Sehabis
Membaca
�SEBENARNYA yang penting bukan seberapa banyak buku yang
telah kita lahap, tapi penelaahan kita atas apa yang kita baca,� begitu kata seorang teman. Di lain
waktu, saya ngobrol santai dengan kawan kampus yang lain. Ia bertanya, adakah
saya menganggarkan uang buat membeli buku dalam sebulan. Setelah saya jawab ia
menyampaikan pemikirannya bahwa ia senantiasa ragu untuk membeli sebuah buku
yang baru bila bukunya yang lama belum tuntas dibaca. Ia merasa belum yakin
apakah ilmu di dalamnya sudah teramalkan, minimal tersampaikan kepada orang
lain. Sayang, ia tidak memberi contoh buku apa misalnya, dan saya lupa
bertanya.
Ihwal kegemaran membeli dan memiliki buku, dan tentu saja membacanya
orang-orang negeri ini jadi menarik buat saya. Mungkin bagus buat bahan
penelitian bila saya peneliti. Apalagi bila soal ini dikaitkan dengan nilai
human development index (HDI) kita yang rendah, yaitu sebesar 0,697 dan
menempati peringkat ke-110 dari 174 negara. Bila data dalam Human Development
Report dari UNDP tahun 2005 ini valid, berarti secara umum standar dan kualitas
hidup bangsa kita ada di bawah negara lain di kawasan Asia Pasifik, bahkan di
ASEAN.
Lantas, bila hendak lanjut dikejar, inikah yang menyebabkan budaya membaca kita
masih rendah---yang tercermin dari, misalnya, realitas penerbitan buku di
Indonesia belum ada apa-apanya dibanding Amerika Serikat atau Inggris;
pertengahan 1990-an saja masing-masing �negara maju� ini dalam sebulannya mampu
menerbitkan 100.000 dan 61.000 judul, sedangkan negara kita hanya sanggup
menerbitkan buku kurang dari 10 ribu judul setiap tahun. Atau sebaliknya,
kualitas hidup yang rendahlah, yang merembet pada kemampuan ekonomi, yang jadi
biang minimnya budaya membaca. Soal yang rada berpusing ini punya dua kemungkinan:
retoris belaka atau benar-benar---meminjam judul sebuah lagu pop---menanti
sebuah jawaban.
Beberapa
waktu lalu saya berkunjung ke Pesta Buku Bandung. Ada pengalaman membekas bagi
saya di gedung Landmark di Jalan Braga itu. Benar-benar �ajaib�, sebuah kalimat tanya yang sama
tanpa sengaja saya dengar dari dua orang berbeda, di dua stand buku yang
berbeda pula. Dua orang remaja puteri bertanya pada temannya masing-masing saat
menimang sebuah buku. Agaknya untuk dihadiahkan bagi seseorang. Dan dua orang
ini punya keraguan tertentu. Kalimat tanya itu: �Memang dia senang baca?�
Saya lupa apakah mereka jadi membeli. Tapi bila saya mencoba mengingat-ingat
mungkin saya malah tersenyum karena justru yang muncul kembali adalah
pertanyaan teman saya di awal tulisan ini. Jadi, bisa saja banyak orang punya
buku di rumahnya---dengan membeli atau dari hadiah. Tapi seberapa persenkah
koleksi buku itu tuntas terbaca---jangan dululah membicarakan apakah ilmu-ilmu
yang berkubang dalam lembar-lembar bisu itu hingga tersampaikan dan teramalkan.
Sekejap sebuah laci di kepala saya terbuka. Suatu waktu saya bertandang ke
rumah kawan yang dari mulutnya keluar kalimat pembuka esai ini. Sebuah rumah
yang resik, yang dari jendela depannya kita bisa melihat Gunung Cikuray berdiri
penuh dari kaki hingga puncaknya. Di sebuah kamar di sana, yang belakangan saya
tahu sebagai �ruang belajar� buat siapa saja yang mau, saya
mendapati buku-buku berderet dan bertebaran tidak sedikit.
Sungguh, terbukanya arsip-arsip ingatan ini membuat saya jadi merasa tersesat
di padang kemungkinan yang seketika menghutan. Walau semestinya di titik ini
saya tidak perlu merasa gamang dan rawan: karena kadang hal-hal �sepele� sifatnya memang �ajaib�---seperti rasa payah yang muncul di
pertengahan untuk terus memamah buku sampai habis, sehingga kita menyimpannya
dulu untuk dibaca kelak dengan keyakinan bahwa nanti buku itu akan �berubah�; atau seperti sehabis membaca ulang
sebuah cerita panjang kita tersentak oleh sesuatu di dalamnya yang luput pada
pembacaan sebelumnya.***
Maut
Menjemput Usai Sabung Ayam
Menjelang
Ramadhan tiba, sebagian masyarakat kita kerap memulainya dengan kegiatan
silaturahmi keluarga. Aktivitas tersebut ada yang memanfaatkannya sebagai
sarana ishlah, saling berma'afan satu sama lain, atau pun untuk sekedar
berkumpul saja.
Begitu
juga yang keluarga besar kami lakukan. Sabtu (23/9) sore itu, kami sengaja
berkumpul di rumah untuk bersilaturahmi setelah sekian lama tidak bertemu.
Namun, saat saya bersama beberapa orang saudara dan kerabat tengah asyik
mengobrol di depan rumah, tiba-tiba kami dikejutkan oleh kedatangan seorang
nenek berusia sekitar 70 tahun. Setahu saya, wanita lanjut usia ini agak
sedikit terganggu jiwanya, sehingga waktu itu awalnya kami tidak terlalu menghiraukan
ucapannya. �Waah maenya gara-gara ngadu hayam,
kalakah jelema anu maot (Waah, masa gara-gara sabung ayam, malah manusia yang
meninggal),� katanya seraya menunjukan jari
tangannya ke arah barat desa.
Setelah
beberapa lama kami akhirnya menjadi penasaran dengan perkataan sang nenek itu.
Bersama ayah mertua, saya pun kemudian berangkat menuju tempat yang
ditunjukannya, jaraknya sekira 100 meter dari rumah. Benar saja, setibanya di
lokasi ternyata telah berkumpul beberapa orang yang tengah mengelilingi salah
seorang pria paruh baya yang telah meninggal dunia. Bapak tersebut hanya
dibaringkan di teras sebuah rumah dan ditutupi sehelai kain.
Salah
seorang pemuda yang turut menjadi saksi mata menuturkan kepada saya bahwa bapak
tersebut tiba-tiba saja terjatuh di perkebunan yang berada di lembah sebrang
daerah kami. Kepada sang pemuda, dia mengeluh kecapaian setelah berusaha kabur
dari kejaran polisi yang menggerebek arena sabung ayam di desa tetangga. �Tadi mah waktos teu acan pupus, bari
ngos-ngosan anjeuna nyarios nuju kabur ti udagan pulisi anu ngagerebeg tempat
anjeuna ngiringan ngadu hayam (Sebelum meninggal ia berkata sambil
terengah-engah bahwa ia kabur dari kejaran polisi yang menggerebeg tempatnya
mengikuti sabung ayam),� katanya.
Hal
tersebut kemudian dibenarkan oleh salah seorang kerabatnya yang juga turut
berlari bersama korban karena berusaha kabur dari kejaran polisi. �Si akang mah boga asma jadi pas
lumpat jauh satarikna jigana kacapean nepi kapiuhan, ngan teu nyangka bakal
tuluy maot (Bapak tersebut memiliki asma, jadi ketika lari cepat dalam jarak
yang jauh kemungkinan kecapaian hingga pingsan, namun tidak disangka akhirnya
akan meninggal),� tutur dia.
Mendengar
kabar kematian tersebut, penduduk desa pun terus berbondong-bondong, mereka
penasaran ingin melihat tempat kejadian. Melihat gelombang massa yang kian
bertambah, tokoh masyarakat setempat kemudian berinisiatif untuk segera membawa
jenasahnya ke rumah keluarganya di desa tetangga. Hingga kini saya sendiri
tidak mengetahui apakah aparat keamanan setempat melakukan autopsi atau
menyelidiki kasus kematiannya atau tidak.
Maghrib
tinggal beberapa menit lagi tiba, namun masyarakat masih banyak yang berkumpul
di sudut-sudut desa. Mereka masih ramai membicarakan kasus yang menghebohkan
itu. Dari perbincangan mereka pada umumnya mereka menyayangkan kematiannya yang
hanya beberapa jam menjelang Ramadhan namun sebelumnya terlibat judi sabung
ayam. �Leuh meuni kaduhung pisan, sakedap
deui sasih shaum anjeuna pupus saatos ngadu hayam (Sangat disesalkan, sebentar
lagi masuk bulan Ramadhan, namun ia harus meninggal seusai sabung ayam),� ujar salah seorang ibu kepada
tetangganya. Namun tetangga itu kemudian menjawab : �Mugi-mugi urang mah tau maot jiga
kitu, tapi ketang saha anu terang anjeuna kabujeng tobat waktos kabur ti udagan
pulisi, anging Pangeran anu terang eta mah (Mudah-mudahan kita tidak meninggal
dengan cara seperti itu, namun siapa tahu ia sempat taubat terlebih dahulu saat
kabur dari kejaran polisi, hanya Allah-lah yang Tahu).�
Yang
menarik, biasanya menjelang sahur di desa kami banyak kelompok remaja dan
pemuda yang bermain musik dapur untuk membangunkan sahur. Namun seusai
kejadian, aktivitas mereka mendadak lenyap. Dini hari yang biasanya gaduh kini
menjadi sepi. Entah kenapa, mungkin mereka takut dengan kejadian beberapa hari
lalu. Wallahu a'lam (Indra KH)***
Bekal di
Hari Tua
Dalam
perjalanan dengan kereta api dari kota gudeg, Yogyakarta menuju Bandung, saya
berdampingan dengan seorang bapak berusia limapuluh tahunan, beliau bernama
bapak Budi. Ternyata dia mempunyai kesibukan bekerja di suatu perusahaan di
kota Cimahi. Beliau menceritakan tentang kisah-kisah hidupnya yang dapat
diambil hikmahnya, selain itu dia menambahkan kisah putranya yang telah bekerja
di suatu perusahaan di Kalimantan maupun putrinya yang sedang mencari pekerjaan
di kota Bandung.
Yach, dari cerita beliau saya mengambil hikmah bahwa orang tua tentu
menginginkan anak-anaknya agar dapat berhasil dalam hidupnya. Yang terkesan
bagi saya, ketika terdengar adzan subuh, beliau setelah berwudlu/bertayamum di
kereta api, kemudian mengerjakan shalat subuh. Kereta tepat pukul 05.30 pagi
WIB berhenti di setasiun kota Bandung. Kamipun bersama-sama keluar menuju
beranda setasiun. Saya dijemput adik dengan sepeda motor, bapak Budi
menggunakan angkutan kota menuju tempat kerjanya di Cimahi. Kejadian bersama
bapak Budi ini terjadi bulan Agustus 2006 yang telah lalu.
