I
Agama sebagai
sebuah fakta kultural dan historis memiliki dua dimensi utama: simbolis/mitis
dan sosiologis. Dimensi simbolis/mitis mengandung arti bahwa agama merupakan
sebuah struktur makna (meaning structure) yang berada di ranah abstrak dan
keberadaannya terlepas dari ruang dan waktu. Melalui struktur makna tersebut
maka mode pemahaman diri (mode of self-understanding) digagas dan diciptakan
melalui berbagai kegiatan penafsiran (hermeneutics) atas ajaran. Dalam kegiatan
ini termasuk penciptaan dan penafsiran atas simbol-simbol dan metafor yang ada
untuk kemudian dirumuskan serta diterapkan dalam tindakan aktual. Karena
sifatnya yang abstrak dan sangat tergantung pada kemampuan tafsir itulah maka
ajaran agama pada hakekatnya terbuka untuk diperdebatkan, apalagi ditambah
adanya kenyataan adanya konteks sosiologis dan dimensi historis yang akan
menjadi batas dan bingkainya. Pemahaman terhadap ajaran agama, dengan demikian,
tidak mungkin tunggal atau monolitik. Munculnya berbagai macam aliran atau
mazhab (schools of thought) sebenarnya merupakan hal yang wajar dan sah-sah
belaka. Ketika agama dan pemeluknya berada dalam konteks politik, maka peran
dan fungsi sosial dan politik agama pun akan sangat dipengaruhi oleh dialektika
antara dimensi simbolis/mitis dan sosiologis/historis. Pada suatu konteks
historis tertentu agama bisa saja begitu hegemonik sehingga sakan-akan menjadi
satu-satunya alat untuk menjelaskan realitas atau merupakan kekuatan
ideolologis yang tak tertandingi dalam masyarakat. Namun pada konteks yang lain
posisi seperti ini dapat saja terdesak ataupun mengalami pergeseran-pergeseran
dan bahkan bisa lebih jauh: agama dianggap kehilangan relevansinya sebagai alat
penjelas realitas tersebut. Sejarah ummat manusia, jika dilihat dari perspektif
perkembangan agama, adalah rangkaian perubahan-perubahan yang terjadi dalam
peran dan fungsi agama dalam konteks sosiologis ummat manusia.
Salah satu peran
kesejarahan dari agama adalah kemampuannya untuk menjadi motor bagi perubahan
sosial dan politik, khususnya ketika sedang terjadi situasi krisis dalam
masyarakat. Agama menyediakan ajaran-ajarannya, termasuk simbol-simbol di
dalamnya, sebagai rujukan bagaimana cita-cita ideal dan cara-cara mencapainya
dirumuskan secara sistematik dan konkret baik dalam bentuknya yang cukup
sederhana. Dengan perkataan lain, agama kemudian menjadi ideologi untuk
mobilisasi sumberdaya politik. Hal ini muncul, umpamanya, dalam berbagai bentuk
ideologi millenarian di era pra-modern dan, yang cukup canggih,
fundamentalisme pada era modern dan paska modern. Melalui ideologisasi
tersebut, simbol-simbol tertentu diapropriasi melalui penafsiran-penafsiran dan
dijadikan sebagi rujukan untuk memahami dan sekaligus merekonstruksi kenyataan
sosial dan politik, termasuk perumusan jawaban-jawaban yang dianggap tepat dan
tuntas. Kasus gerakan millenarian melawan rezim kolonial, sebagaimana kita
lihat dalam pemberontakan petani Banten di abad ke 19, dengan jelas menunjukkan
bagaimana agama dijadikan sebagai ideologi politik yang mampu memobilisasi
kekuatan massa dengan efektif sehingga harus dihadapi dengan kekuatan negara
secara sangat serius. Demikian pula, munculnya gerakan fundamentalis Islam yang
secara signifikan merubah peta geopolitik dan geostrategi global pada era paska
Perang Dingin merupakan petunjuk bagaimana agama dapat dijadikan sebagai
ideologi politik oleh kelompok kepentingan tertentu secara efektif.
