11 Apr 2012

Ketenangan hati dengan berdzikir


Termasuk sifat Al-Qur`an adalah Al-Matsani. Artinya, Al-Qur`an adalah kitab yang menyebutkan sesuatu dengan pasangannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan:
 “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur`an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya.” (Az-Zumar: 23)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menyatakan, artinya diulang-ulang padanya cerita dan hukum-hukum, janji dan ancaman, sifat-sifat orang yang baik dan orang yang jelek. Diulang-ulang padanya nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Taala. Dan ini termasuk bukti keagungan Al-Qur`an dan keindahannya. Karena, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui kebutuhan makhluk-Nya terhadap Al-Qur`an yang akan menyucikan hati serta menyempurnakan akhlak, dan bahwasanya makna-makna itu bagi hati bagaikan air bagi tanaman. Maka sebagaimana tanaman (pohon), ketika lama tidak disirami, ia akan layu bahkan mungkin mati. Sedangkan manakala selalu disirami maka dia akan baik dan berbuah dengan berbagai macam buah yang bermanfaat. Demikian pula hati. Ia selalu memerlukan pengulangan makna-makna Kalamullah. Seandainya suatu makna dari Al-Qur`an hanya disampaikan sekali pada seluruh Al-Qur`an, maka tidak akan tepat sasaran dan tidak akan membuahkan hasil.
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Adh-Dhahhak berkata: , yaitu mengulang kata-kata agar mereka paham dari Allah tabaraka wata’ala. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata: , yang diulang-ulang. Telah diulang-ulang kisah Nabi Musa, Hud, dan nabi-nabi yang lain, alaihimussalam.
Kemudian Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “Diriwayatkan dari Sufyan bin ‘Uyainah bahwa makna adalah menyebutkan sesuatu dan lawannya (kebalikannya). Seperti menyebutkan orang-orang mukmin kemudian orang-orang kafir, menyebutkan sifat surga kemudian sifat neraka.
Jadi dengan diulang-ulang beberapa kali dan disebutkannya sesuatu bersama kebalikannya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan agar kita paham apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki dari kita, para hamba-Nya. Sebagaimana dikatakan:
 “Dan dengan kebalikannya, sesuatu dapat dibedakan.”
Dalam masalah musik pun demikian. Allah Subhanahu wa Ta’ala jelaskan bagaimana jalan orang-orang yang baik, berakal, dan beruntung. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjelaskan bagaimana jalan orang-orang yang dzalim dan sesat, serta yang akan menyesal pada hari kiamat nanti. Mari kita simak paparan Al-Qur`an dalam hal ini, semoga menjadi ibrah bagi kita.
Orang yang Baik, Berakal, dan Beruntung
  1. Orang-orang cerdik (ulul albab) selalu berdzikir
    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’.” (Ali-Imaran: 191)
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu mengatakan: “Seluruh ahli tafsir berkata bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah terus menerus berdzikir, dalam semua keadaan, karena manusia tidak akan lepas dari tiga keadaan ini.”
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu mengatakan, ini mencakup seluruh dzikir dengan perkataan dan hati. Termasuk di dalamnya shalat dengan berdiri, kalau tidak mampu dengan duduk, kalau tidak mampu maka dengan berbaring.
Maka pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjukkan kepada kita jalan orang yang baik dan beruntung. Yaitu, mereka selalu berdzikir, memanfaatkan waktu mereka dalam perkara-perkara yang bermanfaat, baik, dan mendatangkan pahala. Mereka adalah orang-orang yang bakhil terhadap waktunya. Tidak ingin waktunya terbuang sia-sia.
2. Orang-orang beriman tenang hati mereka dan tentram dengan berdzikir
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” (Ar-Ra’d: 28)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu menyatakan, “Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan sifat orang-orang beriman, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan:
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah.”
Maksudnya, akan hilang gundah gulana dan kegoncangannya, serta akan datang kebahagiaan dan ketentramannya.
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.”
Maka lebih pantas baginya untuk tidak tentram dengan sesuatu selain mengingat-Nya. Karena tidak ada sesuatu yang lebih lezat, lebih disukai, dan lebih manis bagi hati daripada kecintaan kepada Penciptanya.
3. Orang yang beruntung adalah orang yang menjauhi perbuatan sia-sia yang tidak berguna
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:
 “Telah beruntung orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan yang sia-sia.” (Al-Mu`minun: 1-3)
Makna
telah dijelaskan oleh para ulama.
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu dalam tafsirnya mengatakan: “Az-Zajjaj berkata, adalah semua kebatilan, perkara sia-sia dan tidak serius, kemaksiatan, serta segala perbuatan dan ucapan yang tidak baik. Adh-Dhahhak mengatakan, Sesungguhnya di sini maknanya adalah kesyirikan.” Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Ia () adalah seluruh kemaksiatan.
Makna (berpaling darinya) adalah menjauhi dan tidak melirik kepadanya.
Inilah beberapa sifat dan kriteria orang-orang yang beriman. Mereka selalu menjaga waktu dan berupaya untuk memanfaatkannya untuk perkara yang membawa maslahat, baik untuk urusan duniawi maupun ukhrawi. Mereka selalu berdzikir dengan membaca Al-Qur`an atau dzikir-dzikir yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mencari ketenangan dan ketentraman dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka pantas sekali bila mereka menjadi orang yang beruntung di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Orang-Orang yang Tidak Terbimbing
Adapun orang-orang yang tidak terbimbing ke jalan yang benar, mereka menjauh dari dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan larut dalam godaan-godaan setan. Bahkan mereka membeli perkataan sia-sia tersebut serta rela membayarnya dengan harga mahal. Hal ini akan menjadi penyesalan mereka pada hari kiamat nanti. Tapi sayang, penyesalan pada hari itu tiada berguna. Bila mereka di dunia ini mencari kesenangan dan ketenangan hati dengan cara-cara seperti itu, maka ini adalah hal yang kontradiktif. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan:
 “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit….” (Thaha: 124)
Kalimat
(berpaling dari peringatan-Ku), dijelaskan Ibnu Katsir rahimahullahu, artinya adalah: “Menyelisihi perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, menjauh darinya, dan pura-pura lupa, dan ia justru mengambil bimbingan dari yang lain.”
Jadi, orang yang mendengarkan musik dan lagu-lagu, berarti ia telah berpaling dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarangnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah melarangnya.
Adapun (penghidupan yang sempit), para ahli tafsir berbeda pendapat tentangnya. Ada yang menafsirkan bahwa adalah kehidupan yang sempit, seperti dinukil dari Ibnu ‘Abbas c. Ada juga yang menyatakan bahwa maknanya adalah amalan dan rizki yang jelek, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir dari Adh-Dhahhak, ‘Ikrimah, dan Malik bin Dinar. Ada pula yang mengatakan bahwa maksudnya adalah adzab kubur. Ini dinukil dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahkan ada yang mengatakan bahwa (pendapat) ini marfu’ sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Bazzar rahimahullahu meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hujairah, dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada perkataan Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang sempit), beliau menjelaskan: “Kehidupan yang sempit yang Allah Subhanahu wa Ta’ala katakan adalah bahwa orang tersebut akan disiksa dengan 99 ekor ular yang memakan dagingnya sampai hari kiamat.” Riwayat ini dikuatkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani t.
Al-Bazzar rahimahullahu juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menyatakan adalah adzab kubur. Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan sanad hadits ini hasan.
Kaidah tafsir menyatakan: “Manakala ada penafsiran yang banyak dan tidak bertolak belakang, serta bisa dicakup oleh suatu ayat, maka ayat itu dibawa kepada semua makna yang ada.”
Walhasil, Ibnu Katsir rahimahullahu menyimpulkan bahwa tidak ada ketenangan dan kelapangan dada bagi orang yang menjauh dari syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Orang yang Menjauh dari Dzikir akan Ditemani Setan yang Menyesatkannya
Termasuk hukuman yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan atas orang yang menjauh dari dzikir –dan orang yang senang dengan lagu dan musik termasuk dalam hal ini– adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengirim setan dan membiarkannya menyesatkan orang tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Dzat Yang Maha Pemurah (Al-Qur`an), Kami adakan baginya setan (yang menyesatkan), maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Az-Zukhruf: 36)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu mengatakan, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang hukuman yang keras bagi orang yang berpaling dari peringatan-Nya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan: artinya, dan barangsiapa yang berpaling dan menghalangi, yaitu Al-Qur`an yang agung, yang merupakan nikmat yang terbesar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya. Maka, siapa yang menerimanya berarti dia telah menerima pemberian yang terbaik, dan beruntung mendapatkan hasil yang terbesar. Sebaliknya, siapa yang menjauh darinya atau menolaknya, maka dia telah gagal dan merugi, serta tidak akan berbahagia selamanya. Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan kirimkan kepadanya setan yang membangkang untuk menemani dan menyertainya, memberikan janji-janji dan angan-angan, serta mendorongnya berbuat maksiat. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjauhkan kita dari hal ini.
Dari paparan Al-Qur`an yang sangat jelas tadi, orang yang berakal tentunya akan memilih perkara yang jelas membawa manfaat, yaitu selalu berdzikir, membaca Al-Qur`an, dan mengamalkan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik shalat maupun yang lain, yang akan menentramkan hati dan membawa kebahagiaan ukhrawi. Dia juga akan berusaha keras meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dzat yang telah menciptakannya, meskipun perkara ini telah mendarah daging pada dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membimbing kita kepada jalan yang benar sebagaimana telah ditegaskan:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-‘Ankabut: 69)
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah memberikan motivasi, bahwa ketika semakin besar kesulitan yang dihadapi seseorang dalam suatu perkara, maka balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala juga lebih besar. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya besarnya balasan tergantung besarnya cobaan.” (HR. At-Tirmidzi, Kitab Az-Zuhd, no. 57, Ibnu Majah, Kitabul Fitan, no. 23. At-Tirmidzi mengatakan: “Hadits hasan gharib.” Hadits ini dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 110)
Wallahu a’lam.