Subhanallah, di awal September ini kembali saya bertemu kembali dengan
bapak Budi baik dalam perjalanan dengan kereta api menuju kota Yogya, kebetulan
saya ada keperluan kembali di kota pendidikan tersebut. Maupun ketika kembali
ke Bandung saya pun berjumpa lagi dengan beliau. Bapak Budi ternyata sering
melakukan perjalanan pulang pergi dari Bandung ke Yogya, karena di Yogya beliau
mempunyai rumah dan keluarga. Tentu dari pertemuan dengan bapak Budi memberikan
(ibroh) pelajaran bagi saya bahwa orang tua walaupun telah lanjut usia tentu
akan terus memperjuangkan dengan sekuat tenaganya untuk membahagiakan
keluarganya baik material maupun spiritrual.
***
Diawali ingin mengetahui kabar sahabat saya yang bekerja di suatu institusi
syariah di kota Bandung, telepon seluler pun saya gunakan untuk menghubunginya.
Ada suatu kabar yang membuat saya termenung sejenak, ketika dia dengan
terbata-bata mengisahkan bahwa ayahnya telah meninggal dunia, Innalilahi Wa
Inna Ilaihi Rojiun, ucapku dalam hati. Saya pun kembali mengenang ketika
beliau masih hidup. Di usia yang telah senja dan memasuki masa pensiun itu,
ayah sahabat saya ini, tidak lupa dengan ibadah wajibnya yaitu melakukan shalat
wajib lima waktu di masjid terdekat, diikuti mengikuti majelis taklim. Selain
itu beliau senantiasa berbuat kebaikan kepada tetangga-tetangga maupun
lingkungannya di tempat tinggal beliau tepat di jantung kota Bandung.
Ketika meninggal dunia pun tetangga-tetangga ayah sahabat saya ini, senantiasa
mengenang kebaikan-kebaikan beliau. Hingga sewaktu di kebumikan di daerah
kelahiran beliau yaitu di daerah Kadipaten Majalengka, kota yang berjarak
limapuluh kilometer dari Bandung, tetangga-tetangga nya mengikuti takziah
tersebut. Hikmah kejadian ini, mengingatkan saya pada (Q.S Al Hasyr [59] : 18)
yang artinya �Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.�
Gadis
Kecil Itu..
Angkot ini
hampir penuh, mungkin hanya tersisa tempat duduk untuk satu orang lagi. Tepat
dihadapan saya, seorang gadis kecil berbaju lusuh dan berambut kusam duduk
dengan tenang. Umurnya sekitar 10 tahunan. Rinjing hitam yang dibawanya lumayan
besar. Saya menduga dia hanya sendirian saja. Ya, type gadis cilik desa yang
terbiasa mandiri.
Angkot masih enggan melaju, berharap masih ada penumpang yang akan naik. Saya
sedang memburu waktu dari Pandeglang menuju stasiun Kereta Api Rangkas.
Syukurlah dua orang penumpang kemudian naik. Seorang pria sekitar 27 tahunan
meminta gadis cilik menggeser duduknya. Karena ruang duduk tidak memadai untuk
tambahan dua orang lagi, maka pria tersebut dengan sukarela mengambil inisiatif
untuk memangku gadis kecil itu.
Beberapa waktu melaju, saya menikmati pemandangan rimbun pohon hijau dan
persawahan. Subhanallah, tempat ini selalu menimbulkan pesona dan gairah
bagi saya. Saya merasa hidup dalam kedamaian ketika berada di desa ini. Sampai
kemudian seketika saya menyadari, pandangan saya berpapasan pada lelaki yang
memangku gadis cilik tersebut. Tatapan pria itu tidak biasa. Entah karena
berita tentang pelecehan yang akhir � akhir begitu membetot perhatian,
atau karena memang saya tengah mengalami paranoid akan hal itu, saya mencoba
membaca wajahnya dengan lebih detail dan seksama lagi.
Saya melihat tatapan matanya adalah tatapan kurang ajar. Senyumnya adalah
seringai pelecehan. Darah saya langsung berdesir hebat, saya ingin marah tapi
saya tidak bisa menumpahkannya langsung. Karena pelecehan yang dilakukannya
bukan ditujukan untuk saya, tapi kepada gadis kecil yang berada dalam pangkuannya.
Sekilas tidak akan tercium gelagat aneh tersebut, namun saya melihat gadis
kecil itu risih, sebentar-sebentar dia bergerak memperbaiki posisi duduknya.
Laki � laki kurang ajar itu leluasa
menjalankan aksinya, rinjing besar yang dipangku gadis kecil membuat dia merasa
aman. Saya sungguh merasa murka, amarah saya sudah berada dipuncak ubun-ubun,
sementara penumpang yang lain tidak menyadari akan kejadian ini.
Dalam hati
saya berdo�a dan memohon kepada Allah agar
diberi kemudahan untuk menghentikannya. Karena sungguh gadis ini tidak berdaya
dan tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya. Dengan keberanian yang saya
kumpulkan, akhirnya saya tarik lengan anak gadis itu. �Kadieu Neng, calik sareng teteh� Beberapa detik kemudian gadis itu
telah berpindah berada dipangkuan saya. Laki-laki dihadapan saya kaget, matanya
menatap tajam. Saya tak henti berdo�a. �Memangnya anak ini siapanya kamu?� Dia bertanya dengan setengah nada
gusar dan kasar. �Ini adik saya, kamu mau apa?� Suara saya tidak kalah galak,
berusaha menepis rasa takut. Tak lama pria itu meminta turun, padahal dia telah
membayar ongkos penuh menuju Rangkas. Saya bernafas lega, plong rasanya.
Kemudian gadis kecil itu menceritakan perlakuan tidak menyenangkan yang
dilakukan pria tadi. �Kalau adik bertemu orang seperti itu lagi, teriak aja ya,
gak apa � apa pasti banyak yang menolong.
Jangan mau kalo dipegang - pegang, kamu harus berani�. Saya mencoba memberikan pemahaman
kepadanya. Saya tidak ingin hak nya terlanggar. Dia mengangguk tanda mengerti. �Hati � hati dijalan ya� ada kekhawatiran yang terus
menyergap. Sebelum dia turun, saya membekali dia dengan uang ala kadarnya.
Sepanjang sisa perjalanan saya begitu sedih, merasakan betapa rentannya anak � anak tak berdaya itu mengalami
tindakan pelecehan. Seringai dan kerendahan moral yang dilakukan pria tersebut
membuat hati saya tercabik-cabik. Kemudian berita dimedia tentang tindak
kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap anak membuat saya luka dan
pedih.
Saya teringat gadis kecil saya yang tengah tumbuh meniti hidup dengan berjuta
harapan. Namun sakit ini tidak hendak saya biarkan bersarang dan membuat lemah
adanya. Saya ingin melahirkan generasi yang berani dan tahu bagaimana
mempertahankan dan membela harga dirinya.
Saya harus dapat memberi pengarahan yang terbaik dan yang paling penting adalah
saya tak hendak melepas setiap kesempatan dengan untaian do�a agar anak � anak kami terselamatkan dunia dan
akhirat. Dalam setiap kesempatan, saya mengingatkan gadis kecil saya agar tak
lupa terus berdzikir, ketika bermain, ketika diperjalanan menuju pulang dan
pergi sekolah, ketika dirumah dan dalam setiap kesempatan yang memungkinkan.
Kemudian, saya menitipkan kepada yang maha menguasai setiap mahluk agar Allah
yang maha perkasa menjaganya dengan kasih dan sayang-Nya yang tak berbatas..
Belajar
dari Kisah Hidup Orang Lain
Setiap
episode kehidupan tentu akan menghadirkan makna ataupun hikmah yang dapat
dipetik. Ada satu kisah ketika saya bertemu dengan sahabat, yang sampai
sekarang masih menjadi kenangan yang tak terlupakan. Dua tahun yang lalu
sewaktu tinggal di Bandung, kedatangan tamu. Tamu tersebut adalah kakak kelas
adik saya, yang sedang tugas belajar di Yogyakarta, Wandi namanya. Ia berasal
dari Makasar atau dulu disebut Ujung Pandang. Tingkah lakunya yang sopan dan
mudah bergaul, menjadikan saya sangat tertarik untuk berdiskusi
dengannya.
Diawali dengan kisahnya setelah lulus sekolah, ia pun bercerita,� Mas setelah lulus Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas, sebenarnya saya juga ingin kuliah seperti teman-teman seangkatan.
Akan tetapi orang tua mensyaratkan bahwa kemampuan untuk membiayai sekolah
cukup sampai SLTA, karena dengan gaji bapak Wandi, Pegawai Negeri Sipil (PNS)
golongan bawah, tentunya untuk membiayai pendidikan tinggi sangat berat,
ditambah ibunya sebagai ibu rumah tangga biasa, � Tutur Wandi sambil menerawang jauh
mengingat masa lalunya.�
Ketika orang tua mengatakan hal itu, Wandi pun tak lantas putus asa, ia
menyadari bahwa realita kehidupan harus dijalaninya. Kemudian ia putuskan untuk
mencari pekerjaan saja, dengan keahliannya yaitu mengajar ngaji. Subhanallah
dengan keahliannya itu, ternyata Allah memberikan jalan untuk menjemput rejeki.
Dari mengajar anak-anak di Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) atau privat yang
sudah remaja, dewasa, tidak ketinggalan pula orang tua, dijalaninya sebagai
sarana silaturahmi. Wandi jalani semua itu dengan tabah dan tawakal, karena ia
menyadari bahwa hal itu sebagai profesinya. Untuk meningkatkan keterampilan
dalam bidang komputer, tidak lupa mengikuti kursus Komputer.
Hingga suatu hari sewaktu kursus komputer, ia mendapat brosur lowongan kerja
dari suatu instansi pemerintah. Dengan di dorong oleh keinginan untuk
meningkatkan taraf hidup, Wandi mendaftar dan mengikuti tes penerimaan
pegawai.
Sebelumnya tidak lupa ia minta ijin dan mohon doa restu kedua orang tuanya. Alhamdullilah,
ia lulus tes tersebut dan akhirnya diterima menjadi pegawai. Setelah mengabdi selama
dua sampai tiga tahunan, akhirnya institusi tempat Wandi bekerja, memberikan
kesempatan untuk tugas belajar ke Yogya, tentunya ia tidak menyia-nyikan
kesempatan itu. Dalam bersaing untuk tugas belajar di Yogya tersebut, ia harus
bersaing juga dengan pegawai-pegawai lainnya dari utusan pegawai masing-masing
kantor wilayah perwakilan provinsi seluruh Sulawesi. Alhamdullilah, ia
lulus dan berangkat tugas belajar ke kota pendidikan. Suatu cita-cita yang
telah lama dipendamnya. Cerita itu diakhirinya, karena ia harus istirahat
dahulu, sembari dia berkata, �Mas besok pagi ikut ya?� Wandi ajak mas ke Cianjur,
bersilaturahmi ke rumah bapak asuh, tempat dulu saya menginap sewaktu Praktek
Kerja Lapangan di Cianjur, sayapun mengangguk tanda setuju.�
Dengan
menggunakan bus antar kota, Bandung-Cianjur, kami bertiga : saya, adik bungsu,
yang juga kakak kelas Wandi sewaktu pendidikan di Yogya, pergi ke Cianjur.
