11 Apr 2012

agama simbolisasi dan politik islam indonesia



I
Agama sebagai sebuah fakta kultural dan historis memiliki dua dimensi utama: simbolis/mitis dan sosiologis. Dimensi simbolis/mitis mengandung arti bahwa agama merupakan sebuah struktur makna (meaning structure) yang berada di ranah abstrak dan keberadaannya terlepas dari ruang dan waktu. Melalui struktur makna tersebut maka mode pemahaman diri (mode of self-understanding) digagas dan diciptakan melalui berbagai kegiatan penafsiran (hermeneutics) atas ajaran. Dalam kegiatan ini termasuk penciptaan dan penafsiran atas simbol-simbol dan metafor yang ada untuk kemudian dirumuskan serta diterapkan dalam tindakan aktual. Karena sifatnya yang abstrak dan sangat tergantung pada kemampuan tafsir itulah maka ajaran agama pada hakekatnya terbuka untuk diperdebatkan, apalagi ditambah adanya kenyataan adanya konteks sosiologis dan dimensi historis yang akan menjadi batas dan bingkainya. Pemahaman terhadap ajaran agama, dengan demikian, tidak mungkin tunggal atau monolitik. Munculnya berbagai macam aliran atau mazhab (schools of thought) sebenarnya merupakan hal yang wajar dan sah-sah belaka. Ketika agama dan pemeluknya berada dalam konteks politik, maka peran dan fungsi sosial dan politik agama pun akan sangat dipengaruhi oleh dialektika antara dimensi simbolis/mitis dan sosiologis/historis. Pada suatu konteks historis tertentu agama bisa saja begitu hegemonik sehingga sakan-akan menjadi satu-satunya alat untuk menjelaskan realitas atau merupakan kekuatan ideolologis yang tak tertandingi dalam masyarakat. Namun pada konteks yang lain posisi seperti ini dapat saja terdesak ataupun mengalami pergeseran-pergeseran dan bahkan bisa lebih jauh: agama dianggap kehilangan relevansinya sebagai alat penjelas realitas tersebut. Sejarah ummat manusia, jika dilihat dari perspektif perkembangan agama, adalah rangkaian perubahan-perubahan yang terjadi dalam peran dan fungsi agama dalam konteks sosiologis ummat manusia.
Salah satu peran kesejarahan dari agama adalah kemampuannya untuk menjadi motor bagi perubahan sosial dan politik, khususnya ketika sedang terjadi situasi krisis dalam masyarakat. Agama menyediakan ajaran-ajarannya, termasuk simbol-simbol di dalamnya, sebagai rujukan bagaimana cita-cita ideal dan cara-cara mencapainya dirumuskan secara sistematik dan konkret baik dalam bentuknya yang cukup sederhana. Dengan perkataan lain, agama kemudian menjadi ideologi untuk mobilisasi sumberdaya politik. Hal ini muncul, umpamanya, dalam berbagai bentuk ideologi millenarian di era pra-modern dan, yang cukup canggih, fundamentalisme pada era modern dan paska modern. Melalui ideologisasi tersebut, simbol-simbol tertentu diapropriasi melalui penafsiran-penafsiran dan dijadikan sebagi rujukan untuk memahami dan sekaligus merekonstruksi kenyataan sosial dan politik, termasuk perumusan jawaban-jawaban yang dianggap tepat dan tuntas. Kasus gerakan millenarian melawan rezim kolonial, sebagaimana kita lihat dalam pemberontakan petani Banten di abad ke 19, dengan jelas menunjukkan bagaimana agama dijadikan sebagai ideologi politik yang mampu memobilisasi kekuatan massa dengan efektif sehingga harus dihadapi dengan kekuatan negara secara sangat serius. Demikian pula, munculnya gerakan fundamentalis Islam yang secara signifikan merubah peta geopolitik dan geostrategi global pada era paska Perang Dingin merupakan petunjuk bagaimana agama dapat dijadikan sebagai ideologi politik oleh kelompok kepentingan tertentu secara efektif.