Dalam perjalanannya,
agama tak selalu menjadi kekuatan dominan ataupun hegemonik, khususnya dalam
sejarah modern. Dengan adanya kenyataan sosiologis berupa perubahan paradigma
cara berfikir dan bertindak dalam masyarakat yang didasari oleh ilmu
pengetahuan modern yang bersumber dari filsafat sekular, maka peran agama
mendapat tantangan yang kuat. Selama lebih dari tiga abad lamanya ilmu
pengetahuan modern telah menjadi pesaing agama-agama sebagai struktur makna dan
alat penjelas realitas, kendatipun pihak yang pertama tidak dapat secara total
menghapus pihak yang terakhir itu. Namun, pertarungan antara kedua struktur
makna tersebut telah berdampak sangat besar bagi perkembangan kesejarahan dan
peradaban manusia modern. Dalam konteks sosial politik, munculnya ideologi-ideologi
sekular seperti liberalisme, sosialisme, kapitalisme, komunisme dsb. telah
merubah wajah dunia dan manusia secara signifikan. Di samping itu mereka juga
telah membuat agama cenderung dalam posisi defensif, jika tidak dapat dikatakan
kehilangan relevansinya.
Di tengah-tengah
pertarungan seperti itulah upaya-upaya mencari titik temu (common ground)
antara keduanya coba di lakukan. Di kalangan agama-agama sendiri, umpamanya,
muncul arus pemikiran bahwa agama tidak selalu harus menjadi ideologi dan lebih
memilih menempatkan diri sebagai landasan etik dalam politik modern. Sehingga
kaum agamawan dan ummat dapat menerima gagasan-gagasan serta praksis yang
bersumber dari luar, termasuk paham sekular, sejauh mereka tidak bertabrakan
dengan etik dan moralitas agama. Dengan demikian kaum agamawan, termasuk
intelektual dan aktivis di dalamnya, tidak secara a-priori menolak
gagasan-gagasan dan praksis "sekular" seperti HAM, demokrasi,
persamaan gender, dsb. Namun agama dapat ikut mewarnai pelaksanaanya, sesuai
dengan konteks sosilogis dan politis dimana gagasan dan praksis itu berlaku.
Agama kemudian diposisikan lebih sebagai "partner" dan kadang-kadang
alat kritik yang ampuh sehingga dominasi dan hegemoni ideologi
"sekular" dapat dihindarkan atau sekurang-kurang diminimalisasi.
Selain itu agama tetap terbuka sebagai salah satu sumber alternatif bagi
perubahan-perubahan peradaban karena ternyata dalam perkembangannya hingga saat
ini sekularisme, ilmu pengetahuan dan teknologi modern harus menyadari dan
mengakui bahwa mereka memiliki batas-batas dan kelemahan-kelemahan yang cukup
serius. Kecenderungan untuk menguasai dan mengatur (will to power and control)
secara total yang inheren dalam dunia modern, misalnya, ternyata telah
melahirkan berbagai bencana kemanusiaan yang dahsyat yang akibatnya masih
terasa sampai saat ini dan di masa datang, seperti perang
nuklir, holocaust, genosida, perusakan lingkungan, dsb.
II
Dalam konteks
Indonesia pun simbolisasi terhadap agama, termasuk pada Islam,
sesungguhnya mengikuti pola dan alur yang sama dengan model yang disebut di
atas. Artinya, apropriasi simbolis atas Islam yang terjadi sepanjang sejarah
Indonesia terkait erat dengan gerak perubahan sosial dan politik yang
melibatkan kekuatan-kekuatan masyarakat khususnya kelompok atau gerakan-gerakan
Islam. Dalam perjalanan yang cukup panjang keterlibatan gerakan-gerakan Islam
dalam blantika politik di Indonesia diawali dengan masuknya agama ini pada abad
ke tigabelas dan kemudian menjadi salah satu kekuatan hegemonik dalam kiprah politik
di beberapa wilayah Nusantara, seperti di Aceh, Sumatera Barat, Jawa, Sulawesi
bagian selatan, dan Maluku. Munculnya berbagai pusat-pusat kekuasaan dalam
bentuk kesultanan dan kerajaan-kerajaan Islam di wilayah-wilayah tersebut
menunjukkan peran politik yang sangat signifikan dan berkembangnya Islam
sebagai ideologi politik.