Kurang lebih satu jam kamipun tiba di tempat yang dituju. Setiba di lokasi,
Wandi agak lupa rumah bapak asuhnya, kebetulan ia menyebutnya �Bapak Haji.� Dalam hati, saya pikir rumah yang
dikunjungi itu bagus dan rapih. Wandipun bertanya ke warga setempat, dengan
logat Makasarnya yang tegas, akhirnya kamipun tiba di rumah �Bapak Haji�. Alhamdullilah pak haji
masih mengingat Wandi, terlihat dari raut wajahnya tampak usia beliau sudah
tujuh puluh hingga delapan puluh tahunan, tetapi tampak beliau masih sehat dan
bugar.
Dengan logat Sundanya dia sapa Wandi, walo tetap pakai bahasa Indonesia, karena
bapak haji tahu bahwa Wandi, belum faseh bahasa Sunda. �Bagaimana kabarnya, nak?�, baik pak, tutur Wandi. Ternyata
rumah pak haji itu sederhana sekali, tidak seperti yang kubayangkan. Diapun
bercerita bisa berhaji, karena dengan jalan menabung, diiringi niat yang kuat
dan berdoa sehingga diberikan jalan kemudahan oleh Allah Swt, tuturnya kepada
kami bertiga.
Alhamdullilah keluarga pak haji menyambut kami selayaknya saudara
sendiri, hingga kami dijamu masakan khas Cianjur. Setelah makan siang kamipun
berpamitan pulang kembali ke Bandung, pak haji beserta keluarga, merestuinya.
Sebelum berangkat tidak lupa kami mengerjakan sholat dzuhur di salah satu
masjid di kota Cianjur. Setiba di Bandung, setelah istirahat terlebih dahulu,
malam harinya Wandi berpamitan kepada saya dan keluarga di Bandung, karena
kebetulan beberapa hari lagi ia akan wisuda di Yogya. Saya dan keluarga pun
melepas Wandi, sambil berpesan,�Jangan lupa kasih kabar ya, setelah tiba Makasar.� Wandi pun menggangguk, sambil
melambaikan tangannya dan berjalan menuju setasiun pemberangkatan Kereta Api ke
Yogya.�
Pada
Sebuah Kata Tulus
Pagi ini
saya berangkat kerja dengan perasaan malas. Terutama bila mengingat jarak
tempat kerja yang lumayan jauh.
�Kau harus semangat De, kalau kita
semangat dan pekerjaan bisa selesai dengan cepat, kau kan bisa pulang lebih
awal. Kita bisa bertemu dirumah lebih cepat juga. Jangan tertinggal dengan
orang lain� Suami saya langsung tanggap ketika
melihat gerakan saya yang lamban dan tidak bersemangat ketika akan berangkat.
Duh, tiba � tiba saya teringat akan suasana
kerja yang tidak kondusif belakangan ini. Saya tidak bersemangat setiap memulai
hari. Hal itu semakin terasa setelah beberapa orang teman berhenti dari
perusahaan ini dikarenakan berbagai alasan. Belakangan saya terhanyut dengan
situasi itu. Sekarang saya tengah rajin membuat peta kompetensi. Dengan begitu
saya berharap bisa dapat petunjuk kearah mana karir saya akan berlanjut. Saya
tidak ingin tertinggal jika kelak ada perubahan mendadak dari manajemen.
****
Dibawah jembatan penyebrangan yang berfungsi sebagai halte, saya berdiri
menunggu bus yang akan membawa saya ketempat bekerja. Debu beterbangan, knalpot
mengeluarkan asap yang menyesakkan. Ditengah situasi seperti itu, beberapa
orang polisi dengan setia bertugas. Berdiri ditengah keruwetan lalu lintas yang
padat berdesakan.
Beberapa menit setelah saya berdiri, lalu lintas diujung jembatan sana
sepertinya makin terhambat. Rupanya sebuah mobil angkot tengah memperlambat
laju sehingga memperparah kemacetan. Suara klakson bersahut � sahutan melengking tinggi memekakan
telinga. Mereka tak sabar meminta jalan.
Entah mengapa, perasaan saya ikut terbawa juga dengan situasi itu. Saya agak
kesal melihat kejadian yang bising dan ruwet tersebut. Polisi berjalan menuju
sember kemacetan. Saya berfikir : sopir angkot itu pasti akan ditilang. Dan
menurut saya itu sudah sewajarnya untuk dilakukan.
Kemudian, mobil angkot itu melaju sangat pelan sekali. Ternyata sopirnya tidak
berada pada kemudi. Dia sedang terengah � engah mendorong mobil yang memuat
beberapa penumpang wanita. Oh! Ternyata mobil tersebut mogok, dia bukan dengan
sengaja membuat kemacetan.
Yang lebih menakjubkan, pak polisi membantu mendorong mobil tersebut dari arah
belakang dengan sekuat tenaga. Mereka berdua bekerjasama agar mobil bisa dibawa
ketepi. Sementara itu, dibelakang mereka suara klakson masih melengking tinggi,
seolah tak perduli dengan kesulitan yang menimpa dihadapannya.
Saya telah
salah menduga. Men-genarilisir tentang suatu peristiwa pada prasangka yang
negatif. Sopir itu tak sengaja membuat kemacetan, dan polisi tersebut tidaklah
hendak memberikan surat tilang. Beliau malah memberikan suatu pertolongan.
Kebaikan yang tidak saya duga sebelumnya.
Pada pagi yang ruwet menurut versi saya itu, beliau telah bersedekah dengan
tenaganya. Jabatan yang dimilikinya tidaklah mengunci hatinya untuk berlelah � lelah membantu seseorang yang tidak
dikenalnya. Tulus! Kata itulah yang tepat dilekatkan pada hatinya. Aha! Mungkin
ini yang menjadi penyebab kemalasan saya. Saya harus memeriksa sudut � sudut hati saya. Mungkin kekurang
tulusan saya yang menyebabkan saya enggan berangkat ibadah menjemput
rizki.
Belakangan ini saya tidak enjoy menjalani hari � hari pada pekerjaan. Saya lebih
tertarik mendengarkan gossip tentang karyawan yang sudah keluar dan yang akan
keluar. Saya terlarut dalam suasana yang tidak terkendali, dalam kekhawatiran
yang seharusnya saya paham untuk menghindarinya. Saya tidak tulus menerima
suasana kerja yang tengah berubah. Padahal, kemungkinan besar adalah bukan
iklim kerja yang berubah, namun sudut pandang saya tengah mengalami pergeseran.
Saya harus bergerak untuk menggeser sudut pandang saya kepada posisi yang
tepat. Meyakinkan kembali kepada tujuan hakikatnya bekerja. Kemudian, saya
harus mengawal terus keyakinan itu. Setelah itu, biar Allah memilihkan yang
terbaik untuk saya.
Bayangan
Tak Terkejar
Sosoknya
adalah sosok yang penuh cinta, kelembutan dan pribadi yang begitu memesona.
Jilbab dan gaun gamis yang dikenakan memancarkan sosok muslimah yang ideal dan
seorang ibu yang berwibawa. Pada setiap pertemuan, dia tidak akan pernah lupa
untuk membuatkan kue. Kue sederhana namun sangat dinanti oleh semua rekan � rekan. Usia kami hampir sama, dan
dia sudah memiliki seorang putera. Suaminya bekerja sebagai pegawai biasa,
namun dukungan dari ibu mertua sangat membantu mereka untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Beruntunglah, mertuanya sangat baik dan cukup berada. Mereka bisa
tinggal di rumah milik ibu dari suaminya.
Setelah
hampir satu tahun tidak mengadakan kontak, kami berjanji untuk bertemu. Dia
akan mengadakan survey dan sekaligus bersilaturahmi. Dia duduk dihadapan saya.
Senyumnya ramah, tutur katanya halus. Masih seperti dulu. Namun, ada satu yang
berubah saat ini. Dia tidak menggunakan gamis seperti biasanya. Dia masih
berjilbab, namun untuk ukuran dia yang selama ini saya kenal, saya merasa dia
telah berubah. Ups! Saya mencoba menepis prasangka buruk ini. Saya tidak berhak
untuk menilai, terlebih sekehendak hati.
�Hanya ini yang bisa saya lakukan. Saya bekerja untuk
anak-anak. Mas tidak bisa menafkahi kami dengan cukup..� Saya sudah bisa menduga alasannya.
Namun ada penolakan yang dahsyat pada benak saya. Tadinya saya berpikir dia
bekerja di sebuah lembaga riset, karena dia mengatakan akan mengadakan survey
atau jajak pendapat terhadap saya.
Namun
ternyata, kenapa harus bekerja pada lembaga ini, yang jelas � jelas menjalankan usaha riba ?
Pertanyaan itu hanya tercekat dikerongkongan.
Sekarang
dia meminta saya untuk menjadi nasabahnya, dia sangat piawai menjelaskan segala
keunggulan produknya. �Mbak, secara pribadi sebagai manusia normal, saya tentu
ingin mendapatkan produk yang mbak tawarkan karena pendapatan yang akan saya
terima sungguh luar biasa. Namun, saya tidak bisa menerimanya, karena ini
mengandung unsur riba. Mbak lebih faham tentunya.� saya berusaha memberikan penjelasan
tentang penolakan saya secara baik. Saya berharap, dia akan tersadar dengan
segala ilmu agama yang pernah dipelajarinya.
Doktrin
tentang keunggulan produk dan pembelaan dan sangkalan tentang penjelasan saya
membuat saya semakin sedih. Saya terluka, saya merasa kehilangan dia.Sebagai
wanita yang juga bekerja, saya sungguh memahami motivasinya untuk membantu
ekonomi keluarga. Saya juga mengerti akan kesulitannya. Namun, saya tidak
berharap dia untuk seperti ini. Penghasilannya sudah mencapai 20 juta rupiah
perbulan, semakin aktif membangun jejaring bisnis, mencari teman baru karena
target yang dikejar semakin tinggi. Sementara dia aktif membangun mimpi,
anaknya berdua dengan sang bapak, di rumah. Ya, berdua saja.
Saya
merasa sakit, sedih, dan marah. Saya sungguh tak berdaya mengejarnya, saya tak
sanggup untuk membuatnya kembali seperti dulu, seorang wanita sederhana yang
menyejukkan mata. Saya ingin merengkuhnya, memasukkan kembali ke dalam kenangan
masa lalu yang terpatri di dalam benak.
Maafkan
kami ya Rabb, atas segala kelemahan diri.
Kabar Di
Hari Sabtu
Sabtu,
Pagi 27/Mei/2006 pukul 06.10 WIB, saya sedang mengendarai sepeda motor menuju
daerah pinggiran kota Bandung mengantar adik ke-2 yang akan kerja di daerah
Kopo. Saya hentikan sepeda motor karena hp aktif, ternyata sms dari si bungsu
yang sedang menimba ilmu di kota Yogya. Pesan sms membuat saya agak terkejut
karena berisi informasi bahwa di kota Gudeg sedang dilanda gempa dahsyat.
Spontan karena khawatir langsung saya telepon balik ke adik di asramanya yang
terletak di daerah Godean Sleman.
Beberapa kali saya hubungi ternyata tidak bisa terhubung. Tentunya perasaan
menjadi berkecamuk tidak karuan. Saya coba menenangkan hati, kemudian saya
balik haluan kembali ke rumah di Kiaracondong. Setiba di rumah, saya aktifkan
kembali hp, kembali ada pesan serupa sms dari rekan di Yogya tentang gempa bumi
yang membuat warga Yogya dilanda kepanikan.