Dalam perjalanannya, agama tak selalu menjadi kekuatan dominan ataupun hegemonik, khususnya dalam sejarah modern. Dengan adanya kenyataan sosiologis berupa perubahan paradigma cara berfikir dan bertindak dalam masyarakat yang didasari oleh ilmu pengetahuan modern yang bersumber dari filsafat sekular, maka peran agama mendapat tantangan yang kuat. Selama lebih dari tiga abad lamanya ilmu pengetahuan modern telah menjadi pesaing agama-agama sebagai struktur makna dan alat penjelas realitas, kendatipun pihak yang pertama tidak dapat secara total menghapus pihak yang terakhir itu. Namun, pertarungan antara kedua struktur makna tersebut telah berdampak sangat besar bagi perkembangan kesejarahan dan peradaban manusia modern. Dalam konteks sosial politik, munculnya ideologi-ideologi sekular seperti liberalisme, sosialisme, kapitalisme, komunisme dsb. telah merubah wajah dunia dan manusia secara signifikan. Di samping itu mereka juga telah membuat agama cenderung dalam posisi defensif, jika tidak dapat dikatakan kehilangan relevansinya.
Di tengah-tengah pertarungan seperti itulah upaya-upaya mencari titik temu (common ground) antara keduanya coba di lakukan. Di kalangan agama-agama sendiri, umpamanya, muncul arus pemikiran bahwa agama tidak selalu harus menjadi ideologi dan lebih memilih menempatkan diri sebagai landasan etik dalam politik modern. Sehingga kaum agamawan dan ummat dapat menerima gagasan-gagasan serta praksis yang bersumber dari luar, termasuk paham sekular, sejauh mereka tidak bertabrakan dengan etik dan moralitas agama. Dengan demikian kaum agamawan, termasuk intelektual dan aktivis di dalamnya, tidak secara a-priori menolak gagasan-gagasan dan praksis "sekular" seperti HAM, demokrasi, persamaan gender, dsb. Namun agama dapat ikut mewarnai pelaksanaanya, sesuai dengan konteks sosilogis dan politis dimana gagasan dan praksis itu berlaku. Agama kemudian diposisikan lebih sebagai "partner" dan kadang-kadang alat kritik yang ampuh sehingga dominasi dan hegemoni ideologi "sekular" dapat dihindarkan atau sekurang-kurang diminimalisasi. Selain itu agama tetap terbuka sebagai salah satu sumber alternatif bagi perubahan-perubahan peradaban karena ternyata dalam perkembangannya hingga saat ini sekularisme, ilmu pengetahuan dan teknologi modern harus menyadari dan mengakui bahwa mereka memiliki batas-batas dan kelemahan-kelemahan yang cukup serius. Kecenderungan untuk menguasai dan mengatur (will to power and control) secara total yang inheren dalam dunia modern, misalnya, ternyata telah melahirkan berbagai bencana kemanusiaan yang dahsyat yang akibatnya masih terasa sampai saat ini dan di masa datang, seperti perang nuklir, holocaust, genosida, perusakan lingkungan, dsb.

II
Dalam konteks Indonesia pun simbolisasi terhadap agama, termasuk  pada Islam, sesungguhnya mengikuti pola dan alur yang sama dengan model yang disebut di atas. Artinya, apropriasi simbolis atas Islam yang terjadi sepanjang sejarah Indonesia terkait erat dengan gerak perubahan sosial dan politik yang melibatkan kekuatan-kekuatan masyarakat khususnya kelompok atau gerakan-gerakan Islam. Dalam perjalanan yang cukup panjang keterlibatan gerakan-gerakan Islam dalam blantika politik di Indonesia diawali dengan masuknya agama ini pada abad ke tigabelas dan kemudian menjadi salah satu kekuatan hegemonik dalam kiprah politik di beberapa wilayah Nusantara, seperti di Aceh, Sumatera Barat, Jawa, Sulawesi bagian selatan, dan Maluku. Munculnya berbagai pusat-pusat kekuasaan dalam bentuk kesultanan dan kerajaan-kerajaan Islam di wilayah-wilayah tersebut menunjukkan peran politik yang sangat signifikan dan berkembangnya Islam sebagai ideologi politik.
