua yang terang, yaitu dua masalah yang terang cara  penyelesaiannya yaitu :
  1. Pembagian warisan jika ahli warisnya suami, ibu dan bapak
  2. Pembagian warisan jika ahli warisnya istri, ibu dan bapak
dua masalah tersebut berasal dari Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Tsabit. Kemudian  disepakati oleh jumhur fuqaha. Dua hal tersebut diatas dianggap sebagai masalah karena jika di bagi dengan perhitungan yang umum, bapak memperoleh lebih kecil dari pada ibu. Untuk itu dipakai pedoman penghitungan khusus sebagaimana dibawah ini :
untuk masalah pertama maka bagian masing-masing adalah suami 1/2, ibu 1/3 sisa (setelah diambil suami) dan bapak ‘ashobah. Misalkan harta peninggalannya adalah Rp. 30.000.000,-. Maka cara pembagiannya dalah sebagai berikut :
suami 1/2 x Rp. 30.000.000,-      = Rp. 15.000.000,- sisanya adalah Rp. 15.000.000,-
ibu 1/3 x Rp.15.000.000,-           = Rp. 5.000.000,-
Bapak (‘ashobah)                        = Rp. 10.000.000,-
Jumlah                                      = Rp. 30.000.000,-
(dan begitu pula untuk pembagian pada masalah ke-2 yakni dengan ahli waris istri 1/4, ibu 1/3 sisa (setelah diambil hak istri) dan bapak ‘ ashobah )
D. Masalah Musyarakah
Musyarakah atau Musyarikah ialah yang diserikatkan. Yaitu jika ahli waris yang dalam perhitungan mawaris memperolah warisan akan tetapi tidak memperolehnya, maka ahli waris tersebut disyarikatkan kepada ahli waris lain yang memperolah bagian.
Masalah ini terjadi pada ahli waris terdiri dari suami, ibu, 2 orang saudara seibu dan saudara laki-laki sekandung, yang jika dihitung menurut perhitungan semestinya mengakibatkan saudara laki-laki sekandung tidak memperoleh warisan. Dalam masalah ini. Menurut Umar, Utsman, dan Zaid yang diiuti oleh Imam Tsauri, Syafe’i dan lain-lain, pembagian tersebut tidak adil.
Maka, untuk pemecahannya saudara kandung disyarikatkan dengan saudara seibu didalam baigiannya yang 1/3. sehingga penyelesaian tersebut dapat diketahui dalam pembagian berikut :
Suami   1/2       = 3/6 = 3
Ibu       1/6       = 1/6 = 1
Dua orang saudara seibu dan saudara (lk) sekandung         1/3 = 2/6 = 2
Jumlah              = 6.
Bagian saudara seibu dan saudara laki-laki sekandung dibagi rata, meskipun diantara mereka ada        ahli waris laki-laki maupun perempuan.
E. Masalah Akdariyah
Akdariyah artinya mengeruhkan atau menyusahkan, yaitu kakek menyusahkan saudara perempuan dalam pembagian warisan. Masalah ini terjadi jika ahli waris terdiri suami, ibu, saudara perempuan kandung/sebapak dan kakek.
Bila diselesaikan dalam kaidah yang umum, maka dapat diketahui bahwa kakek bagian lebih kecil dari pada saudara perempuan. Padahal kakek dan saudara perempuan mempunyai keduduka yang sama dalam susunan ahli waris. Bahakn kakek adalah garis laki-laki, yang biasanya memperoleh bagian lebih besar dari pada perempuan, maka dalam masaah ini terdapat tiga pendapat dalam penyelesaiannya, yaitu :
  1. Menurut pendapat Abu Bakar ra. Saudara perempuan kandung/sebapak mahjub oleh kakek. Sehingga bagia yang diperoleh  oleh masing-masing ahli waris adalah suami 1/4, ibu 1/3,  kakek ‘ashobah, dan saudara perempuan terhijab hirman.
  2. Menurut pandangan Umar bin Khatib dan Ibn Mas’ud, untuk memecahkan masalah diatas, amak bagian ibu dikurangi dari 1/3 menjadi 1/6, untuk menghindari agar bagian ibu dikurangi dari 1/3 menjadi 1/6, untuk menghindari agar bagian ibu tidak lebih besar dari pada bagian kakek. Sehingga bagian yang doioerolah masing-masing ahli waris adalah suami 1/2, ibu 1/6, saudara perempuan ½ dan kakek 1/6. diselesaikan dengan Aul.