HIKMAH

Sehabis Membaca

SEBENARNYA yang penting bukan seberapa banyak buku yang telah kita lahap, tapi penelaahan kita atas apa yang kita baca, begitu kata seorang teman. Di lain waktu, saya ngobrol santai dengan kawan kampus yang lain. Ia bertanya, adakah saya menganggarkan uang buat membeli buku dalam sebulan. Setelah saya jawab ia menyampaikan pemikirannya bahwa ia senantiasa ragu untuk membeli sebuah buku yang baru bila bukunya yang lama belum tuntas dibaca. Ia merasa belum yakin apakah ilmu di dalamnya sudah teramalkan, minimal tersampaikan kepada orang lain. Sayang, ia tidak memberi contoh buku apa misalnya, dan saya lupa bertanya.

Ihwal kegemaran membeli dan memiliki buku, dan tentu saja membacanya orang-orang negeri ini jadi menarik buat saya. Mungkin bagus buat bahan penelitian bila saya peneliti. Apalagi bila soal ini dikaitkan dengan nilai human development index (HDI) kita yang rendah, yaitu sebesar 0,697 dan menempati peringkat ke-110 dari 174 negara. Bila data dalam Human Development Report dari UNDP tahun 2005 ini valid, berarti secara umum standar dan kualitas hidup bangsa kita ada di bawah negara lain di kawasan Asia Pasifik, bahkan di ASEAN.

Lantas, bila hendak lanjut dikejar, inikah yang menyebabkan budaya membaca kita masih rendah---yang tercermin dari, misalnya, realitas penerbitan buku di Indonesia belum ada apa-apanya dibanding Amerika Serikat atau Inggris; pertengahan 1990-an saja masing-masing
negara maju ini dalam sebulannya mampu menerbitkan 100.000 dan 61.000 judul, sedangkan negara kita hanya sanggup menerbitkan buku kurang dari 10 ribu judul setiap tahun. Atau sebaliknya, kualitas hidup yang rendahlah, yang merembet pada kemampuan ekonomi, yang jadi biang minimnya budaya membaca. Soal yang rada berpusing ini punya dua kemungkinan: retoris belaka atau benar-benar---meminjam judul sebuah lagu pop---menanti sebuah jawaban.

Beberapa waktu lalu saya berkunjung ke Pesta Buku Bandung. Ada pengalaman membekas bagi saya di gedung Landmark di Jalan Braga itu. Benar-benar ajaib, sebuah kalimat tanya yang sama tanpa sengaja saya dengar dari dua orang berbeda, di dua stand buku yang berbeda pula. Dua orang remaja puteri bertanya pada temannya masing-masing saat menimang sebuah buku. Agaknya untuk dihadiahkan bagi seseorang. Dan dua orang ini punya keraguan tertentu. Kalimat tanya itu: Memang dia senang baca?

Saya lupa apakah mereka jadi membeli. Tapi bila saya mencoba mengingat-ingat mungkin saya malah tersenyum karena justru yang muncul kembali adalah pertanyaan teman saya di awal tulisan ini. Jadi, bisa saja banyak orang punya buku di rumahnya---dengan membeli atau dari hadiah. Tapi seberapa persenkah koleksi buku itu tuntas terbaca---jangan dululah membicarakan apakah ilmu-ilmu yang berkubang dalam lembar-lembar bisu itu hingga tersampaikan dan teramalkan.

Sekejap sebuah laci di kepala saya terbuka. Suatu waktu saya bertandang ke rumah kawan yang dari mulutnya keluar kalimat pembuka esai ini. Sebuah rumah yang resik, yang dari jendela depannya kita bisa melihat Gunung Cikuray berdiri penuh dari kaki hingga puncaknya. Di sebuah kamar di sana, yang belakangan saya tahu sebagai
ruang belajar buat siapa saja yang mau, saya mendapati buku-buku berderet dan bertebaran tidak sedikit.

Sungguh, terbukanya arsip-arsip ingatan ini membuat saya jadi merasa tersesat di padang kemungkinan yang seketika menghutan. Walau semestinya di titik ini saya tidak perlu merasa gamang dan rawan: karena kadang hal-hal
sepele sifatnya memang ajaib---seperti rasa payah yang muncul di pertengahan untuk terus memamah buku sampai habis, sehingga kita menyimpannya dulu untuk dibaca kelak dengan keyakinan bahwa nanti buku itu akan berubah; atau seperti sehabis membaca ulang sebuah cerita panjang kita tersentak oleh sesuatu di dalamnya yang luput pada pembacaan sebelumnya.***
Maut Menjemput Usai Sabung Ayam

Menjelang Ramadhan tiba, sebagian masyarakat kita kerap memulainya dengan kegiatan silaturahmi keluarga. Aktivitas tersebut ada yang memanfaatkannya sebagai sarana ishlah, saling berma'afan satu sama lain, atau pun untuk sekedar berkumpul saja.
Begitu juga yang keluarga besar kami lakukan. Sabtu (23/9) sore itu, kami sengaja berkumpul di rumah untuk bersilaturahmi setelah sekian lama tidak bertemu. Namun, saat saya bersama beberapa orang saudara dan kerabat tengah asyik mengobrol di depan rumah, tiba-tiba kami dikejutkan oleh kedatangan seorang nenek berusia sekitar 70 tahun. Setahu saya, wanita lanjut usia ini agak sedikit terganggu jiwanya, sehingga waktu itu awalnya kami tidak terlalu menghiraukan ucapannya. Waah maenya gara-gara ngadu hayam, kalakah jelema anu maot (Waah, masa gara-gara sabung ayam, malah manusia yang meninggal), katanya seraya menunjukan jari tangannya ke arah barat desa.
Setelah beberapa lama kami akhirnya menjadi penasaran dengan perkataan sang nenek itu. Bersama ayah mertua, saya pun kemudian berangkat menuju tempat yang ditunjukannya, jaraknya sekira 100 meter dari rumah. Benar saja, setibanya di lokasi ternyata telah berkumpul beberapa orang yang tengah mengelilingi salah seorang pria paruh baya yang telah meninggal dunia. Bapak tersebut hanya dibaringkan di teras sebuah rumah dan ditutupi sehelai kain.
Salah seorang pemuda yang turut menjadi saksi mata menuturkan kepada saya bahwa bapak tersebut tiba-tiba saja terjatuh di perkebunan yang berada di lembah sebrang daerah kami. Kepada sang pemuda, dia mengeluh kecapaian setelah berusaha kabur dari kejaran polisi yang menggerebek arena sabung ayam di desa tetangga. Tadi mah waktos teu acan pupus, bari ngos-ngosan anjeuna nyarios nuju kabur ti udagan pulisi anu ngagerebeg tempat anjeuna ngiringan ngadu hayam (Sebelum meninggal ia berkata sambil terengah-engah bahwa ia kabur dari kejaran polisi yang menggerebeg tempatnya mengikuti sabung ayam), katanya.
Hal tersebut kemudian dibenarkan oleh salah seorang kerabatnya yang juga turut berlari bersama korban karena berusaha kabur dari kejaran polisi. Si akang mah boga asma jadi pas lumpat jauh satarikna jigana kacapean nepi kapiuhan, ngan teu nyangka bakal tuluy maot (Bapak tersebut memiliki asma, jadi ketika lari cepat dalam jarak yang jauh kemungkinan kecapaian hingga pingsan, namun tidak disangka akhirnya akan meninggal), tutur dia.
Mendengar kabar kematian tersebut, penduduk desa pun terus berbondong-bondong, mereka penasaran ingin melihat tempat kejadian. Melihat gelombang massa yang kian bertambah, tokoh masyarakat setempat kemudian berinisiatif untuk segera membawa jenasahnya ke rumah keluarganya di desa tetangga. Hingga kini saya sendiri tidak mengetahui apakah aparat keamanan setempat melakukan autopsi atau menyelidiki kasus kematiannya atau tidak.
Maghrib tinggal beberapa menit lagi tiba, namun masyarakat masih banyak yang berkumpul di sudut-sudut desa. Mereka masih ramai membicarakan kasus yang menghebohkan itu. Dari perbincangan mereka pada umumnya mereka menyayangkan kematiannya yang hanya beberapa jam menjelang Ramadhan namun sebelumnya terlibat judi sabung ayam. Leuh meuni kaduhung pisan, sakedap deui sasih shaum anjeuna pupus saatos ngadu hayam (Sangat disesalkan, sebentar lagi masuk bulan Ramadhan, namun ia harus meninggal seusai sabung ayam), ujar salah seorang ibu kepada tetangganya. Namun tetangga itu kemudian menjawab : Mugi-mugi urang mah tau maot jiga kitu, tapi ketang saha anu terang anjeuna kabujeng tobat waktos kabur ti udagan pulisi, anging Pangeran anu terang eta mah (Mudah-mudahan kita tidak meninggal dengan cara seperti itu, namun siapa tahu ia sempat taubat terlebih dahulu saat kabur dari kejaran polisi, hanya Allah-lah yang Tahu).
Yang menarik, biasanya menjelang sahur di desa kami banyak kelompok remaja dan pemuda yang bermain musik dapur untuk membangunkan sahur. Namun seusai kejadian, aktivitas mereka mendadak lenyap. Dini hari yang biasanya gaduh kini menjadi sepi. Entah kenapa, mungkin mereka takut dengan kejadian beberapa hari lalu. Wallahu a'lam (Indra KH)***
Bekal di Hari Tua