Pesan singkat itu menggerakkan saya untuk coba sms ke Pak Lik Irawan di Wates,
Kulon Progo, Budhe di kota Yogya dan teman akrab alumni SMAN 1 Wates bernama
Mardi yang sedang libur panjang di Klaten Jawa Tengah.
Kemudian ringtone hp pun kembali berbunyi, hp pun saya angkat, Mardipun dengan
terbata-bata mengisahkan baru saja terjadi Lindhu atau gempa bumi dalam
skala richter 5,9 yang melanda Klaten dan sekitarnya. Mardi berkata,� Koyo dhonya wis kiamat, omah
podho rusak, okeh korban ne� (Seperti dunia sudah kiamat, rumah banyak yang rusak,
korban yang tertimpa reruntuhan rumah banyak yang meninggal).
Pikiran saya pun jadi ikutan tidak menentu jangan-jangan banyak keluarga yang
tertimpa musibah gempa ini. Kemudian saya putuskan telepon Pak Lik Irawan,
beliaupun menjawab,� Yo bener nang kene yo keroso banget getaran gempa ne,
Alhamdullilah kabeh keluarga uga podho selamat, omah yo ora opo-opo.� (Ya benar di sini juga terasa
sekali getaran gempa nya, Alhamdulillah semua keluarga sehat semua, rumah juga
tidak apa-apa). Kabar serupa juga datang dari keluarga Bude di kota Yogya, akan
tetapi sebagaian tembok rumah Bude ada yang retak.
Spontan saya segera mengikuti perkembangan berita gempa di Yogya dengan melihat
breaking news di tv, �Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji�uun.� ucap hati saya, terutama saat mendengar banyak korban jatuh
di Bantul.
Saya pun
mencoba menerawang jauh tentang Bantul, sebab ketika masih tinggal di Wates,
ada kenangan yang sampai kini tidak terlupakan. Ya, dulu pernah bersepeda
onthel ke Bantul, ternyata sekarang daerah itu benar-benar sedang berduka,
sebab rumah banyak yang hancur, penduduk kekurangan bahan makan dan tempat
tinggal. Tentu sahabat-sahabat di sana benar-benar membutuhkan pertolongan dari
kita semua, pikirku dalam hati.
Ketika siang habis dzuhur, ibu yang tinggal bersama saya di Bandung, berulang
kali ingin mengetahui keadaan putra bungsunya di Yogya? Alhamdullilah
dengan telepon seluler akhirnya dapat terhubung, dia selamat dari musibah itu.
Sembari memberi wejangan padanya, ibu berpesan agar selalu hati-hati dan
sempatkan silaturahmi ke rumah Bude Yogya dan keluarga di Wates, tutur beliau.
Tentu musibah gempa bumi di Yogya ini, memberikan hikmah pada kita semua bahwa,
�Tiada suatu bencanapun yang menimpa
di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam
kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian
itu adalah mudah bagi Allah.� (QS Al Hadiid [57]: 22)
Selain itu kita juga harus sangat siap dengan berbagai macam ujian hidup
ataupun bencana yang dapat terjadi kapan saja dan di mana saja yang dapat saja
menimpa kita semua, sehingga alangkah baiknya jika kita senantiasa berlindung
diri pada Allah SWT dengan jalan senantiasa berdzikir pada-Nya. Wallahu a�lam bish showab.
Pertolongan
Allah
Ditengah
hingar-bingar perhelatan akbar final sepak bola Piala Dunia 2006 di Jerman,
saya justru dikejutkan ketika membaca surat kabar di Bandung, tentang hasil
Ujian Akhir Nasional (UN) Tingkat SLTA di bulan Juni ini. Begitu pula waktu
media massa baik tv, internet, mulai menayangkan hasil-hasil ujian itu, bagi
yang telah lulus tentu tidak menjadi persoalan yang pelik bahkan sudah menjadi
kebiasaan yang turun temurun dengan merayakannya lewat konvoi keliling kota atau
corat-coret baju seragam. Fenomena yang mengusik saya, ketika ada siswa yang
sampai mau bunuh diri, membakar sekolah, mengalami depresi, yang lebih ironis
justru ada siswa yang tergolong pandai tidak jadi lulus gara-gara nilai salah
satu mata pelajaran UN, tidak sesuai dengan passing grade yang ditetapkan. Yang menjadi
pertanyaan saya ada apa dengan pendidikan kita? Tentu kisah ini pelajaran yang
harus dicari akar penyebabnya dan solusi pemecahannya.
Sebenarnya kisah ini mengingatkan saya ketika membaca buku best seller di
Jepang berjudul �Toto Chan Gadis Cilik di Jendela� karya Tetsuko
Kuroyanagi yang mengisahkan tentang konsep sekolah alam, dimana siswanya
diberikan kebebasan belajar dalam mengembangkan ilmunya dan dapat langsung
diaplikasikan dalam lingkungan sekolah tersebut. Buku itu juga mengisahkan
seorang Toto Chan yang selalu mempertanyakan segala sesuatu tentang pendidikan
yang sedang digelutinya. Apakah benang kusut pendidikan kita harus belajar dari
seorang Toto Chan pikirku dalam hati. Kembali memoriku teringat pada adik ke-3 alias
si Thole yang masih imut-imut hingga saat ini untuk seangkatan teman-temannya
yang lulus dari SMA tahun 2000 di Bandung waktu itu. Yach kisah tentang hasil
UN 2006 ini, sebenarnya sama dengan si bungsu waktu lulus tahun 2000, nilai
matematikanya 2,8, jika ada lorong waktu seperti salah satu sinetron di salah
satu tv swasta kita, mungkin Thole tidak lulus jika dia lulus tahun 2006 ini
pikirku menerawang jauh.
Saya jadi teringat waktu dia lulus, terus berjuang untuk melanjutkan ke
pendidikan tinggi dari ikut tes penerimaan UMPTN 2000, program-program D3 di
PTN Bandung. Ibarat ikhtiar semua sudah dijalani, hingga akhirnya saat tiba
pengumuman, ternyata tidak ada satu pun yang diterima sedangkan teman-temannya
banyak yang ketrima di PTN. Tentu dengan usia yang masih remaja belia waktu
itu, sekitar 18 tahunan, dia mengalami depresi berat, hingga rambutnya gondrong
dan wajahnya terlihat kusut. Saya pun mulai mencari jalan keluar agar adik bisa
melanjutkan ke pendidikan tinggi lagi. Alhamdulillah, waktu itu masih
ada penerimaan program D1 pertanahan di suatu institusi pendidikan kedinasan di
kota Yogya. Saya luangkan ke kota gudeg waktu itu, untuk mendapatkan brosur dan
informasi tentang pendidikan ini. Setelah sampai di Bandung lagi, saya pun
terangkan kepada orang tua maupun si bungsu, tentang pendidikan D1 ini, awalnya
adik menolak sebab hanya, D1?
Kemudian saya
terangkan pada si Thole sembari saya tingkatkan mentalnya yang sedang down
waktu itu. Hingga saya tempuh suatu strategi jitu, agar dia mau masuk sekolah
itu yakni si Bungsu saya ajak jalan-jalan ke sekolah calon birokrat muda alias
STPDN di Jatinangor. Ternyata strategi itu manjur, akhirnya adik mau mengikuti
tes dan mengikuti pendidikan selama 1 tahun. Alhamdulilah setelah lulus
tahun 2001 walau sempat menganggur 1 tahun karena dalam tes CPNS tahun 2001
tidak masuk. Dalam mengisi kekosongan kegiatan, adik masih diberi kemudahan
oleh Allah Swt dalam memanfaatkan jeda waktu selama 1 tahun dengan kesibukan
bekerja di institusi swasta. Hingga kembali kemudahan diberikan oleh Yang Maha
Kuasa pada adik, seiring ulang tahun kemerdekaan negeri ini pada Agustus 2002.
Kabar baik tentang tes CPNS yang berasal dari kakak kelas adik. Sewaktu masih
belajar selama 1 tahun adik aktif di DKM masjid kampus, hingga kabar ada tes
penerimaan datang dari kakak kelas sekaligus sahabat nya di DKM. Adanya
kesempatan dan peluang itu tentu tidak disia-siakannya mengikuti tes lagi. Alhamdullilah,
doa orang tua maupun kami sekeluarga dikabulkan oleh Allah, adik diterima
menjadi PNS tahun 2003 di salah satu institusi pemerintah dengan penempatan di
provinsi Sumatera Selatan. Wajah si bungsu tampak ceria ketika menyampaikan
kabar itu kepada orang tua.
Subhanalah, setelah bekerja 1 tahun di Sumsel, bulan Agustus tahun 2004
adik kembali diberikan kemudahan dengan mendapatkan prioritas untuk tugas
belajar atas nama lembaga, kembali ke kampus semula di lingkungan
agraria/pertanahan di kota Yogya, tentu saya dan keluarga bersyukur akhirnya
adik dapat meraih cita-citanya untuk menggapai pendidikan tinggi. Dari kisah
ini tentu ada ibroh yang dapat diambil hikmahnya, sebagaimana firman Allah swt
dalam (Q.S : Al Insyirah ayat 5-6) : � Karena
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan.� Wallahu a�lam bish showab
Kelalaian
Sahabat
Ketika
saya dan teman sebaya yang lainnya harus menunggu ibu untuk memotong rambut
saya yang telah panjang dan berantakan, maka dia sudah mengenal salon sejak SD.
Ketika kami diantara teman sebaya menggunakan baskom kaleng bekas untuk
dijadikan kendaraan yang ditarik dengan menggunakan seutas tali dan mengitari
kebun dengan bergantian, maka dia sudah menggunakan sepeda mini untuk bermain
sepeda sungguhan. Ketika mobil hanya dimiliki oleh dua orang di kampung saya,
maka keluarga mereka telah memiliki mobil dan rutin berlibur mengunjungi tempat
� tempat wisata di Jakarta sana. Dia memiliki fasilitas lebih
daripada kami kebanyakan. Kami pun kecipratan bisa menikmati sebagian fasilitas
itu. Menonton Video, mendengarkan lagu anak � anak,
atau kami bergantian belajar mengendarai sepeda berkeliling kampung. Saya dan
Dia, melewatkan sebagian masa kecil selalu bersama � sama.
Selain bertetangga, kami juga satu kelas ketika SD dan SLA. Dia sering
bercerita akan kuliah ke Jakarta. Begitu jauhnya cita � cita yang
dia inginkan.
Pada suatu
ketika kami kelas 2 SLA, bapaknya menghadap Allah SWT. Dari titik itulah
kemudian semua seolah amat sangat cepat berubah. Laju perputaran kehidupan
terasa jadi sedemikian terasa dahsyat. Keterpurukan ekonomi keluarganya tidak
bisa dihindari. Uang pesangon yang lumayan besar dari pekerjaan bapaknya di
bank pemerintah tidak bisa dikembangkan dengan baik oleh ibunya. Dan entah
sejak kapan, berita miring dari keluarga mereka mulai terdengar begitu jelas
dan marak. Tentang Ibunya yang sering dikunjungi oleh beberapa orang lelaki yang
bukan muhrimnya dan sekolah adik � adiknya yang tidak bisa diteruskan
lebih tinggi lagi. Dan, entah sejak kapan pula saya seolah merasa tidak bisa
seakrab dulu dengan dia. Tanpa saya sadari kami sudah jarang mengobrol, jarang
bertukar pikiran. Mungkin karena ketidakpedulian saya, maka saya tidak merasa
terlalu kehilangan.