  3. Menurut pendapat Zaid bin Tsabit, yaitu dengan cara menghimpun bagian saudara perempuan dan kakek, lalu membaginya dengan prinsip laki-laki memperolah dua kali bagian perempuan. Sebagaimana jatah pembagian umum, saudara perempuan 1/2 dan kakek 1/6. 1/2 dan 1/6 digabungkan lalu dibagikan untuk berdua dengan perbandingan pembagian saudara perempuanndan kakek = 2 : 1.
F. Hal-hal yang berkenaan dengan harta Peninggalan
Beberapa masalah yang berkaitan dengan harta yang terlebih dahulu wajib ditunaikan oleh ahli waris sepeninggal seorang muslim yang meniggalkan harta, yaitu:
  1. Biaya penyelenggaratan Jenazah
  2. Pelunasan hutang
  3. pelaksanaan wasiat
G. Penetapan Ahli Waris yang Mendapat Bagian (Itsbatul Waris)
Dalam Itsabatul Waris ini harus dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah berikut ini :
  1. Meneliti siapa saja yang menjadi ahli waris, baik karena hubungan kerabat, pernikahan maupun karena  sebab lainnya.
  2. Meneliti siapa saja yang terhalang menerima warisan. Misalnya karena membunuh atau atau beda agama.
  3. Meneliti ahli waris yang dapat terhijab.
  4. Menetapkan ahli waris yang berhak menerima warisan, setelah melakukan perhitungan yang tepat tentang jumlah harta peniggalan almarhum/almarhumah.
H. Cara Pembagian Sisa Harta
Yang dimaksud  dengan sisa harta warisan adalah :
  1. Sisa harta setelah semua ahli waris menerima bagiannya
  2. Sisa harta karena orang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris
Didalam menyelesaikan masalah diatas menurut para ulama dalah sebagai berikut :
  1. Jumhur sahabat,  Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan ulama Syi’ah berpendapat :
  1. dibagikan kembali kepada dzawil furudh selain suami/istri dengan jalan radd.
  2. Bila tidak ada ahli waris, maka harta warisan diberikan kepada  dzawil arham.
  3. Bila dzawil arham pun tidak ada, maka harta peniggalan diserahkan ke baitul mall.
  1. Imam Malik, Iamam Syafe’i, Al-Auza’i dan lain-lain berpendapat bahwa sisa harta warisan, baik setelah ahli waris mendapatkan  bagiannya maupun karena tidak ada ahli waris, tidak boleh diselesaikan dengan jalan radd maupun diserahkan ke dzawil arham, tetapi harus diserahkan ke baitul mall untuk kepentingan umat islam.
I. Bagian Anak dalam Kandungan
Beberapa permasalahan yang menyangkut dengan anak yang masih berada dalam kandungan yaitu :
  1. Apakah janin yang masih dalam kandungan tersebut ada hubungan kekrabatan yang sah dengan si mati, maka perlu diperhatikan tenggang waktu anara akad nikah dengan usia kandungan.
  2. Belum bisa dipastikan jenis keamin dan jumlah bayi yang ada dalam kandungan tersebut.
  3. Belum bisa dipastikan, apakah janin tersebut akan lahir dalam keadaan hidup atau mati.
  4. Jika harta warisan dibagikan maka akan menimbulkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi.
Bayi yang lahir dalam keadaan hidup, mempunyai hak warisan dari ayahnya yang meninggal. Sabda Rasulullah saw. :“Jika anak yang dilahirkan berteriak, mak ia diberi warisan”
Jalan Keluar dalam masalah ini adalah :
  1. para ahli waris yang ada boleh mengambil bagian dengan jumlah paling minimal dari kemungkinan-kemngkinan yang bisa terjadi.
  2. Apabila harta warisan dapat dijaga dan pembagianya tidak mendesak, maka pembagian warisan ditunda sampai bayi lahir.
J. Bagian Orang Yang Hilang
Yang dimaksud dengan orang yang hilang disini ialah yang tidak diketahui keberadaannya dalm jangka waktu yang relatif lama. Orang yang hilang tersebut bisa sebagai muwaris maupun ahli waris, maka dapat ilaksanakan sebagai berikut :
Apabila kedudukannya sebagai Muwarits
  1. Harta yang hilang sebaiknya ditahn sampai ada kepastian keberadaannya atau kepastian tentang hidup atau matinya
  2. Ditunggu sampai batas usia manusia pada umumnya. Menurut Adul Hakim ditunggu sampai batas usia kurang 70 tahun.
Apabila kedudukannya sebagai ahli waris
Harta warisan dibagikan, dan ia (orang yang hilang) diberikan bagian sebagaimana bagian semestinya dan diberikan bila ia masih hidup atau datang. Dan diserahkan kepada ahli waris lain bila ia sudah meninggal.