Dalam perjalanan dengan kereta api dari kota gudeg, Yogyakarta menuju Bandung, saya berdampingan dengan seorang bapak berusia limapuluh tahunan, beliau bernama bapak Budi. Ternyata dia mempunyai kesibukan bekerja di suatu perusahaan di kota Cimahi. Beliau menceritakan tentang kisah-kisah hidupnya yang dapat diambil hikmahnya, selain itu dia menambahkan kisah putranya yang telah bekerja di suatu perusahaan di Kalimantan maupun putrinya yang sedang mencari pekerjaan di kota Bandung.

Yach, dari cerita beliau saya mengambil hikmah bahwa orang tua tentu menginginkan anak-anaknya agar dapat berhasil dalam hidupnya. Yang terkesan bagi saya, ketika terdengar adzan subuh, beliau setelah berwudlu/bertayamum di kereta api, kemudian mengerjakan shalat subuh. Kereta tepat pukul 05.30 pagi WIB berhenti di setasiun kota Bandung. Kamipun bersama-sama keluar menuju beranda setasiun. Saya dijemput adik dengan sepeda motor, bapak Budi menggunakan angkutan kota menuju tempat kerjanya di Cimahi. Kejadian bersama bapak Budi ini terjadi bulan Agustus 2006 yang telah lalu.

Subhanallah, di awal September ini kembali saya bertemu kembali dengan bapak Budi baik dalam perjalanan dengan kereta api menuju kota Yogya, kebetulan saya ada keperluan kembali di kota pendidikan tersebut. Maupun ketika kembali ke Bandung saya pun berjumpa lagi dengan beliau. Bapak Budi ternyata sering melakukan perjalanan pulang pergi dari Bandung ke Yogya, karena di Yogya beliau mempunyai rumah dan keluarga. Tentu dari pertemuan dengan bapak Budi memberikan (ibroh) pelajaran bagi saya bahwa orang tua walaupun telah lanjut usia tentu akan terus memperjuangkan dengan sekuat tenaganya untuk membahagiakan keluarganya baik material maupun spiritrual.
 
***

Diawali ingin mengetahui kabar sahabat saya yang bekerja di suatu institusi syariah di kota Bandung, telepon seluler pun saya gunakan untuk menghubunginya. Ada suatu kabar yang membuat saya termenung sejenak, ketika dia dengan terbata-bata mengisahkan bahwa ayahnya telah meninggal dunia, Innalilahi Wa Inna Ilaihi Rojiun, ucapku dalam hati. Saya pun kembali mengenang ketika beliau masih hidup. Di usia yang telah senja dan memasuki masa pensiun itu, ayah sahabat saya ini, tidak lupa dengan ibadah wajibnya yaitu melakukan shalat wajib lima waktu di masjid terdekat, diikuti mengikuti majelis taklim. Selain itu beliau senantiasa berbuat kebaikan kepada tetangga-tetangga maupun lingkungannya di tempat tinggal beliau tepat di jantung kota Bandung.

Ketika meninggal dunia pun tetangga-tetangga ayah sahabat saya ini, senantiasa mengenang kebaikan-kebaikan beliau. Hingga sewaktu di kebumikan di daerah kelahiran beliau yaitu di daerah Kadipaten Majalengka, kota yang berjarak limapuluh kilometer dari Bandung, tetangga-tetangga nya mengikuti takziah tersebut. Hikmah kejadian ini, mengingatkan saya pada (Q.S Al Hasyr [59] : 18) yang artinya
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. 
Gadis Kecil Itu..

Angkot ini hampir penuh, mungkin hanya tersisa tempat duduk untuk satu orang lagi. Tepat dihadapan saya, seorang gadis kecil berbaju lusuh dan berambut kusam duduk dengan tenang. Umurnya sekitar 10 tahunan. Rinjing hitam yang dibawanya lumayan besar. Saya menduga dia hanya sendirian saja. Ya, type gadis cilik desa yang terbiasa mandiri.

Angkot masih enggan melaju, berharap masih ada penumpang yang akan naik. Saya sedang memburu waktu dari Pandeglang menuju stasiun Kereta Api Rangkas. Syukurlah dua orang penumpang kemudian naik. Seorang pria sekitar 27 tahunan meminta gadis cilik menggeser duduknya. Karena ruang duduk tidak memadai untuk tambahan dua orang lagi, maka pria tersebut dengan sukarela mengambil inisiatif untuk memangku gadis kecil itu.

Beberapa waktu melaju, saya menikmati pemandangan rimbun pohon hijau dan persawahan. Subhanallah, tempat ini selalu menimbulkan pesona dan gairah bagi saya. Saya merasa hidup dalam kedamaian ketika berada di desa ini. Sampai kemudian seketika saya menyadari, pandangan saya berpapasan pada lelaki yang memangku gadis cilik tersebut. Tatapan pria itu tidak biasa. Entah karena berita tentang pelecehan yang akhir
akhir begitu membetot perhatian, atau karena memang saya tengah mengalami paranoid akan hal itu, saya mencoba membaca wajahnya dengan lebih detail dan seksama lagi.

Saya melihat tatapan matanya adalah tatapan kurang ajar. Senyumnya adalah seringai pelecehan. Darah saya langsung berdesir hebat, saya ingin marah tapi saya tidak bisa menumpahkannya langsung. Karena pelecehan yang dilakukannya bukan ditujukan untuk saya, tapi kepada gadis kecil yang berada dalam pangkuannya. Sekilas tidak akan tercium gelagat aneh tersebut, namun saya melihat gadis kecil itu risih, sebentar-sebentar dia bergerak memperbaiki posisi duduknya. Laki
laki kurang ajar itu leluasa menjalankan aksinya, rinjing besar yang dipangku gadis kecil membuat dia merasa aman. Saya sungguh merasa murka, amarah saya sudah berada dipuncak ubun-ubun, sementara penumpang yang lain tidak menyadari akan kejadian ini.
 
Dalam hati saya berdoa dan memohon kepada Allah agar diberi kemudahan untuk menghentikannya. Karena sungguh gadis ini tidak berdaya dan tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya. Dengan keberanian yang saya kumpulkan, akhirnya saya tarik lengan anak gadis itu. Kadieu Neng, calik sareng teteh Beberapa detik kemudian gadis itu telah berpindah berada dipangkuan saya. Laki-laki dihadapan saya kaget, matanya menatap tajam. Saya tak henti berdoa. Memangnya anak ini siapanya kamu? Dia bertanya dengan setengah nada gusar dan kasar. Ini adik saya, kamu mau apa? Suara saya tidak kalah galak, berusaha menepis rasa takut. Tak lama pria itu meminta turun, padahal dia telah membayar ongkos penuh menuju Rangkas. Saya bernafas lega, plong rasanya.

Kemudian gadis kecil itu menceritakan perlakuan tidak menyenangkan yang dilakukan pria tadi.
Kalau adik bertemu orang seperti itu lagi, teriak aja ya, gak apa apa pasti banyak yang menolong. Jangan mau kalo dipegang - pegang, kamu harus berani. Saya mencoba memberikan pemahaman kepadanya. Saya tidak ingin hak nya terlanggar. Dia mengangguk tanda mengerti. Hati hati dijalan ya ada kekhawatiran yang terus menyergap. Sebelum dia turun, saya membekali dia dengan uang ala kadarnya.

Sepanjang sisa perjalanan saya begitu sedih, merasakan betapa rentannya anak
anak tak berdaya itu mengalami tindakan pelecehan. Seringai dan kerendahan moral yang dilakukan pria tersebut membuat hati saya tercabik-cabik. Kemudian berita dimedia tentang tindak kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap anak membuat saya luka dan pedih.