Ketika
kami sudah mempunyai kehidupan rumah tangga masing � masing,
dalam hitungan tahun kedua dia telah bercerai dengan suaminya. Ternyata
suaminya selama ini tidak mempunyai pekerjaan, dialah yang bekerja di Jakarta
sebagai tenaga administrasi di sebuah pabrik, kemudian rutin setiap satu minggu
sekali pulang ke kampungnya untuk mengunjungi suaminya. Alasan itulah sehingga
membuatnya merasa lelah teramat sangat dalam menjalani kehidupan rumah tangga
yang seperti itu. Dia mengambil keputusan untuk mengemban status janda.
Bercerai dalam usia yang masih sangat muda.
Tidak
berapa lama kemudian, terdengar kabar bahwa dia bekerja di Malaysia selama 2
tahun. Ah, mungkin itu pilihan yang tepat baginya untuk saat ini. 2 tahun
berselang, ketika dia kembali ke kampung, saya menyempatkan diri untuk bertemu.
Walaupun ada keinginan saya untuk mencoba mendekatkan diri kembali dengan
kehidupan ketika masa sekolah dulu, namun rasanya suasana yang kami temui tidak
secair dulu sebagaimana yang saya harapkan. Untuk selanjutnya, pertemuan kami
adalah merupakan pertemuan yang �kebetulan saja� ketika berpapasan di jalan. Sungguh sangat alakadarnya,
obrolan saya belum menyentuh menjadi suatu pendekatan layaknya seorang sahabat.
Ketika
melewati muka rumahnya untuk berkunjung ke rumah mertua, dari luar saya merasa
bahwa dia memperhatikan saya yang tengah menuntun anak � anak dari balik tirai kaca jendela
rumahnya. Mungkin, ada sejumlah keinginan yang belum tuntas dia jalani. Tentang
kesendirian yang dilalui tanpa suami dan anak. Terkadang saya mempunyai
keinginan kuat untuk datang khusus menemuinya, paling tidak menjadi teman untuk
bercerita. Ya, suatu saat saya harus mempunyai waktu untuk itu. Saya masih
berniat untuk bisa menjadi �temannya� kembali
Hari ini
saya melintas didepan rumahnya untuk kesekian kalinya. Sejumlah janji yang
tertanam dihati belum sempat saya tunaikan. Saya masih dalam kondisi yang
selalu terburu � buru.
�Oh, Yati
mau berangkat ke Taiwan, mau kerja� seorang tetangga menjelaskan ketika saya menanyakannya.
�Sekarang
ada dimana,Pak ? Sudah berangkat ke Taiwan belum ?� saya mengejar dengan pertanyaan
berikutnya.
�Oh, saya
kurang tahu, tapi katanya dia di Jakarta dulu ikut latihan 6 bulan, nanti baru
berangkat. Ya, disini juga gimana ya, kasihan di rumah terus tidak ada
kegiatan.�
Ini bukan
berita yang saya harapkan. Selalu saja saya mempunyai alasan untuk belum sempat
menemuinya. Saya tidak cukup waktu untuknya, bahkan untuk hanya sekadar
mendengar rencana kepergiannya ke negeri orang. Atau sesungguhnya saya takut
untuk terlibat dalam segala keluh kesahnya. Sehingga sadar ataupun tidak, saya
sudah mengkonversikan kemalasan saya menjadi suatu alasan tentang sebuah
kesibukan.
Baginya,
jelas ini bukan kepergian yang mudah, karena bekerja diluar sebagai TKW pasti
bukanlah cita � cita yang dia dambakan. Tapi nasib berbicara lain, dia harus
menghidupkan kembali semangatnya. Mungkin dengan kepergiannya dia akan merasa
lebih berarti dan berguna. ketidakpedulian saya akan kondisinya adalah hal yang
sangat saya sesali. Padahal, bisa saja ditengah segala rutinitas, saya
menyempatkan diri untuk mengajak dan mengenalkannya kepada komunitas pengajian.
Jika adalah betul waktu yang menjadi kendala, toh seharusnya saya mencari cara
lain, mungkin bisa dengan menitipkannya kepada teman yang lain u
Rupiah
Bukan Satu-satunya
Apa yang
membuat seseorang sakit gigi, ketika dompetnya tipis, anaknya sedang sakit
panas, sementara pekerjaan seabrek belum terselesaikan ? Sebuah kutukankah ini
? Karena mulut yang sulit menjaga perkataan, karena tangan yang lebih sering
menadah daripada memberi ?
Pertanyaan
itu menggelitik otak saya sepanjang malam, ketika anak demam dan panasnya
mencapai 38 derajat dan gigi senut-senut seperti digigit lebah.
Seolah-olah lebah Jepang telah masuk disaat mulut sedang menguap lebar, hinggap
di gusi, masuk kedalam lubang gigi yang keropok, dan menyengat bagian dasarnya.
Obat tradisional Cina Tjap Boeroeng Kakatua-pun tak sanggup mengakhiri
penderitaan, setelah tablet analgesic-pun tak mampu meredakan nyeri
saraf gigi sepanjang hari. Episode sakit gigi kali ini jadi cukup dramatis
karena, terjadi tepat di waktu tengah bulan, ketika kantong nyaris tipis
tersedot biaya hidup sehari-hari, dan pekerjaan seabrek menunggu selesai
dikerjakan.
�Besok
berobat saja, Bang. Biar nggak bengkak dan keterusan.� nasihat istri
yang juga ikut-ikutan mumet, sebab tugasnya membuat bahan ajar belum kelar, dan
anak kami demam sepanjang malam. Saya iyakan anjurannya itu dengan mengangguk
pendek, sambil membenamkan kepala bagian kanan keatas bantal empuk, yang
sedikit mengurangi derita sakit gigi yang sempat diolok-olok para sepupu
sebagai : derita yang layak masuk nominasi �Sakit Gigi Tahun Ini.�
***
Apa yang
dikatakan kaum sepupu, tentang �Sakit Gigi Tahun Ini� itu menjadi kenyataan,
ketika saya berobat ke poli gigi dan bibir saya keserempet mata bor sang
dokter. Begini ceritanya :
Pada pagi
hari di kamis yang menegangkan itu, saya memilih berobat ke sebuah poli gigi
yang masih satu daerah dengan lokasi kantor. Poli gigi itu saya pilih setelah
mencocokkan harga kanan-kiri, survei pasaran biaya dokter gigi sekitar kantor,
sekitar rumah, dan beberapa dokter terkenal di Bandung. Spesialis rata-rata
matok biaya pengobatan Rp. 70.000,- sekali datang, dan poli gigi-poli gigi
tertentupun biaya praktek tok-nya sekitar Rp. 50.000,- Nah, poli
gigi di dekat kantor itu biaya prakteknya dibawah Rp.50.000,- sudah plus analgesic,
antibiotik dan anti-radang.
Sebelumnya
saya sudah lega dan yakin betul bahwa proses pengobatan gigi akan berlangsung
lancar, mengingat sang dokter terlambat hampir setengah jam. Mengapa saya yakin
bahwa dokter tersebut adalah dokter ahli ? Menurut ibu saya, dokter ahli itu
sering terlambat datang ke tempat praktek, karena jasanya dibutuhkan di
mana-mana. Menurut nasihat ibu, dengan tenang dan santai saya menunggu
kedatangan tokoh yang ternyata menjadi 'Fredi Krueger' buat saya di hari itu.
Perasaan
saya berubah resah, diwaktu seseorang menapaki tangga dengan begitu
grasa-grusu, dengan helm masih melekat di kepala. �Assalamu'alaikum, Dok.�sapa
petugas poliklinik yang kemudian berbisik-bisik dengan kawan disebelahnya
sambil tertawa kecil. Telinga saya sedikit menangkap bisik-bisik mereka, yang
kira-kira berbunyi : �Untung dokter A nggak ada..�ujar sang petugas sambil
menyebut nama yang ditulis paling atas dalam organigram pengurus poliklinik,
�Kalau tidak pasti dimarahi lagi.�
Sesuai
dengan bahasa tubuhnya, sang dokter muda mengawali perawatan gigi saya dengan
sedikit terburu-buru. Akibatnya, gigi saya yang sakit dan sedikit rapuh itu
tanggal sebagian. Belum habis trauma dan belum hilang perasaan ngilu, sang
dokter bersiap melakukan pengeboran, membuat saya tambah kecut dan tegang. Kali
pertama bor itu menyentuh geraham saya, dan entah bagaimana kejadiannya,
tiba-tiba serasa ada yang berputar menusuk bibir bagian dalam. Meski agak sakit
saya belum menyadari, bahwa bagian dari bor gigi itu telah melukai kulit
belakang bibir. Baru kali kedua saya terperanjat, membuka mata, sebab bagian
bor itu kembali menyakiti bagian kulit yang sama.
�Maaf.�
ucap sang dokter pendek, ketika mental berobat saya sudah turun sama sekali.
Rasanya ingin cepat keluar dari klinik itu. Membawa ngilu, membawa degup
jantung yang makin tak beraturan, serta bibir yang perih menambah derita gusi
dan gigi.
Satu minggu
kemudian, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan berobat ke poli gigi
tersebut. �Harga tidak pernah bohong.�ujar Indra 'Donat', kolega dekat saya di
kantor. Mengikuti nasihatnya saya memutuskan untuk berobat ke spesialis saja,
dokter konsulen yang sudah senior, dan tentunya punya pengalaman merawat gigi
saya yang - menurut dokter yang saya datangi pertama- letak bolongnya di
samping dan sedikit susah dibor. Setelah bertanya kiri-kanan lagi, saya
putuskan untuk melanjutkan perawatan ke praktek spesialis langganan seorang
teman kantor. Sekali konsul biayanya Rp.70.000,- �Kalau sama obat sekitar
seratus ribuan,�info kawan saya itu.
Hari kamis
sore seminggu berikutnya, saya pergi menuju tempat praktek yang
direkomendasikan dan letaknya sejalur dengan jalan pulang. �Mahal tak apalah
asal selamat,� bisik hati saya. Selain itu, saya bisa berobat dan sekalian
pulang ke rumah. Tidak perlu mengambil waktu kerja pagi hari, sebagaimana bila
saya berobat ke klinik yang pertama.
�Mahal tak
apalah, asal selamat.�bisik hati saya lagi-lagi, ketika saya akan berbelok
menuju tempat praktek spesialis rekomendasi teman. Aneh, bisikan itu malah
membuat saya bulat tekad, untuk tidak menuju ke lokasi yang direkomendasikan
itu. Saya malah mengambil arah menuju lokasi praktek dokter yang sempat saya
survei sehari sebelumnya. Ia terletak di sebuah kompleks perumahan elit. Tempat
pejabat dan pengusaha kota Bandung bertinggal, dan saya kira pasti mematok
biaya berobat lumayan mahal. �Mahal tak apalah, asal selamat.�bisik hati ini
untuk kesekian kali.