Namun pada saat
yang sama, pengaruh Islam juga tampak pada ranah yang lain yaitu sosial dan
budaya, khususnya intelektual. Di Jawa pengaruh ini dibawa oleh para pionir
yang dikenal dengan Wali Songo (Wali Sembilan) dan para Kyai secara
berkesinambungan melalui kerja-kerja pribadi maupun lembaga-lembaga pendidikan
(pesantren) dan sosial keagamaan. Dengan adanya aktivitas ini maka Islam,
sebagai fenomen sosial dan cultural, kemudian juga mengalami proses akulturasi
yang salah satu dampaknya adalah munculnya warna Islam lokal (indigeneous)
dengan berbagai macam perwujudannya. Islam dengan demikian menjadi salah satu
penyumbang utama bagi pembentukan embrio masyarakat sipil, yaitu dengan bertumbuhnya
lembaga-lembaga non negara di dalam masyarakat. Melalui lembaga-lembaga inilah
ajaran Islam masuk ke dalam masyarakat dan pada akhirnya mewarnai kehidupan
secara lebih mendasar. Islam yang berwarna lokal seperti ini lebih cenderung
non ideologis, eklektik, dan memiliki kemampuan adaptasi dengan perubahan
sosial, politik, dan budaya yang amat besar. Kemampuan ini terbukti dalam
keharmonisan dan bahkan konvergensi antara elemen ajaran dengan elemen budaya
dan tradisi lokal (indigeneous culture and traditions).
Kedua arus Islam
di atas, yaitu Islam “politik” dan Islam “kultural,” memiliki hubungan
dinamisnya sendiri yang kemudian mempengaruhi perjalanan Islam sebagai kekuatan
sosial dan politik sampai saat ini. Kedua arus tersebut saling berkembang dan
pengaruh-mempengaruhi serta berinteraksi dengan perubahan-perubahan sosial dan
politik yang terjadi. Pada masa pra kolonial, khususnya ketika
kerajaan-kerajaan Islam memiliki kedaulatannya sendiri, dikotomi antara arus
politik dan kultural tidak menampilkan diri secara jelas, kendatipun tidak
berarti senantiasa harmonis. Ada kalanya ketika penguasa yang notabene
mengklaim sebagai mewakili Islam melakukan tindakan-tindakan yang dianggap
menindas, maka perlawanan dari kekuatan oposisi juga digelar oleh para pemimpin
Islam seperti para ulama dan Kyai. Kasus perlawanan terhadap Sultan Amangkurat
II yang mengakibatkan hancurnya basis perekonomian pesisir dan jatuhnya korban
ribuan ulama di wilayah pesisir Jawa Timur adalah salah satu contohnya.
Proses diferensiasi
sosial yang diakibatkan oleh modernisasi pada masa kolonial telah mempengaruhi
dinamika hubungan kedua arus tersebut. Munculnya perekonomian yang berbasis non
agraris dan tumbuhnya kota-kota serta merta membawa pula pola-pola tuntutan
baru, baik secara politik, ekonomi, dan sosial yang baru. Ketika perubahan
tersebut semakin memperuncing hubungan politik antara kaum penguasa dan
terjajah maka diperlukan artikulasi-artikulasi ideologis yang mampu untuk
menjadi penyalur kepentingan. Islam politik menemukan momentumnya melalui para
aktivis di perkotaan seperti halnya yang tampak pada Sarikat Islam yang menjadi
cikal bakal dari partai-partai politik Islam di negeri ini. Demikian juga
keperluan untuk menjawab tantangan modernisasi memunculkan upaya-upaya pembaharuan
di kalangan kaum terpelajar Islam. Munculnya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama
dsb. di awal dan pertengahan abad ke duapuluh merupakan respon arus Islam
kultural terhadap keperluan tersebut.