Saya teringat gadis kecil saya yang tengah tumbuh meniti hidup dengan berjuta harapan. Namun sakit ini tidak hendak saya biarkan bersarang dan membuat lemah adanya. Saya ingin melahirkan generasi yang berani dan tahu bagaimana mempertahankan dan membela harga dirinya.

Saya harus dapat memberi pengarahan yang terbaik dan yang paling penting adalah saya tak hendak melepas setiap kesempatan dengan untaian do
a agar anak anak kami terselamatkan dunia dan akhirat. Dalam setiap kesempatan, saya mengingatkan gadis kecil saya agar tak lupa terus berdzikir, ketika bermain, ketika diperjalanan menuju pulang dan pergi sekolah, ketika dirumah dan dalam setiap kesempatan yang memungkinkan. Kemudian, saya menitipkan kepada yang maha menguasai setiap mahluk agar Allah yang maha perkasa menjaganya dengan kasih dan sayang-Nya yang tak berbatas..
Belajar dari Kisah Hidup Orang Lain

Setiap episode kehidupan tentu akan menghadirkan makna ataupun hikmah yang dapat dipetik. Ada satu kisah ketika saya bertemu dengan sahabat, yang sampai sekarang masih menjadi kenangan yang tak terlupakan. Dua tahun yang lalu sewaktu tinggal di Bandung, kedatangan tamu. Tamu tersebut adalah kakak kelas adik saya, yang sedang tugas belajar di Yogyakarta, Wandi namanya. Ia berasal dari Makasar atau dulu disebut Ujung Pandang. Tingkah lakunya yang sopan dan mudah bergaul, menjadikan saya sangat tertarik untuk berdiskusi dengannya.

Diawali dengan kisahnya setelah lulus sekolah, ia pun bercerita,
Mas setelah lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, sebenarnya saya juga ingin kuliah seperti teman-teman seangkatan. Akan tetapi orang tua mensyaratkan bahwa kemampuan untuk membiayai sekolah cukup sampai SLTA, karena dengan gaji bapak Wandi, Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan bawah, tentunya untuk membiayai pendidikan tinggi sangat berat, ditambah ibunya sebagai ibu rumah tangga biasa, Tutur Wandi sambil menerawang jauh mengingat masa lalunya.

Ketika orang tua mengatakan hal itu, Wandi pun tak lantas putus asa, ia menyadari bahwa realita kehidupan harus dijalaninya. Kemudian ia putuskan untuk mencari pekerjaan saja, dengan keahliannya yaitu mengajar ngaji. Subhanallah dengan keahliannya itu, ternyata Allah memberikan jalan untuk menjemput rejeki. Dari mengajar anak-anak di Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) atau privat yang sudah remaja, dewasa, tidak ketinggalan pula orang tua, dijalaninya sebagai sarana silaturahmi. Wandi jalani semua itu dengan tabah dan tawakal, karena ia menyadari bahwa hal itu sebagai profesinya. Untuk meningkatkan keterampilan dalam bidang komputer, tidak lupa mengikuti kursus Komputer.

Hingga suatu hari sewaktu kursus komputer, ia mendapat brosur lowongan kerja dari suatu instansi pemerintah. Dengan di dorong oleh keinginan untuk meningkatkan taraf hidup, Wandi mendaftar dan mengikuti tes penerimaan pegawai.

Sebelumnya tidak lupa ia minta ijin dan mohon doa restu kedua orang tuanya. Alhamdullilah, ia lulus tes tersebut dan akhirnya diterima menjadi pegawai. Setelah mengabdi selama dua sampai tiga tahunan, akhirnya institusi tempat Wandi bekerja, memberikan kesempatan untuk tugas belajar ke Yogya, tentunya ia tidak menyia-nyikan kesempatan itu. Dalam bersaing untuk tugas belajar di Yogya tersebut, ia harus bersaing juga dengan pegawai-pegawai lainnya dari utusan pegawai masing-masing kantor wilayah perwakilan provinsi seluruh Sulawesi. Alhamdullilah, ia lulus dan berangkat tugas belajar ke kota pendidikan. Suatu cita-cita yang telah lama dipendamnya. Cerita itu diakhirinya, karena ia harus istirahat dahulu, sembari dia berkata,
Mas besok pagi ikut ya? Wandi ajak mas ke Cianjur, bersilaturahmi ke rumah bapak asuh, tempat dulu saya menginap sewaktu Praktek Kerja Lapangan di Cianjur, sayapun mengangguk tanda setuju.
 
Dengan menggunakan bus antar kota, Bandung-Cianjur, kami bertiga : saya, adik bungsu, yang juga kakak kelas Wandi sewaktu pendidikan di Yogya, pergi ke Cianjur. Kurang lebih satu jam kamipun tiba di tempat yang dituju. Setiba di lokasi, Wandi agak lupa rumah bapak asuhnya, kebetulan ia menyebutnya Bapak Haji. Dalam hati, saya pikir rumah yang dikunjungi itu bagus dan rapih. Wandipun bertanya ke warga setempat, dengan logat Makasarnya yang tegas, akhirnya kamipun tiba di rumah Bapak Haji. Alhamdullilah pak haji masih mengingat Wandi, terlihat dari raut wajahnya tampak usia beliau sudah tujuh puluh hingga delapan puluh tahunan, tetapi tampak beliau masih sehat dan bugar.

Dengan logat Sundanya dia sapa Wandi, walo tetap pakai bahasa Indonesia, karena bapak haji tahu bahwa Wandi, belum faseh bahasa Sunda.
Bagaimana kabarnya, nak?, baik pak, tutur Wandi. Ternyata rumah pak haji itu sederhana sekali, tidak seperti yang kubayangkan. Diapun bercerita bisa berhaji, karena dengan jalan menabung, diiringi niat yang kuat dan berdoa sehingga diberikan jalan kemudahan oleh Allah Swt, tuturnya kepada kami bertiga.

Alhamdullilah keluarga pak haji menyambut kami selayaknya saudara sendiri, hingga kami dijamu masakan khas Cianjur. Setelah makan siang kamipun berpamitan pulang kembali ke Bandung, pak haji beserta keluarga, merestuinya.

Sebelum berangkat tidak lupa kami mengerjakan sholat dzuhur di salah satu masjid di kota Cianjur. Setiba di Bandung, setelah istirahat terlebih dahulu, malam harinya Wandi berpamitan kepada saya dan keluarga di Bandung, karena kebetulan beberapa hari lagi ia akan wisuda di Yogya. Saya dan keluarga pun melepas Wandi, sambil berpesan,
Jangan lupa kasih kabar ya, setelah tiba Makasar. Wandi pun menggangguk, sambil melambaikan tangannya dan berjalan menuju setasiun pemberangkatan Kereta Api ke Yogya.
 
Pada Sebuah Kata Tulus

Pagi ini saya berangkat kerja dengan perasaan malas. Terutama bila mengingat jarak tempat kerja yang lumayan jauh.

Kau harus semangat De, kalau kita semangat dan pekerjaan bisa selesai dengan cepat, kau kan bisa pulang lebih awal. Kita bisa bertemu dirumah lebih cepat juga. Jangan tertinggal dengan orang lain Suami saya langsung tanggap ketika melihat gerakan saya yang lamban dan tidak bersemangat ketika akan berangkat.

Duh, tiba
tiba saya teringat akan suasana kerja yang tidak kondusif belakangan ini. Saya tidak bersemangat setiap memulai hari. Hal itu semakin terasa setelah beberapa orang teman berhenti dari perusahaan ini dikarenakan berbagai alasan. Belakangan saya terhanyut dengan situasi itu. Sekarang saya tengah rajin membuat peta kompetensi. Dengan begitu saya berharap bisa dapat petunjuk kearah mana karir saya akan berlanjut. Saya tidak ingin tertinggal jika kelak ada perubahan mendadak dari manajemen.

 ****
Dibawah jembatan penyebrangan yang berfungsi sebagai halte, saya berdiri menunggu bus yang akan membawa saya ketempat bekerja. Debu beterbangan, knalpot mengeluarkan asap yang menyesakkan. Ditengah situasi seperti itu, beberapa orang polisi dengan setia bertugas. Berdiri ditengah keruwetan lalu lintas yang padat berdesakan.

Beberapa menit setelah saya berdiri, lalu lintas diujung jembatan sana sepertinya makin terhambat. Rupanya sebuah mobil angkot tengah memperlambat laju sehingga memperparah kemacetan. Suara klakson bersahut
sahutan melengking tinggi memekakan telinga. Mereka tak sabar meminta jalan.

Entah mengapa, perasaan saya ikut terbawa juga dengan situasi itu. Saya agak kesal melihat kejadian yang bising dan ruwet tersebut. Polisi berjalan menuju sember kemacetan. Saya berfikir : sopir angkot itu pasti akan ditilang. Dan menurut saya itu sudah sewajarnya untuk dilakukan.