***
Dengan
bekal uang Rp. 150.000,- saya mendatangi tempat praktek spesialis orthodenti,
yang sore ketika saya datang tampak begitu sepi tanpa tanda-tanda praktek dan
antrian pasien. Sempat hati ini ragu, meski sudah membaca tulisan di gerbang
bahwa praktek masih buka. Untunglah. Saya tak perlu lama bertanya-tanya, sebab
seseorang dengan dandanan seorang batur, tiba-tiba muncul membukakan
gerbang. Ia lalu mengantarkan saya ke ruang tunggu. Tak sampai lima menit, saya
dipersilahkan untuk masuk ke ruang praktek, dan singkat cerita : saya langsung
menikmati pelayanan spesial dan penuh kehati-hatian, dari ibu dokter setengah
baya, yang merawat gigi saya dengan super teliti. Sikapnya yang kalem
membuat saya tenang dan percaya, bahwa ibu dokter yang satu ini memang dokter
berpengalaman dan ahli.
�Berapa
biaya prakteknya, Bang ? Pasti mahal, ya.�tanya istri waktu saya menceritakan
pengalaman berobat sore itu.
�Nggak.
Cuma dua puluh lima ribu sama obat !�jawab saya, dengan kalimat antusias seolah
tidak percaya.
�Wah,
murah sekali. Nggak pakai antri, ruang prakteknya sejuk dan mewah
lagi.�kata istri saya selesai mendengar deskripsi suasana rumah dan ruang
praktek dokter spesialis itu.
�Iya.
Itulah, Dik. Poliklinik kok malah lebih mahal dari spesialis. Mungkin plus
bayar ongkos tunggu sama bayar nge-bor bibir kali, ya ?�
Istri saya
tersenyum pahit mendengar kata-kata saya yang terakhir. Sambil dongak-dongak
menatap gigi geraham saya yang sedang menjalani rawat syaraf itu, istri saya
mengingatkan bahwa belum tentu biaya berobat ke spesialis itu mahal. Saya
seakan kembali diingatkan pada pengalaman-pengalaman sebelum ini, ketika saya
berobat ke seorang spesialis jaringan dan spesialis bedah mulut, yang bahkan
pernah membebaskan biaya berobat kepada saya. Ya, saya jadi teringat jasa
mereka yang pernah membantu pengobatan saya di tahun-tahun silam. Sayang,
tahun-tahun belakangan saya tidak pernah kontak dengan mereka, sebab sikap saya
yang sering menganggap enteng silaturrahmi. �Silaturrahmi cuma waktu butuh
saja..�hati ini berbisik menyalahkan.
Ahh, betapa saya harus menajamkan hati
lagi untuk memetakan hikmah dari pengalaman. Sungguh saya telah gagal mengambil
hikmah dari pengalaman, bahwasanya belum tentu semua yang spesial dan istimewa
itu menuntut kompensasi mahal. Untuk kesekian-kali Allah menunjukkan kepada
saya, bahwa yang murah tapi spesial itu masih ada, di dunia yang serba
materialis dan kapitalistik ini. Diantara relasi masyarakat modern yang kerap
menuntut pamrih, ternyata saya masih sempat dipertemukan, dengan jiwa-jiwa yang
berusaha bebas dari kecenderungan menuntut balas jasa. Alhamdulillah.
Pengalaman dan ingatan-ingatan itu membuat istirahat malam saya menjadi lebih
tenteram. Gigi sudah tidak begitu sakit, demam anak saya sudah mulai turun, dan
uang di dompet masih tersisa Rp. 125.000,- Padahal, saya sempat menyangka, uang
di dompet itu nantinya paling bersisa lima puluh ribu rupiah saja. �Jangan
rupiah saja yang melulu kau jadikan ukuran.�bisik nasehat hati sebelum saya
terlelap di alam mimpi.
Seusai
Mimpi Itu, Rabiah Selalu Terjaga
Suatu kali
dalam masa-masa keudzurannya, Rabi'ah Al Adawiyyah, seorang sufi kenamaan tak
lagi kuat berlama-lama melaksanakan shalat tahajjud. Adakalanya iapun melewatkan
shalat malam karena keudzurannya. Demi mengganti pahala shalat malamnya, ia
menamatkan satu juz Qur'an sebelum tidur. Karena, menurut hemat Rabi'ah, pahala
membaca satu juz Al Qur'an sama dengan melakukan shalat sepanjang malam.
Lama
Rabi'ah melaksanakan kebiasaan itu. Sampai suatu malam, Rabi'ah bermimpi dalam
tidurnya. Dalam mimpinya itu, ia seolah-olah berada diantara taman yang luas,
teramat luas, dengan pepohonan hijau yang asri tumbuh disekelilingnya. Diatas
tanah yang subur itu, Rabi'ah menyaksikan, sebuah Istana megah berdiri diantara
hamparan hijau dan bunga-bunga aneka warna.
Ketika ia
sedang asyik menikmati pemandangan sekitar, tiba-tiba Rabi'ah melihat seorang
anak kecil tengah mengejar burung hijau yang terbang diatas kepala, sambil berteriak-teriak
alangkah gembiranya.
Rabi'ah
lalu menegur anak itu, "Untuk apa engkau tangkap burung itu ? Demi Allah,
aku belum pernah melihat burung secantik itu. Biarkan ia terbang kemana ia
suka."
"Ya.
Benar juga kata-kata ibu,"jawab gadis cilik itu.
Gadis
cilik itu lalu datang menghampiri Rabi'ah dan menggamit tangannya. Penuh
keceriaan, Rabi'ah dan gadis cilik itu berjalan mengitari halaman, sehingga
mereka sampai di pintu istana yang alangkah megah, kukuh dan cantiknya. Sambil
mengetuk pintu, anak itu berkata: "Tolong bukakan pintu untuk kami !"
Pintu
istana itu lalu terkuak lebar. Dari dalam pintu itu terpancar cahaya yang amat
terang, sehingga menerangi sekeliling kami.
"Masuklah,
Bu. Mari ikut sini." Anak itu menggamit lengan Rabi'ah, dan Rabi'ahpun
mengikuti gadis cilik itu.
Benar
dugaan Rabi'ah, dalam istana itu disaksikannya benda-benda serba indah, dengan
bangunan dan tempat-tempat cengkerama yang begitu tertata, mewah dan asri.
Bersama
anak itu, Rabi'ah kembali mengelilingi ruangan istana dan tak habis-habis dari
mengaguminya. Sedang asyiknya Rabi'ah mengamati keadaan sekeliling, dengan
tiba-tiba pintu yang menjurus kearah taman terbuka. Lagi-lagi gadis kecil itu
mengajaknya, untuk kembali berhandai-handai di keluasan taman istana.
Dalam
kursi-kursi berukir emas yang tersedia didalam taman, tampak para pelayan yang
wajahnya cantik mempesona, tak ada bandingannya diantara wanita yang tinggal di
muka bumi. Mereka cantik seperti mutiara berseri-seri, seperti hendak
bepergian, sedang di tangan mereka tergenggam berbotol-botol wewangian.
Gadis
kecil itu bertanya kepada mereka, "Bibi-bibi ini hendak pergi ke
mana?"
Salah
seorang dari pelayan istana itu menjawab : "Kami hendak pergi menemui
seseorang yang terbunuh dalam pertempuran laut. Orang itu telah mati dalam
keadaan syahid.
Anak itu
lalu bertanya lagi : "Tidakkah kalian ingin memberi wewangian kepada
perempuan ini?",seraya menunjuk ke arah Rabi'ah.
"Ia
sudah mendapat wewangian, tetapi ia sendiri yang tidak mau memakainya.�ujar
pelayan istana bermata jeli yang sudah bersiap-siap untuk pergi.
Sejurus
kemudian gadis kecil itu melepaskan genggaman tangannya dari Rabi'ah. Dan
seketika itu, Rabi'ahpun terjaga dari tidur malamnya.
Sambil
menopang tubuh rentanya, kulit tipisnya yang sudah tak kuat menahan dingin
malam itu, Rabi'ah pergi mengambil air wudlu. Berkali-kali Rabi'ah melafadzkan
istighfar dan kemudian menunaikan shalat malam dalam suasana hati penuh sesal
dan haru. Hingga akhir hayatnya Rabi'ah Al Adawiyyah menyesali, bahwasanya ia
pernah melalaikan shalat malam. Maka semenjak mimpinya itu Rabi'ahpun selalu
terjaga dan beribadah di tengah malam.
Dan Mereka
Tenggelam Dalam Tahajjudnya
Seorang
tokoh sufi, Abu Yazid Al Bustomi, semenjak kecil dikenal sebagai seorang
shalih, yang taat menjalankan perintah agama. Hobi utamanya membaca kalamullah,
Al Qur'an Nur Karim. Tak ada hari dan malam terlewat tanpa membaca firman-Nya.
Suatu
malam, Abu Yazid asyik membaca dan menekuri lembar demi lembar halaman Qur'an
bersama sang ayah. Ayat demi ayat terbaca, sehingga ia sampai pada surat Al
Muzammil.
�Abi,
untuk siapakah Allah memerintahkan qiyamul lail ini ?�
�Untuk
Muhammad SAW,�jawab ayahnya pendek.
�Mengapa
ayah tidak melaksanakannya sebagaimana Rasulullah telah melakukannya ?�
�Itu
adalah perintah Allah untuk memuliakan derajat Rasulullah, anakku.�ujar sang
ayah sambil menahan senyumnya.
Mendengar
jawaban singkat ayahnya, Abu Yazid kembali khusyuk membaca ayat demi ayat dalam
surat tersebut. Ketika sampai kepada ayat : �...thaaifatun minalladziina
ma'aka,� Abu Yazid kembali bertanya kepada sang ayah.
�Abi,
siapakah yang dimaksudkan oleh ayat ini ?�
�Mereka
adalah para sahabat Nabi SAW.�
Kening Abu
Yazid kembali berkernyit, mendengar jawaban ayahandanya. �Lalu, mengapa Abi
tidak ikut menunaikannya sebagaimana sahabat Rasul telah melakukannya ?�
Sang ayah
yang hari-harinya habis untuk bekerja itu lantas menjawab, �Mereka adalah
orang-orang yang diberi kekuatan oleh Allah SWT untuk menunaikan shalat malam.�
�Apakah
Abi tidak ingin seperti mereka ?�
Sekali ini
sang ayah tak kuat lagi menahan senyumnya. Ia tersenyum. Tapi tak
sepatah-katapun ia menjawab pertanyaan Bustomi kecil. Alkisah sejak saat itu,
sang ayah kerap terbangun malam hari untuk menunaikan shalat tahajjud.
Bustomi
kecil sering terjaga ditengah malam, dan menyaksikan ayahnya tengah khusyuk menghadap
kiblat, bahkan sesekali tampak terisak disela-sela tahajjud-nya. Menyimak
betapa nikmatnya sang ayah berkhalwat dengan Sang Khaliq, Abu Yazid Al Bustomi
memohon kepada ayahnya untuk diajari, bagaimana melakukan shalat malam.
Bustomi
kecil kerap melakukan shalat malam, semenjak ia mendapatkan pelajaran dari
ayahnya itu. Setiap malam ia terbangun dan segera mengambil air wudlu,
sebagaimana sang ayah juga melakukannya.
Menyaksikan
ketekunan anaknya sang ayah lalu menasehati,�Anakku, kamu masih terlalu kecil.