K. Bagian orang yang meninggal bersama-sama
Orang yang meninggal secara bersamaan yang disebabkan oleh penyebab-penyebab tertentu, tidak saling waris mewarisi baik ada hubungan kekerabatan maupun pernikahan. Sebab adanya saling waris mewarisi ialah adanya al –muwarits yang sudah meninggal dunia dan al-Warits yang masih hidup.
Pendapat ini dipegang oleh Abu Bakar dan Umar, lalu diikuti oleh jumhur Fuqaha. Antara lain Imam Malik, Imam Syafe’i, Imam Abu Hanifah dan lain-lain.
L. Hikmah Pembagian Warisan
  1. Menghindari terjadinya persengketaan dalam keluarga karena maslah pembagian harta warisan
  2. Menghidari timbulnya fitnah. Karena pembagian harta warisan yang tidak benar
  3. dapat mewujudkan keadilan dalam keluarga, yang kemudian berdampak psitif bagi keadilan dalm masyarakat
  4. Memperhatikan orang-orang yang terkena musibah karena ditinggalkan oleh anggota keluarganya
  5. Menjunjung tinggi hukum Allah dan Sunnah Rasulullah.
II. WASIAT
  1. Pengertian Wasiat
Secara Bahasa Wasiat berarti Pesan. Sedangkan secara istilah artinya Pesan terhadap sesuatu yang baik, yang harus dilaksanakan atau dijalankan sesudah seorang meninggal dunia.
Dalam arti khusus wasiat yang dimaksudkan disini adalah pesan seseorang untuk mentasarrufkan/membelanjakan harta yng ditinggalkan jika ia telah meninggal dunia, dengan cara yang baik yang telah ditetapkan.
  1. B. Hukum Wasiat
Firman Allah swt. :
|=ÏGä. öNä3ø‹n=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.y‰tnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§‹Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒy‰Ï9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym ’n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf . (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.(QS. Al-Baqarah : 180)
Jika dilihat dari segi cara dan obyek wasiat, maka hukum berwasiat dapat dijelaskan sebagai berikut :
  1. Wajib, dalam hal yang berhubungan dengan hak Allah, seperti zakat, fidyah, puasa dan lain-lain
  2. Sunnah, apabila berwasiat kepada selain karabat dekat dengan tujuan kemaslahatan dan mengharapkan ridho Allah swt.
  3. Makruh, apabila hartany sedikit dan ahli warisnya banyak dan sangat membutuhkan harta warisan tersebut.
  4. Haram, apabila untuk tujuan yang dilarang oleh agama.
  1. C. Rukun dan Syarat Wasiat
Rukun Wasiat adalah :
  1. orang yang mewasiatkan (Mushi)
  2. orang/pihak yang menerima wasiat (musha lahu)
  3. harta/sesuatu yang diwasiatkan (musha bihi)
  4. Ijab Qabdul (Shighat Wasiat)
Syarat-syarat wasiat :
  1. Orang yang berwasiat :
  • Baligh
  • Berakal sehat
  • Atas kehendak sendiri, tanapa paksaan dari pihak manapun
  1. Orang yang menerima wasiat
  • Harus benar-benar ada, meskipun ia tidak hadir pada saat wasiat diucapkan
  • Tidak menolak pemberian wasiat
  • Bukan pembunuh orang yang berwasiat
  • Bukan ahli waris yang berhak menerima warisan, kecuali atas persetujuan ahli waris lain.
  1. Syarat harta/sesuatu yang diwasiatkan :
  • Jumlah wasiat tidak lebih dari 1/3 dari harta yang ditinggalkan
  • Dapat berpindah miliki dari seseorang kepada orang lain
  • Harus ada ketika wasiat diucapkan
  • Harus dapat memberi manfaat
  • Tidak bertentangan dengan huk syara’.
  1. Syarat-syarat shighat :
  • kalimat dapat dimengerti maupun dipahami baik dengan lisan maupun tulisan.
  • Penerimaan wasiat diucapkan setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.
  1. D. Permasalahan dalam Wasiat
  2. Kadar Wasiat
Sebanyak-banyaknya wasiat adalah sepertiga dari harta yang dipunyai oleh orang yang berwasiat. Yaitu harta bersih setelah dikurangi hutang bila orang yang berwasiat meninggalkan harta, meskipun seandainya orang yang meninggal tersebut mewasiatkan seluruh hartanya, maka tetap pelaksanannya tidak beh melebihi sepertiga dari harta yang ditinggalkan.
Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya wasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu sudah banyak”
  1. Wasiat bagi orang yang tidak memiliki ahli waris
Adapun wasiat bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris, para ulama berbeda pendapat, antara lain sebagai berikut:
  1. sebagian berpendapat bahwa orang yang tidak mempunyai ahli waris tidak boleh berwasiat lebid dari sepertiga harta miliknya. Alasan mereka didasarkan kepada hadits-hadits Nabi saw. Yang shahih yang mengatakan bahwa sepertiga itupun sudah banyak, dan Nabi saw, tidak memberikan pengecualian kepada orang yang tidak mempunyai ahli waris.
  2. Sebagian ulama lain berpendapat, bahwa orang yang tidak mempunyai ahli waris boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga hartanya. Mereka beralasan  bahwa hadits-hadits Nabi saw. Yang membatasi sepertiga adalah karena ada ahli waris  yang sebaiknya ditinggalkan dalam keadaan cukup dari pada dalm keadaan miskin, maka apabila ahli waris tidak ada, pembatasan sepertiga itu tidak berlaku. Pendapat ini dikemukakan oleh ibnu Mas’ud, ibnu Ubadah, Masruq dan diikuti ulama-ulama Hanafiah.
  1. E. Hikmah Wasiat
    1. Mentaati perintah Allah swt. Sebagaimana tertuang  dalam QS. Al-Baqarah :180
    2. Sebagai amal jariyah seseorang setelah dirinya meninggal dunia
    3. Menghormati nilai-nilai kemanusiaan, terutama bagai kerabat atau orang lain yang tidak mendapat warisan.
SOAL-JAWAB Pilihan Ganda
  1. Bagian-bagian yang harus diterima oleh ahli waris lebih banyak dari masalahnya, yang mengakibatkan asal-masalahnya ditambah. Dalam ilmu Faraidh istilah ini disebut dengan?
    1. Al-Aul                                                 c. Gharawain
    2. Al-Radd                                               d. Masalah musyarakah
  1. Secara bahasa Ar-Radd berarti…
    1. menambahkan, bertambah                  c. mengembalikan
    2. bertukar, berkurang                             d. yang disyarikatkan
  1. Jika ahli waris terdiri dari suami/istri, ibu, bapak. maka penyelesaian untuk masalah ini dalam permasalahan pembagian warisan tergolong kepada …
    1. Musyarakah                                         c. Akdariyah
    2. Gharawain                                           d. aul/radd
  1. Berikut ini adalah sahabat yang pertama kali memperkenalkan masalah garawain ialah…
    1. Jumhur ulama, dan para sahabat
    2. Umar bin Khatab dan Usman bin Affan
    3. Abu Bakar Siddiq dan Ali bin Abi Thalib
    4. Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Tsabit
  1. Yang dimaksud dengan Musyarakah dalam permasalahan pembagian warisan ialah…
    1. Menserikatkan atau menggabungkan ahli waris yang tidak memperolah bagian dalam pembagian warisan dengan ahli waris lain yang memperolah bagian
    2. Dua masalah yang terang penyelesaiannnya
    3. Pembagian warisan dengan cara meninggalkan ahli waris yang tidak memperoleh bagian warisan karena adanya ahli waris lain yang lebih berhak
    4. Pemecahan masalah pembagian warisan dengan cara mengurangi hak ahli waris lain yang memiliki bagian yang lebih banyak
  2. Berikut yang dipermasalahkan dalam Akdariyah adalah …
    1. saudara perempuan yang menyusahkan kakek dalam pembagian warisan
    2. Kakek yang menyusahkan saudara perempuan dalam penyelesaian pembagian warisan
    3. Permasalahan yang terjadi jika ahli waris terdiri dari suami, ibu, saudara perempuan kandung/sebapak dan kakek
    4. Permasalahan yang terjadi jika ahli waris terdiri suami, istri, ibu, ayah, dan saudara perempuan kandung
    5. Permasalahan yang terjadi jika ahli waris terdiri suami/istri, ibu, dan bapak.
  1. Penyelesaian permasalahan Akdariyah dengan cara menghimpun bagian saudara perempuan dan kakek, lalu membaginya dengan prinsip laki-laki lebih banyak dua kali dari perempuan. Pernyataan ini dikemukakan oleh…