Kemudian, mobil angkot itu melaju sangat pelan sekali. Ternyata sopirnya tidak berada pada kemudi. Dia sedang terengah
engah mendorong mobil yang memuat beberapa penumpang wanita. Oh! Ternyata mobil tersebut mogok, dia bukan dengan sengaja membuat kemacetan.

Yang lebih menakjubkan, pak polisi membantu mendorong mobil tersebut dari arah belakang dengan sekuat tenaga. Mereka berdua bekerjasama agar mobil bisa dibawa ketepi. Sementara itu, dibelakang mereka suara klakson masih melengking tinggi, seolah tak perduli dengan kesulitan yang menimpa dihadapannya.
Saya telah salah menduga. Men-genarilisir tentang suatu peristiwa pada prasangka yang negatif. Sopir itu tak sengaja membuat kemacetan, dan polisi tersebut tidaklah hendak memberikan surat tilang. Beliau malah memberikan suatu pertolongan. Kebaikan yang tidak saya duga sebelumnya.

Pada pagi yang ruwet menurut versi saya itu, beliau telah bersedekah dengan tenaganya. Jabatan yang dimilikinya tidaklah mengunci hatinya untuk berlelah
lelah membantu seseorang yang tidak dikenalnya. Tulus! Kata itulah yang tepat dilekatkan pada hatinya. Aha! Mungkin ini yang menjadi penyebab kemalasan saya. Saya harus memeriksa sudut sudut hati saya. Mungkin kekurang tulusan saya yang menyebabkan saya enggan berangkat ibadah menjemput rizki.

Belakangan ini saya tidak enjoy menjalani hari
hari pada pekerjaan. Saya lebih tertarik mendengarkan gossip tentang karyawan yang sudah keluar dan yang akan keluar. Saya terlarut dalam suasana yang tidak terkendali, dalam kekhawatiran yang seharusnya saya paham untuk menghindarinya. Saya tidak tulus menerima suasana kerja yang tengah berubah. Padahal, kemungkinan besar adalah bukan iklim kerja yang berubah, namun sudut pandang saya tengah mengalami pergeseran.

Saya harus bergerak untuk menggeser sudut pandang saya kepada posisi yang tepat. Meyakinkan kembali kepada tujuan hakikatnya bekerja. Kemudian, saya harus mengawal terus keyakinan itu. Setelah itu, biar Allah memilihkan yang terbaik untuk saya.
Bayangan Tak Terkejar

Sosoknya adalah sosok yang penuh cinta, kelembutan dan pribadi yang begitu memesona. Jilbab dan gaun gamis yang dikenakan memancarkan sosok muslimah yang ideal dan seorang ibu yang berwibawa. Pada setiap pertemuan, dia tidak akan pernah lupa untuk membuatkan kue. Kue sederhana namun sangat dinanti oleh semua rekan rekan. Usia kami hampir sama, dan dia sudah memiliki seorang putera. Suaminya bekerja sebagai pegawai biasa, namun dukungan dari ibu mertua sangat membantu mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Beruntunglah, mertuanya sangat baik dan cukup berada. Mereka bisa tinggal di rumah milik ibu dari suaminya.
Setelah hampir satu tahun tidak mengadakan kontak, kami berjanji untuk bertemu. Dia akan mengadakan survey dan sekaligus bersilaturahmi. Dia duduk dihadapan saya. Senyumnya ramah, tutur katanya halus. Masih seperti dulu. Namun, ada satu yang berubah saat ini. Dia tidak menggunakan gamis seperti biasanya. Dia masih berjilbab, namun untuk ukuran dia yang selama ini saya kenal, saya merasa dia telah berubah. Ups! Saya mencoba menepis prasangka buruk ini. Saya tidak berhak untuk menilai, terlebih sekehendak hati.
Hanya ini yang bisa saya lakukan. Saya bekerja untuk anak-anak. Mas tidak bisa menafkahi kami dengan cukup.. Saya sudah bisa menduga alasannya. Namun ada penolakan yang dahsyat pada benak saya. Tadinya saya berpikir dia bekerja di sebuah lembaga riset, karena dia mengatakan akan mengadakan survey atau jajak pendapat terhadap saya.
Namun ternyata, kenapa harus bekerja pada lembaga ini, yang jelas jelas menjalankan usaha riba ? Pertanyaan itu hanya tercekat dikerongkongan.
Sekarang dia meminta saya untuk menjadi nasabahnya, dia sangat piawai menjelaskan segala keunggulan produknya. Mbak, secara pribadi sebagai manusia normal, saya tentu ingin mendapatkan produk yang mbak tawarkan karena pendapatan yang akan saya terima sungguh luar biasa. Namun, saya tidak bisa menerimanya, karena ini mengandung unsur riba. Mbak lebih faham tentunya. saya berusaha memberikan penjelasan tentang penolakan saya secara baik. Saya berharap, dia akan tersadar dengan segala ilmu agama yang pernah dipelajarinya.
Doktrin tentang keunggulan produk dan pembelaan dan sangkalan tentang penjelasan saya membuat saya semakin sedih. Saya terluka, saya merasa kehilangan dia.Sebagai wanita yang juga bekerja, saya sungguh memahami motivasinya untuk membantu ekonomi keluarga. Saya juga mengerti akan kesulitannya. Namun, saya tidak berharap dia untuk seperti ini. Penghasilannya sudah mencapai 20 juta rupiah perbulan, semakin aktif membangun jejaring bisnis, mencari teman baru karena target yang dikejar semakin tinggi. Sementara dia aktif membangun mimpi, anaknya berdua dengan sang bapak, di rumah. Ya, berdua saja.
Saya merasa sakit, sedih, dan marah. Saya sungguh tak berdaya mengejarnya, saya tak sanggup untuk membuatnya kembali seperti dulu, seorang wanita sederhana yang menyejukkan mata. Saya ingin merengkuhnya, memasukkan kembali ke dalam kenangan masa lalu yang terpatri di dalam benak.
Maafkan kami ya Rabb, atas segala kelemahan diri.




Kabar Di Hari Sabtu

Sabtu, Pagi 27/Mei/2006 pukul 06.10 WIB, saya sedang mengendarai sepeda motor menuju daerah pinggiran kota Bandung mengantar adik ke-2 yang akan kerja di daerah Kopo. Saya hentikan sepeda motor karena hp aktif, ternyata sms dari si bungsu yang sedang menimba ilmu di kota Yogya. Pesan sms membuat saya agak terkejut karena berisi informasi bahwa di kota Gudeg sedang dilanda gempa dahsyat. Spontan karena khawatir langsung saya telepon balik ke adik di asramanya yang terletak di daerah Godean Sleman.

Beberapa kali saya hubungi ternyata tidak bisa terhubung. Tentunya perasaan menjadi berkecamuk tidak karuan. Saya coba menenangkan hati, kemudian saya balik haluan kembali ke rumah di Kiaracondong. Setiba di rumah, saya aktifkan kembali hp, kembali ada pesan serupa sms dari rekan di Yogya tentang gempa bumi yang membuat warga Yogya dilanda kepanikan.

Pesan singkat itu menggerakkan saya untuk coba sms ke Pak Lik Irawan di Wates, Kulon Progo, Budhe di kota Yogya dan teman akrab alumni SMAN 1 Wates bernama Mardi yang sedang libur panjang di Klaten Jawa Tengah.

Kemudian ringtone hp pun kembali berbunyi, hp pun saya angkat, Mardipun dengan terbata-bata mengisahkan baru saja terjadi Lindhu atau gempa bumi dalam skala richter 5,9 yang melanda Klaten dan sekitarnya. Mardi berkata,
Koyo dhonya wis kiamat, omah podho rusak, okeh korban ne (Seperti dunia sudah kiamat, rumah banyak yang rusak, korban yang tertimpa reruntuhan rumah banyak yang meninggal).

Pikiran saya pun jadi ikutan tidak menentu jangan-jangan banyak keluarga yang tertimpa musibah gempa ini. Kemudian saya putuskan telepon Pak Lik Irawan, beliaupun menjawab,
Yo bener nang kene yo keroso banget getaran gempa ne, Alhamdullilah kabeh keluarga uga podho selamat, omah yo ora opo-opo. (Ya benar di sini juga terasa sekali getaran gempa nya, Alhamdulillah semua keluarga sehat semua, rumah juga tidak apa-apa). Kabar serupa juga datang dari keluarga Bude di kota Yogya, akan tetapi sebagaian tembok rumah Bude ada yang retak.

Spontan saya segera mengikuti perkembangan berita gempa di Yogya dengan melihat breaking news di tv,
Inna lillaahi wa inna ilaihi raajiuun. ucap hati saya, terutama saat mendengar banyak korban jatuh di Bantul.
Saya pun mencoba menerawang jauh tentang Bantul, sebab ketika masih tinggal di Wates, ada kenangan yang sampai kini tidak terlupakan. Ya, dulu pernah bersepeda onthel ke Bantul, ternyata sekarang daerah itu benar-benar sedang berduka, sebab rumah banyak yang hancur, penduduk kekurangan bahan makan dan tempat tinggal. Tentu sahabat-sahabat di sana benar-benar membutuhkan pertolongan dari kita semua, pikirku dalam hati.