Jika kamu sering terbangun tengah malam begini, bisa-bisa kamu jatuh sakit.�
Bustomi
kecil yang polos itu kemudian berkata, setengah bercanda, �Abi, di akhirat
kelak jika saya ditanyai tentang shalat tahajjud saya akan berkata : - Ya
Allah, sebenarnya saya sangat menyukai shalat tahajjud, hanya saja ayah telah
melarang saya dari menekuninya.�
Mendengar
kebajikan yang diutarakan oleh sang anak, ayah Bustomi kecil nyaris tak dapat
berkata-kata, saking terharunya. Dengan suara pelan dan senyum bahagia sang
ayah berkata pada Bustomi kecil,�Baiklah anakku. Silahkan kamu laksanakan
tahajjud-mu dengan sabar dan khusyuk.�
Pada malam
bersejarah itu, pada malam-malam selanjutnya, ayah dan anak yang shalih
itupun tak pernah lepas dari menunaikan qiyamul lail. Mereka berlayar,
tenggelam, dalam kenikmatan yang sama yang pernah dikaruniakan Allah terhadap
Rasulullah SAW dan kaum keluarga serta sahabatnya. Mereka tenggelam dalam
samudera luas nan tenang. Sebagaimana Allah SWT telah menganugerahkan
kenikmatan itu kepada orang-orang shalih terdahulu.
Sore
Ketika Saya Mengenal Hakikat Ridzki (I)
Senin sore
itu, saya terpaksa pulang lebih malam. Lebih lambat dari kawan-kawan kantor,
karena proses up-load konten yang lama. Inilah dilema penulis cyber.
Ketika teks telah siap, tiba-tiba kecepatan jaringan internet berkurang,
melemah dan akhirnya lambat sama sekali. Untuk membuka content management
system butuh waktu 5 sampai 7 menit. Bila dijumlahkan, waktu up-load
konten bisa memakan waktu 20 menit per satu konten. Betul-betul menyiksa.
Mengingat saya seharusnya sudah bisa pulang 20 menit lebih awal, jikalau
kecepatan jaringan sedang normal.
Saya
keluar dari pintu kantor lima belas menit menjelang shalat maghrib. Seharusnya,
saat lima belas menit menjelang maghrib itu saya sudah menghirup bau rumah,
rangkuman aroma masakan untuk makan malam, sabun mandi anak saya, dan harum
tanah basah di kebun kecil rumah kami. Tapi apa boleh buat. Lima belas menit
menjelang maghrib itu saya baru saja mengawali sebuah perjalanan pulang. Perjalanan
yang juga seharusnya cepat dan tenteram, jika saja tidak ada kemacetan dan ulah
pengendara mobil-motor yang seperti dikejar hantu. Melihat ulah mereka saya su'udzhan
saja : �Mungkin takut ketinggalan maghrib berjamaah.�
Langit
yang gelap dan penat yang sangat, membuat saya menyingkir dari jalanan sibuk,
yang biasa saya lalui setiap pulang. Didepan mulai tampak tanda-tanda
kemacetan, sedang dari langit mulai turun setitik-dua titik air hujan. Cukup
alasan bagi saya untuk mengambil jalan pintas lewat perkampungan, meski
sebenarnya bukan malah menyingkat jarak. Tapi setidaknya, lewat jalan kampung
pasti terhindar dari macet, dan ketika hujan bisa berteduh di dangau atau
warung kopi, yang tentu lebih nyaman keadaannya daripada berlindung di pinggir
toko- menunggu hujan reda sambil memandang botol plastik, kotak minuman dan
kadang veses atau bangkai tikus mengalir ke tengah jalan. Hiiy.....jijik.
Singkat
cerita, setelah beberapa saat menikmati suasana kampung yang lengang menunggu
maghrib, hujan akhirnya turun menemani perjalanan pulang sore itu. Jalan desa
yang dinaungi dedaunan rimbun, yang menjulur dari tangkai pohon besar di
kiri-kanan jalan, membuat hujan deras itu tidak begitu menyulitkan saya. Dengan
jaket lapis mantel hujan saya terus menyusuri jalan kampung. Saya bersyukur dan
merasa beruntung telah memutuskan untuk lewat di jalan yang sangat sepi itu.
Hujan
turun kian deras. Kalau mengikuti hitungan jam, semestinya saya bisa sampai ke
rumah lima belas menit lagi, karena separuh jalan kampung itu telah habis saya
lalui. Setelah jalan kampung ini, saya tinggal menyeberangi jalan raya lalu
masuk ke gang lokasi tempat tinggal. Hati yang kecut karena gelegar petir yang
terus sahut-menyahut, dingin yang menyusup karena air mulai tembus ke lapisan
terakhir mantel hujan, jadi sedikit tak terasa. �Santei ajaaa. Sebentar
juga sampe ke rumah.�bisik batin saya, menirukan seloroh sejawat muda
saya di kantor, ketika deadline sudah didepan mata dan dia tertangkap basah
sedang main game atau sedang chat.
Sedang
asyik-asyiknya melancar, ketika jarum speedometer melewati angka 60,
tiba-tiba motor saya oleng sukar dikendalikan. Untung bukan kali itu saja saya
mengalami kejadian serupa, sehingga saya bisa mengendalikan laju motor setengah
mantap. Beberapa detik saya terlambat, bisa-bisa saya dan Gorgom- julukan motor
saya, dijuluki demikian oleh montir langganan karena jarang sekali dicuci-
menyeruak kebun singkong di pinggir jalan. Dulu, jaman pertama kali belajar
motor, saya dan Gorgom pernah dua kali menggerus perkebunan dan tanaman milik
orang. Pertama, waktu saya dan Gorgom 'berselancar' di perkebunan teh. Kedua,
waktu saya dan Gorgom melakukan 'terjun bebas' di sawah belakang komplek. Alhamdulillah,
senin sore itu saya dan Gorgom tidak sampai mencetak rekor baru.
Di pinggir
jalan desa itu, dibawah hujan yang masih deras menyiram, saya memeriksa apa
penyebab dari olengnya motor saya tadi. Kalau dalam dua peristiwa sebelumnya
olengnya motor disebabkan oleh over speed di belokan tajam, maka
dalam peristiwa ketiga ini penyebabnya adalah ban belakang yang bocor. Inna
lillaahi...kepala paku beton tampak tersembul dekat bagian pentil, ketika
saya menjamah ban motor yang kempes total.
Setelah
saya mencabut paku yang menancap dalam itu, dibawah air hujan yang turun dan
kini betul-betul merembes ke seluruh tubuh, saya berjalan menuntun motor.
Seandainya saja saya belum kawin, atau minimal belum kawin dan juga jokron (maaf,
ini akronimnya jomblo kronis, sebuah istilah yang pernah digunakan
sebagai nama gang anak-anak STM di Bandung yang doyan berkelahi, karena
frustasi ditolak cinta), pasti rasanya pahit betul perasaan di sore nan gelap
dan lembab itu. Sambil berjalan, mengatur nafas, saya berharap bisa cepat
menemukan tukang tambal ban. Diantara kecipak langkah sendiri yang dirasa mulai
berat sayapun bergumam : semoga anakda tercinta, Abang Rashif yang sedang demam
dan menunggu-nunggu ayahnya di rumah, dikaruniai kesembuhan oleh Allah dan
tidak gelisah atau panas seperti malam sebelumnya.
Ah,
sudahlah. Saya harus melupakan bau rumah. Saya harus cepat-cepat mencari kios
tambal ban, yang kalau tidak salah ada di 'lima menit' menjelang jalan raya,
masih bagian dari jalan kampung ini. Singkat kata, sayapun bergegas menuntun
motor ke arah depan, menyibak hujan yang kini ditingkahi oleh suara gelegar
petir yang menciutkan nyali. (bersambung)
Sulitnya
Air
Air adalah
salah satu sumber hidup bagi manusia. Namun masih banyak terdengar orang
kekurangan air. Itulah yang dialami kami saat berada di lingkungan baru tempat
tinggal sang mertua. Saat belum berkeluarga mau berapa ember air pun tidak jadi
masalah. Tapi sekarang, saya sadar masih banyak orang yang rela menghemat
akibat keterbatasan sarana dan prasarana. Kondisi ini menurut tokoh masyarakat
setempat sudah berjalan sangat lama tanpa ada perhatian pihak terkait.
Kondisi
ini menyebabkan orang rela membeli paling sedikit 5 jeligen untuk memenuhi
kebutuhan sehari-harinya. Meski begitu banyak juga orang yang tidak mau susah
dengan membuat jet pump untuk memudahkan keluarnya air. Permasalahan tidak
berhenti sampai disitu, berdirinya pabrik-pabrik tekstil cukup menyedot sumber
daya air di sekitar lokasi warga
Kebiasaan
ini pun kami jalani dengan penuh semangat. Pagi-pagi sebelum kami berangkat
sudah datang Pa Olih, sang pengantar air dengan 5 jeligen yang beliau angkut
dengan alat dorong. Kalaupun kebutuhannnya sangat banyak bisa sampai 8 jeligen
kami memesannya. Air yang kami terima itu, satu persatu dimasukan ke dalam tong
besar untuk kebutuhan sehari-hari. Aktivitas ini kami lakukan bergantian dengan
sang mertua, karena di rumah tidak ada lagi anak laki-laki. Meski begitu,
mertua saya pun terlihat lelah ditambah dengan aktivitasnya di sebuah
perusahaan tekstil yang tidak jauh dari tempat tinggal.
Pernah
terbersit di benak adik saya, kenapa gak pindah saja ke Padalarang ? disana kan
banyak air, lagian kondisi masyarakatnya enak.
Inilah
sebuah keprihatinan kita, di saat sebagian orang banyak menghambur-hamburkan
air, tapi masih banyak orang rela membeli air di negeri yang katanya serba
berlimpah.
Usaha yang
dilakukan masyarakat sudah kurang apa ? Beberpa waktu lalu telah mengajukan
permintaan ini kepada pemerintah setempat. Namun, jawaban yang dilontarkan
sangat menyakitkan. Mereka menjawab sudah terlambat untuk membuat saluran air.
Padahal permintaan ini sudah jauh-jauh hari di sampaikan perwakilan warga.
Kita
prihatin dengan kondisi masyarakat yang semakin terpuruk. Di satu sisi sebagian
orang membelanjakan hartanya secara berlebihan, sisi lainnya orang
berlomba-lomba antri hanya untuk membeli air yang merupakan sumber penghidupan
kita.
Masyarakat
kita termasuk di sejumlah beberapa negara tidak menyadari bahwa saat ini tengah
terancam kesulitan air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Hadits
riwayat Bukhari menjelaskan bahwa Rasulullah pernah membeli kurma dari Bani
Nadhir dan menyimpannya untuk perbekalan setahun kebutuhan keluarga. Dalam
hadits lain Rasulullah SAW menganjurkan menyimpan sebagian hartanya untuk
kebaikan masa depan.
Banyak
orang bekerja keras dan mendapatkan apa yang dia inginkan, tetapi dia tidak
dapat mengendalikan dirinya. Hemat itu bukan sederhana, hemat itu menggunakan
kesempatan sesuai keperluan. (fzyqn)
Betul-betul
Bayi Ajaib
Aku lahir
pada tanggal 21 Maret tahun 1979. Si Bayi Ajaib, julukanku, karena menurut
orang tua, ketika Yana lahir (demikian aku dipanggil), tidak menangis sama
sekali. Hal itu sempat membuat panik seluruh anggota keluarga, khususnya kedua
orang tuaku.
