25 Mar 2012

Menyaksikan Jakarta di Bekas Titik 0 Kilometer Kota Jakarta

Ada yang menarik perhatian ketika Anda melewati daerah Pasar Ikan Jakarta Utara.  Beberapa meter di selatan Museun Bahari yang masih merupakan kompleks Westzijdsche Pakhuizen, terdapat bangunan menjulang setinggi 12 meter dengan lebar 4 x 8 meter.  Bentuk bangunan pun agak sedikit unik karena bangunan tua itu agak sedikit miring dan berdenah persegi – empat. Ternyata bangunan tua itu bernama Menara Syahbandar yang dahulunya pernah menjadi titik 0 kilometer kota Jakarta.
Menara Syahbandar pertama kali dibangun pada tahun 1640. Menara ini mempunyai fungsi sebagai de uitkijk atau menara peninjau,  baik itu mengawasi keadaan di pelabuhan Sunda Kelapa, mengawasi laut lepas di utara Jakarta, maupun untuk memantau kota Batavia di selatannya. Pada tahun 1839, de uitkijk melalukan perombakan hingga memiliki bentuknya seperti yang terlihat sekarang ini. Dihadapan menara ini juga dibangun dua gedung untuk proses pengurusan administrasi perniagaan sebelum rempah-rempah dikirim ke negara-negara Eropa. Menara ini sempat dijadikan sebagai kantor Komseko ( Komando Sektor Kepolisian). Menara Syahbandar ini dikelilingi oleh tembok tebal yang merupakan dinding dari bastion Kasteel Batavia. Pada tembok ini juga terpasang dua buah meriam yang menghadap ke arah muara  sungai Ciliwung.
Ketika memasuki menara Syahbandar ini, tepat berada di bawah tangga terdapat sebuah prasasti bertulisan Cina yang berbunyi “Batas Titik.” Tempat di mana prasasti itu berada diduga merupakan titik meridien atau titik pusat Kota Batavia.  Prasasti di tugu yang ditandatangani Gubernur Jakarta Ali Sadikin tahun 1977 itu dijadikan penanda Kilometer 0 di masa lalu.  Memang, secara geografis, Menara Syahbandar di masa silam menjadi patokan titik 0 Kota Jakarta. Karena di lokasi tersebut menjadi titik awal berkembangnya Kota Jakarta.  Akan tetapi, kemudian titik Kilometer 0 dipindah ke Monumen Nasional.
Ada tiga ruangan yang ada di dalam menara. Sebuah ruangan di lantai dasar, sebuah ruangan di bagian tengah, dan sebuah ruangan lagi di bagian atas. Di bagian bawah lantai dasar, terdapat ruangan yang dulunya digunakan sebagai penjara.  Dari atas bangunan yang pernah menjadi bangunan tertinggi pada abad ke-18 ini,  Anda bisa melihat sekeliling dengan leluasa.  Barisan perahu-perahu phinisi nampak rapi berderet di pelabuhan Sunda Kelapa. Kafe galangan VOC yang memang dulunya merupakan galangan kapal juga nampak dengan jelas dari Menara Syahbandar ini.
Salah satu keunikan dari Menara Syahbandar adalah kemiringannya.  Mirip dengan  Menara Pisa yang berada  di Italia, yang berdiri miring beberapa derajat dari patokan garis vertikal. Pada saat pengukuran tahun 2001, sudut kemiringan menara yang dibangun pada 1839 itu baru mencapai 2°15′54″ ke arah selatan dan 0°15′58″ ke arah barat, tapi sekarang mungkin sudah lebih miring lagi. Hal ini disebabkan oleh kondisi fondasi dan tanah yang labil dan daerah menara Syahbandar ini merupakan akses jalur yang sering di lewati truk – truk.  Kalau dua atau tiga kontainer yang memuat alat-alat berat melewati jalan di depan menara,  getarannya bakalan sangat  terasa oleh orang-orang yang berada dalam menara. Itulah yang membuat Menara  Syahbandar menjadi miring.
Pada tahun 1967 dengan diresmikannya pelabuhan Sunda Kelapa maka praktis menara pengawas ini tidak difungsikan lagi bagi kegiatan pelabuhan.  Namun daya tarik menara Syahbandar ini masih ada. Banyak wisatawan lokal maupun mancanegara  yang berdatangan untuk sekedar melihat Menara Syahbandar ini.