    1. Jumhur sahabat
    2. Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab
    3. Umar bin Khattab dan ibnu Mas’ud
    4. Abu Bakar Siddiq
    5. Zaid bin Tsabit.
  1. Diantara kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan terlebih dahulu oleh ahli waris sepeninggal mawaris adalah, kecuali…
    1. Biaya penyelenggaraan jenazah
    2. Pelunasan hutang mayit
    3. Pelaksanaan wasiat
    4. Memaafkan seluruh kesalahan mayit
    5. Melunasi hutang materi yang diperbuat oleh mayit selama di dunia.
  1. itsbatul waris merupakan istilah lain dari…
    1. Pelunasan Hutang mayit
    2. Cara pembagian sisa harta
    3. Penetapan ahli waris yang mendapat bagian
    4. Penetapan bagian ahli waris yang hilang
    5. Perhitungan bagian ahli waris
10.  Yang dimaksud dengan sisa harta warisan…
  1. Sisa harta yang telah ditunaikan untuk wasiat
  2. Sisa harta setelah semua ahli waris menerima bagiannya
  3. Sisa harta setelah dikurangi dengan biaya penyelenggaraan jenazah, pelunasan hutang, dan untuk wasiat
  4. Sisa harta karena orang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris
  5. Jawaban b dan d benar
11.  Pendapat Imam Malik, Imam Syafe’i , Al-Auza’I tentang penyelesaiaan masalah sisa harta warisan adalah…
  1. Dibagikan kepada dzawil furudh selai suami/istri dengan jalan raad
  2. Bila tidak ada ahli waris, maka harta warisan diberikan kepada dzawil arham
  3. Bila dzawil arham pun tidak ada, maka harta peninggalan diserahkan ke baitul maal
  4. Diserahkan ke baitul maal untuk kepentingan umat islam, baik setelah ahli waris mendapat warisan ataupun karena tidak ada ahli waris
  5. Tidak diserahkan kemanapun tetapi cukup dibagi rata kepada seluruh ahli waris
12.  Berapa jangka waktu untuk menunggu muwaris yang dinyatakan hilang/meninggal karena tidak diketahui keberadaannya…
  1. 80 tahun                                              c. 70 tahun
  2. 90 tahun                                              d. 70-80 tahun
13.  Secara bahasa wasiat berarti…
  1. Pesan                                                   c. Janji
  2. Berita/kabar                                        d. surat
14.  Dasar hukum wasiat terdapat dalam al-Qur’an, yakni yang terdapat dalam…
  1. QS. Ali Imran : 80                               c. QS. An-Nisa : 7-14
  2. QS. Al-Baqarah : 100                         d. QS. Al-Baqarah : 180
15.  Wasiat yang ditujukan untuk membantu proses pembangunan tempat hiburan malam. Maka hukumnya adalah…
  1. Sunnah                                                            c. Haram
  2. Makruh                                                d. Boleh, asal tidak terlalu banyak
16.  Orang yang mewasiatkan disebut…
  1. Mushi                                                  c. Musha lahu
  2. Mushu                                                 d. Musha bihi
17.  Syarat harta yang diwasiatkan adalah, kecuali…
  1. Jumlah wasiat tidak lebih dari 1/4 harta yang ditinggalkan
  2. Dapat berpindah milik dari seorang  kepada orang yang lain
  3. Harus ada ketika wasiat diucapkan
  4. Harus dapat memberikan maslahat dan tidak dilarang agama
18.  Ulama yang berpendapat bahwa muwaris yang tidak memiliki ahli waris boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga hartanya adalah…
  1. Jumhur ulama
  2. Ulama-ulama salaf
  3. Ibnu Mas’ud, Ibnu Ubadah, Masruq dan diikuti oleh ulama-ulama Hanafiah
  4. Jumhur sahabat
=ÏGä. öNä3ø‹n=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.y‰tnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§‹Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒy‰Ï9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym ’n?tã tûüÉ)­FßJø9$#  19.
Ayat tersebut berkenaan dengan hukum…
  1. Warisan                                               c. Shadaqah Jariyah
  2. Wasiat                                                 d. Amal Ma’ruf
20.  Berikut ini merupakan hikmah wasiat, kecuali…
  1. Mentaati perintah Allah swt. Sesuai dengan yang tertuang dalam al-Qur’an
  2. Sebagai amal jariyah seseorang setelah dirinya meninggal dunia
  3. Menghormati nilai-nilai kemanusiaan, terutama bagi kerabat atau ornag lain yang tidak mendapat warisan
  4. Menunaikan amanah dari muwaris untuk kebaikan

  • · Resume buku Fiqih untuk Madrasah Aliyah Kelas 2 Karya Drs. H.M. Suparta, MA dan Drs. H. Djejen Zainuddin hal. 185-212