�Pak, Yana
tidak seperti bayi pada umumnya, kenapa ya ?�tanya ibu kepada bapak.
Mereka
berusaha membuat Yana menangis dengan cara mencubit dan memukul pantatku, namun
usaha mereka tetap tak membuahkan hasil. Sempat mereka mengira Yana telah
meninggal, tapi setelah jari telunjuk ibu didekatkan ke lubang hidung Yana,
�Pak, anak bapak masih hidup !�
Aku
ternyata masih bernafas. �Alhamdulillah,� bisik ibu.�Tapi kenapa dia
tidak menangis,� Ibu masih terus bertanya kepada bapak.
�Sabar,sabar.
Tabah, Ma. Mungkin anak kita ini mau dikasih anugerah oleh Allah,� jawab bapak
ketika itu, sambil menghibur ibu tercinta.
Singkat
cerita, Yana pun diurus, dirawat, dan dibesarkan, dan diberi kasih sayang. Yana
adalah anak ketiga dari lima bersaudara : Dani Hamdani, Tanu Ruhimat, Toni
Supriyadi dan Muhammad Lukman Permana. Sebenarnya, nama asliku adalah Dadan
Rusmawan, tapi semua anggota keluargaku memanggil dengan panggilan : Yana.
Jauh, ya,
dari Dadan ke Yana ? Nama itu asal-muasalnya dari nini dan aki. Menurut bibi
dan paman, daripada menyakiti kedua orangtua ibu, lebih baik gunakan saja nama
yana untuk panggilan. �Siapa tahu membawa hoki,�kata adik ibu, bibi Heni,
kepada ibuku.
***
Pernah
suatu sore, Ibu bercakap-cakap denganku.�Yan, waktu kamu bayi, kamu itu sehat
dan montok. Hanya waktu bulan ke-5 dan ke-6, ibu mulai was-was, kenapa kamu
tidak bisa berjalan.�katanya sambil terus mengurai rambutku.�Berat badan kamu
cukup, tinggi badan kamu juga cukup,� ujarnya saat kami berbincang di teras
rumah.
Saat itu
usiaku baru sekitar enam tahun. Baru saja disunat. Ibu memang biasa memanjakan
aku dengan cara seperti itu : mencari kutu di rambutku sambil
berbincang-bincang di teras depan rumah. Selain itu, setiap hari ia membelikan
aku coklat, sebatang beng-beng.
�Tapi saat
bayi seusiamu belajar jalan, kamu tidak,�imbuh ibu dengan tersendat,� Heran,
bingung, sedih, pokoknya campur aduk perasaan hati ini.� lanjut ibuku.
�Kalau
lihat kakak-kakakmu normal (bisa jalan), kamu sedih nggak ?� tanya ibu. Aku
menggeleng. Mungkin saat itu, aku belum mengerti. Tidak terbersit di dalam hati
bahwa aku seorang difabel, sedikit berbeda dari anak-anak, saudara-saudaraku
yang lain.
***
Aku
menjalani masa kecil dengan teman sebaya, misalnya main kelereng di halaman
rumah tetangga. Hal itu membahagiakan aku. Aku bermain mengunakan sepeda dorong
anak, sekali-kali berjalan dengan berpegangan pada tembok, disamping merangkak.
Aku
menjalaninya dengan senang dan bahagia pada waktu itu, apalagi aku dikenal
sebagai jagonya main kelereng. Aku tidak begitu mempedulikan perbedaan antara
diriku dengan teman-teman. Pada waktu itu, di hati dan pikiranku yang penting
hanyalah keluarga dan teman-temanku, sayang kepadaku dan memperlakukan aku
dengan baik.
Tidak
dapat dipungkiri, sebenarnya ada saja yang mengolok-olokku dengan kalimat :
yana cacat, yana lumpuh, yana teu bisa leumpang (tak bisa jalan) dan sebagainya.
Semua cemoohan itu, aku acuhkan. �Biarlah anjing menggongong kafilah berlalu.�
***
Suatu
ketika, waktu itu sore hari, sepulang dari bermain aku lewat ke daerah yang
belum pernah kudatangi. Kebetulan hari itu aku bermain cukup jauh dari rumah.
Ketika aku
sedang asyik mendorong sepeda kesayangan menuju rumah, dari sebuah rumah dengan
pintu gerbang yang cukup megah dan luas, muncul seorang bocah yang tiba-tiba
mengejek aku. Bocah itu mengeluarkan kata-kata kotor, dan ejekan yang
memerahkan telinga. Saat itu jalanan sangat sepi. Bocah yang tampaknya orang
kaya itu mengeluarkan kata-kata, seperti : pengkor, lumpuh, cacat, jalannya
pakai sepeda butut.
Aku
acuhkan semua kata-katanya, namun saat ia tak juga berhenti dan mulai
menyinggung harga diri dan martabat kedua orangtuaku, aku jadi naik pitam.
Katanya, orangtuaku dikutuk Tuhan, sehingga aku terlahir cacat. Orangtuaku
dibenci Tuhan, sampai-sampai anaknya pengkor. Orangtuaku sering berbuat dosa,
sehingga aku tak bisa jalan !
Karena tak
tahan orangtuaku ikut dimaki-maki, akhirnya kuambil sebuah batu dan kulemparkan
kearah dia. Anak itu membalas lemparan batu itu, dan terjadilah perang batu,
dengan susah-payah aku berusaha menghindar.
Akhirnya,
aku terkena juga lemparan batu. Setelah melihat aku berdarah, anak tersebut
melarikan diri, lari ke dalam rumahnya dan bersembunyi. Dengan jidat bercucuran
darah aku pulang ke rumah sambil menangis. Sampai di rumah, aku ceritakan
kejadian yang baru kualami pada bapak dan ibu.
Bekas luka
di jidatku masih ada sampai sekarang. Bekas luka itu selalu menyemangati aku,
agar keadaanku ini jangan dijadikan suatu beban, bagi diriku, bagi orang lain.
Malahan harus dijadikan kekuatan dan motivasi bagi orang lain. Kedifabelanku
ini adalah anugerah, modal bagiku untuk masuk surga lebih cepat dibandingkan
orang lain.
Sepenggal
kisahku ini akan kukenang selalu, biarpun menyakitkan. Meski sakit, tapi
disitulah harga diriku bangkit dan tumbuh, berkembang hingga sekarang.
Karenanya aku tidak mau bermalas-malas atau bermanja-manja. Agar diriku berguna
dan bermanfaat sama atau lebih dari mereka yang terlahir normal. Aku harus
membuktikan, bahwa aku betul-betul bayi ajaib !
Pendamping
Sejati
Suatu
hari, seorang ibu dan anaknya menaiki bus yang aku tumpangi. Sebenarnya, aku
tidak berharap mereka mengambil posisi duduk di sebelahku. Entah mengapa, aku
merasa �agak terganggu� jika yang menjadi teman dudukku mereka berdua. Hatiku
beralasan bahwa aku masih ingin menikmati sisa bacaan tadi pagi. Tapi bus ini
milik umum, siapa saja bisa duduk dimana yang dia inginkan, asalkan membayar
sesuai ketentuan. Tentunya bukan kesalahan mereka jika akhirnya mereka
mengambil duduk tepat disebelahku.
Anak
laki-laki yang duduk disebelahku berusia kurang lebih 20 tahun, badannya sangat
gemuk, rambutnya agak berantakan, kancing kemejanya tidak terkunci dengan
sempurna.
Dari awal
ia duduk, aku menangkap ada keanehan dari tingkah lakunya. Mengapa anak sebesar
itu masih diberi komando oleh ibunya untuk duduk dengan baik. Ibunya melihat
posisi duduk anaknya mengangguku, karena agak menyenderkan badan besarnya ke
bahuku.
Dengan
agak malu, ibu tersebut merangkul anaknya agar bisa duduk dengan baik.
Sepertinya perkembangan mental anak ini agak terlambat. Aku mencoba menerka dan
sedikit waspada jika tiba � tiba nanti dia bertindak aneh kepadaku. �Dalam bus
umum, berbagai kemungkinan buruk sangat mungkin terjadi,� begitu hatiku
berbisik.
Di separuh
perjalanan, anak laki � laki itu tiba-tiba kejang, dan mengeluarkan suara
seperti mengerang. Matanya terbelalak !! Hi.........mulutnya penuh dengan
(maaf) muntah.
Si ibu
terlihat panik, punggung anaknya dipukul perlahan agar bisa mengeluarkan sisa
muntahannya. Sementara kakiku terpaksa mendekat ke dinding bus, untuk
menghindari tetesannya.
Sang ibu
tampak sekuat tenaga memegang badan anaknya yang mulai menyender sepenuh badan
ke arahku. Namun aku berusaha sekuat tenaga memberinya senyum, berusaha
menyampaikan pesan bahwa aku tidak merasa terganggu dan aku mengerti dengan
kondisinya.
Melalui
belaian tangan yang menyiratkan sayang, dia masih merangkul anaknya, tangan
kanannya masuk ke mulut anaknya, dan mengeluarkan (maaf) muntah melalui
tangannya. Tidak ada rasa jijik sama sekali. Yang ada, mungkin hanya rasa
canggung, karena ini terjadi di depan umum, ditengah orang � orang yang tidak
tahu persis dengan kondisi dan kesulitan mereka.
Melihat
kasih sayang ibu tersebut, pemandangan itu menjadi tidak menjijikan lagi, dan
aku sudah tidak mengambil jarak lagi. Kemudian aku berikan sebungkus tissue
yang masih utuh. Sang ibu dengan gembira menerimanya. Seusai menyeka mulut buah
hatinya, diusapnya kening sang anak yang mulai terlihat lunglai. Beliau masih
memeluk dengan erat, tanpa perduli seberapa berat badan anaknya, dan seberapa
besar �perhatian� penumpang lain kepada mereka.
Mereka
berdua, sungguh memiliki cinta yang sulit kita mengerti. Mereka mempunyai rasa
sayang yang tak berbatas. Sama seperti ibu kita. Ya....., sama seperti ibu
kita, sebagai pendamping sejati kita. Dalam kesulitan apa pun dan terhalang
jarak begitu jauh, ibu masih mendampingi kita dengan untaian doa penuh makna
dan sepenuh harap.
Satu
pelajaran semoga bisa ditarik dari kejadian ini. Jika kita bisa memperhatikan
orang lain dengan persfektif berbeda, melalui empati yang bisa kita tanam
setiap hari di setiap kejadian, maka Insya Allah kita akan mendapat tambahan
kekayaaan batin atau vitamin hati.
Ibu tadi
tengah berada dalam kesulitan membawa anaknya dalam kendaraan umum, namun kasih
sayang ibu tidak bisa kita ukur dalam satuan manapun. Beliau memberikan kasih
sayang secara tuntas dalam kondisi apapun. Satu hal lagi, bahwa berbuat baik
bisa dimulai dari hal yang kecil Penerimaan kita terhadap kondisi mereka
ternyata dapat pula memberikan rasa nyaman kepada mereka. Apa jadinya jika kita
bermuka masam menghadapi kejadian tersebut ? Mungkin si ibu malah akan
bertambah gugup dan semakin panik dan membuat sang ibu tidak leluasa memberikan
pertolongannya.
Semoga,
mereka diberi kemudahan Allah dalam menjalankan aktifitasnya.