Tak pelak lagi,
dalam rangka mengembangkan pemikiran dan kiprah politik dan sosial budaya
tersebut penafsiran-penafsiran terhadap ajaran dan simbol-simbol dilakukan
secara sangat intensif dan bervariasi, mulai dari yang paling apologetik sampai
kepada yang paling argumentatif ilmiah. Konsep-konsep modern seperti demokrasi,
nasionalisme, kapitalisme, sosialisme, komunisme, dsb. dicoba direspon dengan
apropriasi ajaran dan simbol-simbol agama sehingga memunculkan suatu wacana dan
praksis yang sangat kreatif. Hasilnya tentu saja adalah bermunculannya gagasan
dan pengorganisasian sosial dan politik serta budaya yang berwarna Islam dengan
tujuan untuk menyiasati perkembangan yang sedang berjalan. Tentu saja hal ini
terjadi berbarengan dengan munculnya perkembangan di luar Indonesia dan ini,
tentu saja, ikut mempengaruhi dinamika Islam di Indonesia. Gagasan seperti pan
Islamisme dan gerakan Khilafah dan sejenisnya, seperti kita ketahui turut
berimbas kepada pemikiran dan gerakan Islam di tanah air, termasuk juga para
pemikir dan pemimpin-pemimpinnya.
Setelah kemerdekaan
diproklamasikan dinamika politik memberi peluang lebih jauh kepada kekuatan
Islam untuk terlibat lebih intensif dalam konstelasi baru. Baik arus politik
dan budaya keduanya secara aktif ikut mempengaruhi proses pengambilan keputusan
pada tingkat nasional yang akan menjadi landasan bagi Republik. Perjuangan
untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara pun dilakukan oleh para pemimpin
politik dalam konstituante serta dalam konstitusi, kendatipun tidak terwujud.
Yang terjadi justru adalah kesepakatan bahwa dasar negara adalah Pancasila dan
Islam bukan menjadi agama negara. Namun demikian warganegara diberi jaminan
untuk bebas memeluk agama yang dipeluknya dan negara mempunyai kewajiban untuk
melindungi pemeluk agama sehingga mereka dapat menjalankan secara aman.
III
Perkembangan
setelah munculnya Orba menunjukkan bahwa dialektika antara arus politik dan
kultural Islam ternyata mengalami berbagai pergeseran. Sebagian dari sebabnya
adalah kebijakan politik penguasa yang diskriminatif terhadap kekuatan politik
Islam sehingga melemahkan posisi tawarnya dalam percaturan politik dan, pada
gilirannya, berimbas pada kondisi ekonomi dan sosial mereka. Kondisi seperti
ini tentu saja menciptakan atmosfer politik yang sangat pengap dan menciptakan
reaksi-reaksi yang pada intinya menolak kebijakan seperti itu. Karena sistem
politik otoriter yang didukung oleh represi aparat keamanan bersama kekuatan
ekonomi yang besar, maka reaksi kekuatan politik Islam senantiasa dapat diredam
baik melalui represi fisik maupun non fisik, seperti stigmatisasi terhadap apa
yang disebut sebagai anti Pancasila dan bahaya Islam.
Sebagaimana kita
tahu, selama lebih dari tiga dasawarsa perpolitikan Indonesia menyaksikan
munculnya berbagai respon dari kalangan Islam dengan spektrum yang sangat luas,
mulai dari kecenderungan pasif-akomodatif sampai kepada yang paling keras dan
konfrontatif. Oleh karena pada aras politik formal orsospol yang berasas Islam
telah dihabisi melalui korporatisasi parpol dan hegemoni ideologis yaitu
pengasas-tunggalan, maka bagi mereka yang bersikukuh dengan paradigma Islam
sebagai agama dan negara (al islam addin wad daulah) tertutup kemungkinan
menggunakan jalur ini. Itulah sebabnya, ada tiga cara yang kemudian
dilakukan: pertama, melakukan perlawanan terbuka sebagaimana kita lihat
dalam kasus NII, Komando Jihad, dsb. kedua, dengan perlawanan klandestin,
dan ketigamenggunakan model mobilisasi pada akar rumput melalui majlis
taklim, usroh, kursus-kursus kader, dlsb.