Ketika siang habis dzuhur, ibu yang tinggal bersama saya di Bandung, berulang kali ingin mengetahui keadaan putra bungsunya di Yogya? Alhamdullilah dengan telepon seluler akhirnya dapat terhubung, dia selamat dari musibah itu. Sembari memberi wejangan padanya, ibu berpesan agar selalu hati-hati dan sempatkan silaturahmi ke rumah Bude Yogya dan keluarga di Wates, tutur beliau.

Tentu musibah gempa bumi di Yogya ini, memberikan hikmah pada kita semua bahwa,
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (QS Al Hadiid [57]: 22)

Selain itu kita juga harus sangat siap dengan berbagai macam ujian hidup ataupun bencana yang dapat terjadi kapan saja dan di mana saja yang dapat saja menimpa kita semua, sehingga alangkah baiknya jika kita senantiasa berlindung diri pada Allah SWT dengan jalan senantiasa berdzikir pada-Nya. Wallahu a
lam bish showab.
Pertolongan Allah

Ditengah hingar-bingar perhelatan akbar final sepak bola Piala Dunia 2006 di Jerman, saya justru dikejutkan ketika membaca surat kabar di Bandung, tentang hasil Ujian Akhir Nasional (UN) Tingkat SLTA di bulan Juni ini. Begitu pula waktu media massa baik tv, internet, mulai menayangkan hasil-hasil ujian itu, bagi yang telah lulus tentu tidak menjadi persoalan yang pelik bahkan sudah menjadi kebiasaan yang turun temurun dengan merayakannya lewat konvoi keliling kota atau corat-coret baju seragam. Fenomena yang mengusik saya, ketika ada siswa yang sampai mau bunuh diri, membakar sekolah, mengalami depresi, yang lebih ironis justru ada siswa yang tergolong pandai tidak jadi lulus gara-gara nilai salah satu mata pelajaran UN, tidak sesuai dengan passing grade yang ditetapkan. Yang menjadi pertanyaan saya ada apa dengan pendidikan kita? Tentu kisah ini pelajaran yang harus dicari akar penyebabnya dan solusi pemecahannya.

Sebenarnya kisah ini mengingatkan saya ketika membaca buku best seller di Jepang berjudul
Toto Chan Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi yang mengisahkan tentang konsep sekolah alam, dimana siswanya diberikan kebebasan belajar dalam mengembangkan ilmunya dan dapat langsung diaplikasikan dalam lingkungan sekolah tersebut. Buku itu juga mengisahkan seorang Toto Chan yang selalu mempertanyakan segala sesuatu tentang pendidikan yang sedang digelutinya. Apakah benang kusut pendidikan kita harus belajar dari seorang Toto Chan pikirku dalam hati. Kembali memoriku teringat pada adik ke-3 alias si Thole yang masih imut-imut hingga saat ini untuk seangkatan teman-temannya yang lulus dari SMA tahun 2000 di Bandung waktu itu. Yach kisah tentang hasil UN 2006 ini, sebenarnya sama dengan si bungsu waktu lulus tahun 2000, nilai matematikanya 2,8, jika ada lorong waktu seperti salah satu sinetron di salah satu tv swasta kita, mungkin Thole tidak lulus jika dia lulus tahun 2006 ini pikirku menerawang jauh.

Saya jadi teringat waktu dia lulus, terus berjuang untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi dari ikut tes penerimaan UMPTN 2000, program-program D3 di PTN Bandung. Ibarat ikhtiar semua sudah dijalani, hingga akhirnya saat tiba pengumuman, ternyata tidak ada satu pun yang diterima sedangkan teman-temannya banyak yang ketrima di PTN. Tentu dengan usia yang masih remaja belia waktu itu, sekitar 18 tahunan, dia mengalami depresi berat, hingga rambutnya gondrong dan wajahnya terlihat kusut. Saya pun mulai mencari jalan keluar agar adik bisa melanjutkan ke pendidikan tinggi lagi. Alhamdulillah, waktu itu masih ada penerimaan program D1 pertanahan di suatu institusi pendidikan kedinasan di kota Yogya. Saya luangkan ke kota gudeg waktu itu, untuk mendapatkan brosur dan informasi tentang pendidikan ini. Setelah sampai di Bandung lagi, saya pun terangkan kepada orang tua maupun si bungsu, tentang pendidikan D1 ini, awalnya adik menolak sebab hanya, D1?
Kemudian saya terangkan pada si Thole sembari saya tingkatkan mentalnya yang sedang down waktu itu. Hingga saya tempuh suatu strategi jitu, agar dia mau masuk sekolah itu yakni si Bungsu saya ajak jalan-jalan ke sekolah calon birokrat muda alias STPDN di Jatinangor. Ternyata strategi itu manjur, akhirnya adik mau mengikuti tes dan mengikuti pendidikan selama 1 tahun. Alhamdulilah setelah lulus tahun 2001 walau sempat menganggur 1 tahun karena dalam tes CPNS tahun 2001 tidak masuk. Dalam mengisi kekosongan kegiatan, adik masih diberi kemudahan oleh Allah Swt dalam memanfaatkan jeda waktu selama 1 tahun dengan kesibukan bekerja di institusi swasta. Hingga kembali kemudahan diberikan oleh Yang Maha Kuasa pada adik, seiring ulang tahun kemerdekaan negeri ini pada Agustus 2002. Kabar baik tentang tes CPNS yang berasal dari kakak kelas adik. Sewaktu masih belajar selama 1 tahun adik aktif di DKM masjid kampus, hingga kabar ada tes penerimaan datang dari kakak kelas sekaligus sahabat nya di DKM. Adanya kesempatan dan peluang itu tentu tidak disia-siakannya mengikuti tes lagi. Alhamdullilah, doa orang tua maupun kami sekeluarga dikabulkan oleh Allah, adik diterima menjadi PNS tahun 2003 di salah satu institusi pemerintah dengan penempatan di provinsi Sumatera Selatan. Wajah si bungsu tampak ceria ketika menyampaikan kabar itu kepada orang tua.

Subhanalah, setelah bekerja 1 tahun di Sumsel, bulan Agustus tahun 2004 adik kembali diberikan kemudahan dengan mendapatkan prioritas untuk tugas belajar atas nama lembaga, kembali ke kampus semula di lingkungan agraria/pertanahan di kota Yogya, tentu saya dan keluarga bersyukur akhirnya adik dapat meraih cita-citanya untuk menggapai pendidikan tinggi. Dari kisah ini tentu ada ibroh yang dapat diambil hikmahnya, sebagaimana firman Allah swt dalam (Q.S : Al Insyirah ayat 5-6) :
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Wallahu alam bish showab