Namun pada saat yang sama, pengaruh Islam juga tampak pada ranah yang lain yaitu sosial dan budaya, khususnya intelektual. Di Jawa pengaruh ini dibawa oleh para pionir yang dikenal dengan Wali Songo (Wali Sembilan) dan para Kyai secara berkesinambungan melalui kerja-kerja pribadi maupun lembaga-lembaga pendidikan (pesantren) dan sosial keagamaan. Dengan adanya aktivitas ini maka Islam, sebagai fenomen sosial dan cultural, kemudian juga mengalami proses akulturasi yang salah satu dampaknya adalah munculnya warna Islam lokal (indigeneous) dengan berbagai macam perwujudannya. Islam dengan demikian menjadi salah satu penyumbang utama bagi pembentukan embrio masyarakat sipil, yaitu dengan bertumbuhnya lembaga-lembaga non negara di dalam masyarakat. Melalui lembaga-lembaga inilah ajaran Islam masuk ke dalam masyarakat dan pada akhirnya mewarnai kehidupan secara lebih mendasar. Islam yang berwarna lokal seperti ini lebih cenderung non ideologis, eklektik, dan memiliki kemampuan adaptasi dengan perubahan sosial, politik, dan budaya yang amat besar. Kemampuan ini terbukti dalam keharmonisan dan bahkan konvergensi antara elemen ajaran dengan elemen budaya dan tradisi lokal (indigeneous culture and traditions).
Kedua arus Islam di atas, yaitu Islam “politik” dan Islam “kultural,” memiliki hubungan dinamisnya sendiri yang kemudian mempengaruhi perjalanan Islam sebagai kekuatan sosial dan politik sampai saat ini. Kedua arus tersebut saling berkembang dan pengaruh-mempengaruhi serta berinteraksi dengan perubahan-perubahan sosial dan politik yang terjadi. Pada masa pra kolonial, khususnya ketika kerajaan-kerajaan Islam memiliki kedaulatannya sendiri, dikotomi antara arus politik dan kultural tidak menampilkan diri secara jelas, kendatipun tidak berarti senantiasa harmonis. Ada kalanya ketika penguasa yang notabene mengklaim sebagai mewakili Islam melakukan tindakan-tindakan yang dianggap menindas, maka perlawanan dari kekuatan oposisi juga digelar oleh para pemimpin Islam seperti para ulama dan Kyai. Kasus perlawanan terhadap Sultan Amangkurat II yang mengakibatkan hancurnya basis perekonomian pesisir dan jatuhnya korban ribuan ulama di wilayah pesisir Jawa Timur adalah salah satu contohnya.
Proses diferensiasi sosial yang diakibatkan oleh modernisasi pada masa kolonial telah mempengaruhi dinamika hubungan kedua arus tersebut. Munculnya perekonomian yang berbasis non agraris dan tumbuhnya kota-kota serta merta membawa pula pola-pola tuntutan baru, baik secara politik, ekonomi, dan sosial yang baru. Ketika perubahan tersebut semakin memperuncing hubungan politik antara kaum penguasa dan terjajah maka diperlukan artikulasi-artikulasi ideologis yang mampu untuk menjadi penyalur kepentingan. Islam politik menemukan momentumnya melalui para aktivis di perkotaan seperti halnya yang tampak pada Sarikat Islam yang menjadi cikal bakal dari partai-partai politik Islam di negeri ini. Demikian juga keperluan untuk menjawab tantangan modernisasi memunculkan upaya-upaya pembaharuan di kalangan kaum terpelajar Islam. Munculnya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dsb. di awal dan pertengahan abad ke duapuluh merupakan respon arus Islam kultural terhadap keperluan tersebut.