Pada prinsipnya,
kelompok ini tetap mempertahankan paradigma yang menganggap agama pada saat
yang sama adalah ideologi politik yang mesti diejawantahkan secara tuntas.
Islam kemudian dianggap sebagai alternatif bagi sistem yang berlaku dan dengan
demikian penerapan syariat Islam dan sistem politik “Islami” merupakan tujuan
pertama dan terakhir. Kendati di dalam perwujudannya terdapat varian mengenai
strategi dan taktik, namun kerangka paradigmatik tidak berbeda. Dengan demikian
maka penafsiran atas ajaran dan apropriasi simbol-simbol agama sangat sarat
dengan nuansa ideologis dan politis. Konsep-konsep dan gagasan-gagasan seperti
demokrasi, HAM, ekonomi dsb. yang dianggap sebagai bukan Islami lantas dicoba
dicarikan alternatif melalui penafsiran ulang atas ajaran-ajaran dan
simbol-simbol yang dianggap sesuai dengan Islam. Pemikiran-pemikiran Pan
Islamis seperti yang tercermin dalam kelompok Ihwanul Muslimin dan kaum Mullah
revolusioner Iran merupakan rujukan-rujukan penting di kalangan ini.
Di sisi lain,
marginalisasi politik Islam oleh rezim Orba ditanggapi oleh sebagian kelompok
Islam dengan cara yang lebih kultural. Tanpa menafikan pentingnya dimensi
politik, para pendukung arus kultural ini melihat bahwa pendekatan ideologis
politis tampaknya tidak mampu memberikan jawaban terhadap tantangan yang lebih
besar yang sedang dihadapi ummat, yaitu keterbelakangan, kebodohan dan
kemiskinan struktural sebagai akibat dari modernisasi. Sisi politik formal,
dengan demikian, tidak dianggap sebagai satu-satunya alternatif apabila sistem
politik yang otoriter sangat kuat dan hegemonik. Kaum intelektual dan aktifis
Islam dari kalangan ini memilih jalan kultural sambil pada saat yang sama
mengupayakan perubahan-perubahan struktural secara gradual. Jalan pemberdayaan
masyarakat sipil (civil society) diutamakan sambil mengmebangkan pemikiran-pemikiran
terobosan yang digali dari khasanah Islam, khususnya khasanah lokal yang selama
berabad-abad telah berkembang.
Dari arus kultural
inilah ajaran dan simbol-simbol Islam ditafsirkan dan dikaji ulang dengan
meletakkannya pada kondisi konkret yang berkembang. Formalisme dan kehendak
untuk menjadikan Islam sebagai alternatif tidak lagi dianggap sebagai
satu-satunya jalan dan bahakn dianggap tidak viable bagi Indonesia yang majemuk
ini. Pemikir seperti Gus Dur, yang kemudian menjadi Presiden ke IV Indonesia,
menjadi pelopor kaum transformasionalis ini. Ormas seperti NU dan Muhammadiyah
cenderung untuk mengikuti model ini, walaupun diantara para pengikutnya ada
pula yang terlibat dalam model pertama yang formalistik dan ideologis.
IV
Setelah reformasi
digulirkan terjadilah intensifikasi dalam dinamika politikan di negeri ini. Ia
membuka peluang besar bagi arus politik dan kultural dalam kalangan Islam untuk
tampil secara lebih transparan dan bebas di ruang politik baik yang formal
maupun informal. Ruang publik yang tersedia juga menyediakan arena untuk wacana
politik bagi keduanya. Namun demikian kondisi transisi yang ada tidak
sepenuhnya dapat mengakomodasi aspirasi kalangan Islam karena masih belum
stabilnya situasi politik dan ditambah dengan masih belum berakhirnya krisis
ekonomi yang, bagaimanapun juga, membawa dampak negatif terhadap perjalanan
reformasi. Setidaknya kekhawatiran bahwa reformasi telah mengalami gejala
pemunduran (setback) telah menciptakan atmosfir politik yang serba gamang. Demikian
juga dengan munculnya berbagai konflik horizontal yang berwarna agama, telah
menempatkan umat Islam, termasuk kekuatan poltik di dalamnya, dalam posisi yang
kurang lebih dilematis. Di satu sisi, konflik yang berwarna agama tersebut
bagaimanapun harus dicari solusinya dan karena itu keterlibatan
kelompok-kelompok Islam sangat penting, namun di pihak lain keterlibatan
kelompok-kelompok Islam di dalamnya dianggap sebagai salah satu faktor yang
mengakibatkan intensitas konflik meningkat.