Kelalaian Sahabat

Ketika saya dan teman sebaya yang lainnya harus menunggu ibu untuk memotong rambut saya yang telah panjang dan berantakan, maka dia sudah mengenal salon sejak SD. Ketika kami diantara teman sebaya menggunakan baskom kaleng bekas untuk dijadikan kendaraan yang ditarik dengan menggunakan seutas tali dan mengitari kebun dengan bergantian, maka dia sudah menggunakan sepeda mini untuk bermain sepeda sungguhan. Ketika mobil hanya dimiliki oleh dua orang di kampung saya, maka keluarga mereka telah memiliki mobil dan rutin berlibur mengunjungi tempat tempat wisata di Jakarta sana. Dia memiliki fasilitas lebih daripada kami kebanyakan. Kami pun kecipratan bisa menikmati sebagian fasilitas itu. Menonton Video, mendengarkan lagu anak anak, atau kami bergantian belajar mengendarai sepeda berkeliling kampung. Saya dan Dia, melewatkan sebagian masa kecil selalu bersama sama. Selain bertetangga, kami juga satu kelas ketika SD dan SLA. Dia sering bercerita akan kuliah ke Jakarta. Begitu jauhnya cita cita yang dia inginkan.
Pada suatu ketika kami kelas 2 SLA, bapaknya menghadap Allah SWT. Dari titik itulah kemudian semua seolah amat sangat cepat berubah. Laju perputaran kehidupan terasa jadi sedemikian terasa dahsyat. Keterpurukan ekonomi keluarganya tidak bisa dihindari. Uang pesangon yang lumayan besar dari pekerjaan bapaknya di bank pemerintah tidak bisa dikembangkan dengan baik oleh ibunya. Dan entah sejak kapan, berita miring dari keluarga mereka mulai terdengar begitu jelas dan marak. Tentang Ibunya yang sering dikunjungi oleh beberapa orang lelaki yang bukan muhrimnya dan sekolah adik adiknya yang tidak bisa diteruskan lebih tinggi lagi. Dan, entah sejak kapan pula saya seolah merasa tidak bisa seakrab dulu dengan dia. Tanpa saya sadari kami sudah jarang mengobrol, jarang bertukar pikiran. Mungkin karena ketidakpedulian saya, maka saya tidak merasa terlalu kehilangan.
Ketika kami sudah mempunyai kehidupan rumah tangga masing masing, dalam hitungan tahun kedua dia telah bercerai dengan suaminya. Ternyata suaminya selama ini tidak mempunyai pekerjaan, dialah yang bekerja di Jakarta sebagai tenaga administrasi di sebuah pabrik, kemudian rutin setiap satu minggu sekali pulang ke kampungnya untuk mengunjungi suaminya. Alasan itulah sehingga membuatnya merasa lelah teramat sangat dalam menjalani kehidupan rumah tangga yang seperti itu. Dia mengambil keputusan untuk mengemban status janda. Bercerai dalam usia yang masih sangat muda.
Tidak berapa lama kemudian, terdengar kabar bahwa dia bekerja di Malaysia selama 2 tahun. Ah, mungkin itu pilihan yang tepat baginya untuk saat ini. 2 tahun berselang, ketika dia kembali ke kampung, saya menyempatkan diri untuk bertemu. Walaupun ada keinginan saya untuk mencoba mendekatkan diri kembali dengan kehidupan ketika masa sekolah dulu, namun rasanya suasana yang kami temui tidak secair dulu sebagaimana yang saya harapkan. Untuk selanjutnya, pertemuan kami adalah merupakan pertemuan yang kebetulan saja ketika berpapasan di jalan. Sungguh sangat alakadarnya, obrolan saya belum menyentuh menjadi suatu pendekatan layaknya seorang sahabat.
Ketika melewati muka rumahnya untuk berkunjung ke rumah mertua, dari luar saya merasa bahwa dia memperhatikan saya yang tengah menuntun anak anak dari balik tirai kaca jendela rumahnya. Mungkin, ada sejumlah keinginan yang belum tuntas dia jalani. Tentang kesendirian yang dilalui tanpa suami dan anak. Terkadang saya mempunyai keinginan kuat untuk datang khusus menemuinya, paling tidak menjadi teman untuk bercerita. Ya, suatu saat saya harus mempunyai waktu untuk itu. Saya masih berniat untuk bisa menjadi temannya kembali
Hari ini saya melintas didepan rumahnya untuk kesekian kalinya. Sejumlah janji yang tertanam dihati belum sempat saya tunaikan. Saya masih dalam kondisi yang selalu terburu buru.
Oh, Yati mau berangkat ke Taiwan, mau kerja seorang tetangga menjelaskan ketika saya menanyakannya.
Sekarang ada dimana,Pak ? Sudah berangkat ke Taiwan belum ? saya mengejar dengan pertanyaan berikutnya.
Oh, saya kurang tahu, tapi katanya dia di Jakarta dulu ikut latihan 6 bulan, nanti baru berangkat. Ya, disini juga gimana ya, kasihan di rumah terus tidak ada kegiatan.�
Ini bukan berita yang saya harapkan. Selalu saja saya mempunyai alasan untuk belum sempat menemuinya. Saya tidak cukup waktu untuknya, bahkan untuk hanya sekadar mendengar rencana kepergiannya ke negeri orang. Atau sesungguhnya saya takut untuk terlibat dalam segala keluh kesahnya. Sehingga sadar ataupun tidak, saya sudah mengkonversikan kemalasan saya menjadi suatu alasan tentang sebuah kesibukan.
Baginya, jelas ini bukan kepergian yang mudah, karena bekerja diluar sebagai TKW pasti bukanlah cita � cita yang dia dambakan. Tapi nasib berbicara lain, dia harus menghidupkan kembali semangatnya. Mungkin dengan kepergiannya dia akan merasa lebih berarti dan berguna. ketidakpedulian saya akan kondisinya adalah hal yang sangat saya sesali. Padahal, bisa saja ditengah segala rutinitas, saya menyempatkan diri untuk mengajak dan mengenalkannya kepada komunitas pengajian. Jika adalah betul waktu yang menjadi kendala, toh seharusnya saya mencari cara lain, mungkin bisa dengan menitipkannya kepada teman yang lain u