Tak pelak lagi, dalam rangka mengembangkan pemikiran dan kiprah politik dan sosial budaya tersebut penafsiran-penafsiran terhadap ajaran dan simbol-simbol dilakukan secara sangat intensif dan bervariasi, mulai dari yang paling apologetik sampai kepada yang paling argumentatif ilmiah. Konsep-konsep modern seperti demokrasi, nasionalisme, kapitalisme, sosialisme, komunisme, dsb. dicoba direspon dengan apropriasi ajaran dan simbol-simbol agama sehingga memunculkan suatu wacana dan praksis yang sangat kreatif. Hasilnya tentu saja adalah bermunculannya gagasan dan pengorganisasian sosial dan politik serta budaya yang berwarna Islam dengan tujuan untuk menyiasati perkembangan yang sedang berjalan. Tentu saja hal ini terjadi berbarengan dengan munculnya perkembangan di luar Indonesia dan ini, tentu saja, ikut mempengaruhi dinamika Islam di Indonesia. Gagasan seperti pan Islamisme dan gerakan Khilafah dan sejenisnya, seperti kita ketahui turut berimbas kepada pemikiran dan gerakan Islam di tanah air, termasuk juga para pemikir dan pemimpin-pemimpinnya.
Setelah kemerdekaan diproklamasikan dinamika politik memberi peluang lebih jauh kepada kekuatan Islam untuk terlibat lebih intensif dalam konstelasi baru. Baik arus politik dan budaya keduanya secara aktif ikut mempengaruhi proses pengambilan keputusan pada tingkat nasional yang akan menjadi landasan bagi Republik. Perjuangan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara pun dilakukan oleh para pemimpin politik dalam konstituante serta dalam konstitusi, kendatipun tidak terwujud. Yang terjadi justru adalah kesepakatan bahwa dasar negara adalah Pancasila dan Islam bukan menjadi agama negara. Namun demikian warganegara diberi jaminan untuk bebas memeluk agama yang dipeluknya dan negara mempunyai kewajiban untuk melindungi pemeluk agama sehingga mereka dapat menjalankan secara aman.

III
Perkembangan setelah munculnya Orba menunjukkan bahwa dialektika antara arus politik dan kultural Islam ternyata mengalami berbagai pergeseran. Sebagian dari sebabnya adalah kebijakan politik penguasa yang diskriminatif terhadap kekuatan politik Islam sehingga melemahkan posisi tawarnya dalam percaturan politik dan, pada gilirannya, berimbas pada kondisi ekonomi dan sosial mereka. Kondisi seperti ini tentu saja menciptakan atmosfer politik yang sangat pengap dan menciptakan reaksi-reaksi yang pada intinya menolak kebijakan seperti itu. Karena sistem politik otoriter yang didukung oleh represi aparat keamanan bersama kekuatan ekonomi yang besar, maka reaksi kekuatan politik Islam senantiasa dapat diredam baik melalui represi fisik maupun non fisik, seperti stigmatisasi terhadap apa yang disebut sebagai anti Pancasila dan bahaya Islam.
Sebagaimana kita tahu, selama lebih dari tiga dasawarsa perpolitikan Indonesia menyaksikan munculnya berbagai respon dari kalangan Islam dengan spektrum yang sangat luas, mulai dari kecenderungan pasif-akomodatif sampai kepada yang paling keras dan konfrontatif. Oleh karena pada aras politik formal orsospol yang berasas Islam telah dihabisi melalui korporatisasi parpol dan hegemoni ideologis yaitu pengasas-tunggalan, maka bagi mereka yang bersikukuh dengan paradigma Islam sebagai agama dan negara (al islam addin wad daulah) tertutup kemungkinan menggunakan jalur ini. Itulah sebabnya, ada tiga cara yang kemudian dilakukan: pertama, melakukan perlawanan terbuka sebagaimana kita lihat dalam kasus NII, Komando Jihad, dsb. kedua, dengan perlawanan klandestin, dan ketigamenggunakan model mobilisasi pada akar rumput melalui majlis taklim, usroh, kursus-kursus kader, dlsb.