Terlepas dari situasi
tersebut, perkembangan ke depan dalam wacana dan kiprah politik Islam di negeri
ini akan sangat tergantung pada keberhasilan dalam meretas jalan menuju
demokratisasi. Jika demokratisasi mengalami hambatan, apalagi kegagalan, maka
tak terelakkan lagi bahwa kekuatan Islam secara keseluruhan akan mengalami
pemunduran dan keterpurukan. Pengalaman masa Orba menunjukkan bahwa struktur
politik yang tidak demokratis telah menciptakan keterpecahan dalam kalangan
Islam dan memicu tumbuhnya aspirasi-apsirasi radikal yang tidak menguntungkan
pemberdayaan politik Islam di Indonesia.
Oleh sebab itu
menjadi tanggungjawab para pemimpin Islam, baik politisi, kaum cendekiawan,
aktivis LSM, dan juga umat secara keseluruhan untuk mengontrol proses reformasi
ini sehingga tidak terdistorsi ke arah kembalinya kekuatan otoriter. Jika hal
ini bisa dilakukan, maka langkah berikutnya adalah mengintensifkan dialog dan
wacana antara dua arus utama yaitu arus politik dan ideologis di satu pihak dan
arus kultural transformatif di pihak lain. Walaupun pada saat ini kelihatan
adanya friksi-friksi dari kedua arus utama ini, tetapi hal itu masih belum
sampai pada tingkat yang tak terjembatani. Diperlukan kearifan para tokoh dan
pemikir serta aktivis dari kedua pihak untuk mampu mendengar dan memahami
argumentasi dan kiprah mereka. Sikap ini tentu saja tidak menghilangkan adanya
keharusan kritik terhadap penyimpangan-penyimpangan yang muncul.
Menurut hemat
saya, pendekatan kelompok kultural-transformastif di Indonesia memiliki
kekuatan dan masa depan yang lebih menjanjikan karena lebih sesuai dengan
konteks bangsa dan masyarakat yang pluralistik serta kekuatan sinergis dengan
tradisi dan praksis lokal. Pendekatan pemberdayaan umat melalui pengembangan
masyarakat sipil yang mandiri sejauh ini telah menghasilkan buah yang positif
berupa kemampuan umat di lapis bawah untuk berekspresi dan menampilkan kekuatan
riil dalam organisasi-organisasi kemasyarakatan dan politik. Dalam hal ini,
nilai-nilai dan ajaran serta simbol-simbol agama ditransfer ke dalam batang
tubuh masyarakat secara wajar dan natural melalui dialog dan kiprah sosial
bersama. Ini pada gilirannya menjadikan Islam sebagai bagian tak terpisahkan
dari konstruksi sosial dan budaya masyarakat sehingga tidak memerlukan lagi
artikulasi formal yang berlebihan.
Tantangan untuk
mengembangkan arus kultural transformatif tentu tidak kecil, terutama karena
perubahan-perubahan pada tingkat nasional dan global menunjukkan adanya
intensitas konflik-konflik ideologis yang menjurus pada stigmatisasi Islam.
Oleh sebab itulah konsolidasi kelompok kultural transformatif ini harus terus
menerus dilakukan melalui berbagai upaya dialog dan pertukaran wacana serta
ditopang oleh program-program konkret yang diarahkan pada pemberdayaan
masyarakat sipil dalam berbagai bidang kerja seperti pengembangan UKM/UMKM,
pendidikan, kesehatan, dan pemberantasan kemiskinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar sahabat sangat membantu untuk perkembangan di blogs kami
berikanlah komentar yang membangun