Pada prinsipnya, kelompok ini tetap mempertahankan paradigma yang menganggap agama pada saat yang sama adalah ideologi politik yang mesti diejawantahkan secara tuntas. Islam kemudian dianggap sebagai alternatif bagi sistem yang berlaku dan dengan demikian penerapan syariat Islam dan sistem politik “Islami” merupakan tujuan pertama dan terakhir. Kendati di dalam perwujudannya terdapat varian mengenai strategi dan taktik, namun kerangka paradigmatik tidak berbeda. Dengan demikian maka penafsiran atas ajaran dan apropriasi simbol-simbol agama sangat sarat dengan nuansa ideologis dan politis. Konsep-konsep dan gagasan-gagasan seperti demokrasi, HAM, ekonomi dsb. yang dianggap sebagai bukan Islami lantas dicoba dicarikan alternatif melalui penafsiran ulang atas ajaran-ajaran dan simbol-simbol yang dianggap sesuai dengan Islam. Pemikiran-pemikiran Pan Islamis seperti yang tercermin dalam kelompok Ihwanul Muslimin dan kaum Mullah revolusioner Iran merupakan rujukan-rujukan penting di kalangan ini.
Di sisi lain, marginalisasi politik Islam oleh rezim Orba ditanggapi oleh sebagian kelompok Islam dengan cara yang lebih kultural. Tanpa menafikan pentingnya dimensi politik, para pendukung arus kultural ini melihat bahwa pendekatan ideologis politis tampaknya tidak mampu memberikan jawaban terhadap tantangan yang lebih besar yang sedang dihadapi ummat, yaitu keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan struktural sebagai akibat dari modernisasi. Sisi politik formal, dengan demikian, tidak dianggap sebagai satu-satunya alternatif apabila sistem politik yang otoriter sangat kuat dan hegemonik. Kaum intelektual dan aktifis Islam dari kalangan ini memilih jalan kultural sambil pada saat yang sama mengupayakan perubahan-perubahan struktural secara gradual. Jalan pemberdayaan masyarakat sipil (civil society) diutamakan sambil mengmebangkan pemikiran-pemikiran terobosan yang digali dari khasanah Islam, khususnya khasanah lokal yang selama berabad-abad telah berkembang.
Dari arus kultural inilah ajaran dan simbol-simbol Islam ditafsirkan dan dikaji ulang dengan meletakkannya pada kondisi konkret yang berkembang. Formalisme dan kehendak untuk menjadikan Islam sebagai alternatif tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya jalan dan bahakn dianggap tidak viable bagi Indonesia yang majemuk ini. Pemikir seperti Gus Dur, yang kemudian menjadi Presiden ke IV Indonesia, menjadi pelopor kaum transformasionalis ini. Ormas seperti NU dan Muhammadiyah cenderung untuk mengikuti model ini, walaupun diantara para pengikutnya ada pula yang terlibat dalam model pertama yang formalistik dan ideologis.

IV
Setelah reformasi digulirkan terjadilah intensifikasi dalam dinamika politikan di negeri ini. Ia membuka peluang besar bagi arus politik dan kultural dalam kalangan Islam untuk tampil secara lebih transparan dan bebas di ruang politik baik yang formal maupun informal. Ruang publik yang tersedia juga menyediakan arena untuk wacana politik bagi keduanya. Namun demikian kondisi transisi yang ada tidak sepenuhnya dapat mengakomodasi aspirasi kalangan Islam karena masih belum stabilnya situasi politik dan ditambah dengan masih belum berakhirnya krisis ekonomi yang, bagaimanapun juga, membawa dampak negatif terhadap perjalanan reformasi. Setidaknya kekhawatiran bahwa reformasi telah mengalami gejala pemunduran (setback) telah menciptakan atmosfir politik yang serba gamang. Demikian juga dengan munculnya berbagai konflik horizontal yang berwarna agama, telah menempatkan umat Islam, termasuk kekuatan poltik di dalamnya, dalam posisi yang kurang lebih dilematis. Di satu sisi, konflik yang berwarna agama tersebut bagaimanapun harus dicari solusinya dan karena itu keterlibatan kelompok-kelompok Islam sangat penting, namun di pihak lain keterlibatan kelompok-kelompok Islam di dalamnya dianggap sebagai salah satu faktor yang mengakibatkan intensitas konflik meningkat.
Terlepas dari situasi tersebut, perkembangan ke depan dalam wacana dan kiprah politik Islam di negeri ini akan sangat tergantung pada keberhasilan dalam meretas jalan menuju demokratisasi. Jika demokratisasi mengalami hambatan, apalagi kegagalan, maka tak terelakkan lagi bahwa kekuatan Islam secara keseluruhan akan mengalami pemunduran dan keterpurukan. Pengalaman masa Orba menunjukkan bahwa struktur politik yang tidak demokratis telah menciptakan keterpecahan dalam kalangan Islam dan memicu tumbuhnya aspirasi-apsirasi radikal yang tidak menguntungkan pemberdayaan politik Islam di Indonesia.
Oleh sebab itu menjadi tanggungjawab para pemimpin Islam, baik politisi, kaum cendekiawan, aktivis LSM, dan juga umat secara keseluruhan untuk mengontrol proses reformasi ini sehingga tidak terdistorsi ke arah kembalinya kekuatan otoriter. Jika hal ini bisa dilakukan, maka langkah berikutnya adalah mengintensifkan dialog dan wacana antara dua arus utama yaitu arus politik dan ideologis di satu pihak dan arus kultural transformatif di pihak lain. Walaupun pada saat ini kelihatan adanya friksi-friksi dari kedua arus utama ini, tetapi hal itu masih belum sampai pada tingkat yang tak terjembatani. Diperlukan kearifan para tokoh dan pemikir serta aktivis dari kedua pihak untuk mampu mendengar dan memahami argumentasi dan kiprah mereka. Sikap ini tentu saja tidak menghilangkan adanya keharusan kritik terhadap penyimpangan-penyimpangan yang muncul.
Menurut hemat saya, pendekatan kelompok kultural-transformastif di Indonesia memiliki kekuatan dan masa depan yang lebih menjanjikan karena lebih sesuai dengan konteks bangsa dan masyarakat yang pluralistik serta kekuatan sinergis dengan tradisi dan praksis lokal. Pendekatan pemberdayaan umat melalui pengembangan masyarakat sipil yang mandiri sejauh ini telah menghasilkan buah yang positif berupa kemampuan umat di lapis bawah untuk berekspresi dan menampilkan kekuatan riil dalam organisasi-organisasi kemasyarakatan dan politik. Dalam hal ini, nilai-nilai dan ajaran serta simbol-simbol agama ditransfer ke dalam batang tubuh masyarakat secara wajar dan natural melalui dialog dan kiprah sosial bersama. Ini pada gilirannya menjadikan Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari konstruksi sosial dan budaya masyarakat sehingga tidak memerlukan lagi artikulasi formal yang berlebihan.
Tantangan untuk mengembangkan arus kultural transformatif tentu tidak kecil, terutama karena perubahan-perubahan pada tingkat nasional dan global menunjukkan adanya intensitas konflik-konflik ideologis yang menjurus pada stigmatisasi Islam. Oleh sebab itulah konsolidasi kelompok kultural transformatif ini harus terus menerus dilakukan melalui berbagai upaya dialog dan pertukaran wacana serta ditopang oleh program-program konkret yang diarahkan pada pemberdayaan masyarakat sipil dalam berbagai bidang kerja seperti pengembangan UKM/UMKM, pendidikan, kesehatan, dan pemberantasan kemiskinan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar sahabat sangat membantu untuk perkembangan di blogs kami
berikanlah komentar yang membangun