Rupiah Bukan Satu-satunya

Apa yang membuat seseorang sakit gigi, ketika dompetnya tipis, anaknya sedang sakit panas, sementara pekerjaan seabrek belum terselesaikan ? Sebuah kutukankah ini ? Karena mulut yang sulit menjaga perkataan, karena tangan yang lebih sering menadah daripada memberi ?
Pertanyaan itu menggelitik otak saya sepanjang malam, ketika anak demam dan panasnya mencapai 38 derajat dan gigi senut-senut seperti digigit lebah. Seolah-olah lebah Jepang telah masuk disaat mulut sedang menguap lebar, hinggap di gusi, masuk kedalam lubang gigi yang keropok, dan menyengat bagian dasarnya. Obat tradisional Cina Tjap Boeroeng Kakatua-pun tak sanggup mengakhiri penderitaan, setelah tablet analgesic-pun tak mampu meredakan nyeri saraf gigi sepanjang hari. Episode sakit gigi kali ini jadi cukup dramatis karena, terjadi tepat di waktu tengah bulan, ketika kantong nyaris tipis tersedot biaya hidup sehari-hari, dan pekerjaan seabrek menunggu selesai dikerjakan.
�Besok berobat saja, Bang. Biar nggak bengkak dan keterusan.� nasihat istri yang juga ikut-ikutan mumet, sebab tugasnya membuat bahan ajar belum kelar, dan anak kami demam sepanjang malam. Saya iyakan anjurannya itu dengan mengangguk pendek, sambil membenamkan kepala bagian kanan keatas bantal empuk, yang sedikit mengurangi derita sakit gigi yang sempat diolok-olok para sepupu sebagai : derita yang layak masuk nominasi �Sakit Gigi Tahun Ini.�
***
Apa yang dikatakan kaum sepupu, tentang �Sakit Gigi Tahun Ini� itu menjadi kenyataan, ketika saya berobat ke poli gigi dan bibir saya keserempet mata bor sang dokter. Begini ceritanya :
Pada pagi hari di kamis yang menegangkan itu, saya memilih berobat ke sebuah poli gigi yang masih satu daerah dengan lokasi kantor. Poli gigi itu saya pilih setelah mencocokkan harga kanan-kiri, survei pasaran biaya dokter gigi sekitar kantor, sekitar rumah, dan beberapa dokter terkenal di Bandung. Spesialis rata-rata matok biaya pengobatan Rp. 70.000,- sekali datang, dan poli gigi-poli gigi tertentupun biaya praktek tok-nya sekitar Rp. 50.000,- Nah, poli gigi di dekat kantor itu biaya prakteknya dibawah Rp.50.000,- sudah plus analgesic, antibiotik dan anti-radang.
Sebelumnya saya sudah lega dan yakin betul bahwa proses pengobatan gigi akan berlangsung lancar, mengingat sang dokter terlambat hampir setengah jam. Mengapa saya yakin bahwa dokter tersebut adalah dokter ahli ? Menurut ibu saya, dokter ahli itu sering terlambat datang ke tempat praktek, karena jasanya dibutuhkan di mana-mana. Menurut nasihat ibu, dengan tenang dan santai saya menunggu kedatangan tokoh yang ternyata menjadi 'Fredi Krueger' buat saya di hari itu.
Perasaan saya berubah resah, diwaktu seseorang menapaki tangga dengan begitu grasa-grusu, dengan helm masih melekat di kepala. �Assalamu'alaikum, Dok.�sapa petugas poliklinik yang kemudian berbisik-bisik dengan kawan disebelahnya sambil tertawa kecil. Telinga saya sedikit menangkap bisik-bisik mereka, yang kira-kira berbunyi : �Untung dokter A nggak ada..�ujar sang petugas sambil menyebut nama yang ditulis paling atas dalam organigram pengurus poliklinik, �Kalau tidak pasti dimarahi lagi.�
Sesuai dengan bahasa tubuhnya, sang dokter muda mengawali perawatan gigi saya dengan sedikit terburu-buru. Akibatnya, gigi saya yang sakit dan sedikit rapuh itu tanggal sebagian. Belum habis trauma dan belum hilang perasaan ngilu, sang dokter bersiap melakukan pengeboran, membuat saya tambah kecut dan tegang. Kali pertama bor itu menyentuh geraham saya, dan entah bagaimana kejadiannya, tiba-tiba serasa ada yang berputar menusuk bibir bagian dalam. Meski agak sakit saya belum menyadari, bahwa bagian dari bor gigi itu telah melukai kulit belakang bibir. Baru kali kedua saya terperanjat, membuka mata, sebab bagian bor itu kembali menyakiti bagian kulit yang sama.
�Maaf.� ucap sang dokter pendek, ketika mental berobat saya sudah turun sama sekali. Rasanya ingin cepat keluar dari klinik itu. Membawa ngilu, membawa degup jantung yang makin tak beraturan, serta bibir yang perih menambah derita gusi dan gigi.
Satu minggu kemudian, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan berobat ke poli gigi tersebut. �Harga tidak pernah bohong.�ujar Indra 'Donat', kolega dekat saya di kantor. Mengikuti nasihatnya saya memutuskan untuk berobat ke spesialis saja, dokter konsulen yang sudah senior, dan tentunya punya pengalaman merawat gigi saya yang - menurut dokter yang saya datangi pertama- letak bolongnya di samping dan sedikit susah dibor. Setelah bertanya kiri-kanan lagi, saya putuskan untuk melanjutkan perawatan ke praktek spesialis langganan seorang teman kantor. Sekali konsul biayanya Rp.70.000,- �Kalau sama obat sekitar seratus ribuan,�info kawan saya itu.
Hari kamis sore seminggu berikutnya, saya pergi menuju tempat praktek yang direkomendasikan dan letaknya sejalur dengan jalan pulang. �Mahal tak apalah asal selamat,� bisik hati saya. Selain itu, saya bisa berobat dan sekalian pulang ke rumah. Tidak perlu mengambil waktu kerja pagi hari, sebagaimana bila saya berobat ke klinik yang pertama.
�Mahal tak apalah, asal selamat.�bisik hati saya lagi-lagi, ketika saya akan berbelok menuju tempat praktek spesialis rekomendasi teman. Aneh, bisikan itu malah membuat saya bulat tekad, untuk tidak menuju ke lokasi yang direkomendasikan itu. Saya malah mengambil arah menuju lokasi praktek dokter yang sempat saya survei sehari sebelumnya. Ia terletak di sebuah kompleks perumahan elit. Tempat pejabat dan pengusaha kota Bandung bertinggal, dan saya kira pasti mematok biaya berobat lumayan mahal. �Mahal tak apalah, asal selamat.�bisik hati ini untuk kesekian kali.
***
Dengan bekal uang Rp. 150.000,- saya mendatangi tempat praktek spesialis orthodenti, yang sore ketika saya datang tampak begitu sepi tanpa tanda-tanda praktek dan antrian pasien. Sempat hati ini ragu, meski sudah membaca tulisan di gerbang bahwa praktek masih buka. Untunglah. Saya tak perlu lama bertanya-tanya, sebab seseorang dengan dandanan seorang batur, tiba-tiba muncul membukakan gerbang. Ia lalu mengantarkan saya ke ruang tunggu. Tak sampai lima menit, saya dipersilahkan untuk masuk ke ruang praktek, dan singkat cerita : saya langsung menikmati pelayanan spesial dan penuh kehati-hatian, dari ibu dokter setengah baya, yang merawat gigi saya dengan super teliti. Sikapnya yang kalem membuat saya tenang dan percaya, bahwa ibu dokter yang satu ini memang dokter berpengalaman dan ahli.
�Berapa biaya prakteknya, Bang ? Pasti mahal, ya.�tanya istri waktu saya menceritakan pengalaman berobat sore itu.
Nggak. Cuma dua puluh lima ribu sama obat !�jawab saya, dengan kalimat antusias seolah tidak percaya.
�Wah, murah sekali. Nggak pakai antri, ruang prakteknya sejuk dan mewah lagi.�kata istri saya selesai mendengar deskripsi suasana rumah dan ruang praktek dokter spesialis itu.
�Iya. Itulah, Dik. Poliklinik kok malah lebih mahal dari spesialis. Mungkin plus bayar ongkos tunggu sama bayar nge-bor bibir kali, ya ?�
Istri saya tersenyum pahit mendengar kata-kata saya yang terakhir. Sambil dongak-dongak menatap gigi geraham saya yang sedang menjalani rawat syaraf itu, istri saya mengingatkan bahwa belum tentu biaya berobat ke spesialis itu mahal. Saya seakan kembali diingatkan pada pengalaman-pengalaman sebelum ini, ketika saya berobat ke seorang spesialis jaringan dan spesialis bedah mulut, yang bahkan pernah membebaskan biaya berobat kepada saya. Ya, saya jadi teringat jasa mereka yang pernah membantu pengobatan saya di tahun-tahun silam. Sayang, tahun-tahun belakangan saya tidak pernah kontak dengan mereka, sebab sikap saya yang sering menganggap enteng silaturrahmi. �Silaturrahmi cuma waktu butuh saja..�hati ini berbisik menyalahkan.
Ahh, betapa saya harus menajamkan hati lagi untuk memetakan hikmah dari pengalaman. Sungguh saya telah gagal mengambil hikmah dari pengalaman, bahwasanya belum tentu semua yang spesial dan istimewa itu menuntut kompensasi mahal. Untuk kesekian-kali Allah menunjukkan kepada saya, bahwa yang murah tapi spesial itu masih ada, di dunia yang serba materialis dan kapitalistik ini. Diantara relasi masyarakat modern yang kerap menuntut pamrih, ternyata saya masih sempat dipertemukan, dengan jiwa-jiwa yang berusaha bebas dari kecenderungan menuntut balas jasa. Alhamdulillah. Pengalaman dan ingatan-ingatan itu membuat istirahat malam saya menjadi lebih tenteram. Gigi sudah tidak begitu sakit, demam anak saya sudah mulai turun, dan uang di dompet masih tersisa Rp. 125.000,- Padahal, saya sempat menyangka, uang di dompet itu nantinya paling bersisa lima puluh ribu rupiah saja. �Jangan rupiah saja yang melulu kau jadikan ukuran.�bisik nasehat hati sebelum saya terlelap di alam mimpi.
Seusai Mimpi Itu, Rabiah Selalu Terjaga

Suatu kali dalam masa-masa keudzurannya, Rabi'ah Al Adawiyyah, seorang sufi kenamaan tak lagi kuat berlama-lama melaksanakan shalat tahajjud. Adakalanya iapun melewatkan shalat malam karena keudzurannya. Demi mengganti pahala shalat malamnya, ia menamatkan satu juz Qur'an sebelum tidur. Karena, menurut hemat Rabi'ah, pahala membaca satu juz Al Qur'an sama dengan melakukan shalat sepanjang malam.
Lama Rabi'ah melaksanakan kebiasaan itu. Sampai suatu malam, Rabi'ah bermimpi dalam tidurnya. Dalam mimpinya itu, ia seolah-olah berada diantara taman yang luas, teramat luas, dengan pepohonan hijau yang asri tumbuh disekelilingnya. Diatas tanah yang subur itu, Rabi'ah menyaksikan, sebuah Istana megah berdiri diantara hamparan hijau dan bunga-bunga aneka warna.
Ketika ia sedang asyik menikmati pemandangan sekitar, tiba-tiba Rabi'ah melihat seorang anak kecil tengah mengejar burung hijau yang terbang diatas kepala, sambil berteriak-teriak alangkah gembiranya.
Rabi'ah lalu menegur anak itu, "Untuk apa engkau tangkap burung itu ? Demi Allah, aku belum pernah melihat burung secantik itu. Biarkan ia terbang kemana ia suka."
"Ya. Benar juga kata-kata ibu,"jawab gadis cilik itu.
Gadis cilik itu lalu datang menghampiri Rabi'ah dan menggamit tangannya. Penuh keceriaan, Rabi'ah dan gadis cilik itu berjalan mengitari halaman, sehingga mereka sampai di pintu istana yang alangkah megah, kukuh dan cantiknya. Sambil mengetuk pintu, anak itu berkata: "Tolong bukakan pintu untuk kami !"
Pintu istana itu lalu terkuak lebar. Dari dalam pintu itu terpancar cahaya yang amat terang, sehingga menerangi sekeliling kami.
"Masuklah, Bu. Mari ikut sini." Anak itu menggamit lengan Rabi'ah, dan Rabi'ahpun mengikuti gadis cilik itu.
Benar dugaan Rabi'ah, dalam istana itu disaksikannya benda-benda serba indah, dengan bangunan dan tempat-tempat cengkerama yang begitu tertata, mewah dan asri.
Bersama anak itu, Rabi'ah kembali mengelilingi ruangan istana dan tak habis-habis dari mengaguminya. Sedang asyiknya Rabi'ah mengamati keadaan sekeliling, dengan tiba-tiba pintu yang menjurus kearah taman terbuka. Lagi-lagi gadis kecil itu mengajaknya, untuk kembali berhandai-handai di keluasan taman istana.
Dalam kursi-kursi berukir emas yang tersedia didalam taman, tampak para pelayan yang wajahnya cantik mempesona, tak ada bandingannya diantara wanita yang tinggal di muka bumi. Mereka cantik seperti mutiara berseri-seri, seperti hendak bepergian, sedang di tangan mereka tergenggam berbotol-botol wewangian.
Gadis kecil itu bertanya kepada mereka, "Bibi-bibi ini hendak pergi ke mana?"
Salah seorang dari pelayan istana itu menjawab : "Kami hendak pergi menemui seseorang yang terbunuh dalam pertempuran laut. Orang itu telah mati dalam keadaan syahid.
Anak itu lalu bertanya lagi : "Tidakkah kalian ingin memberi wewangian kepada perempuan ini?",seraya menunjuk ke arah Rabi'ah.
"Ia sudah mendapat wewangian, tetapi ia sendiri yang tidak mau memakainya.�ujar pelayan istana bermata jeli yang sudah bersiap-siap untuk pergi.
Sejurus kemudian gadis kecil itu melepaskan genggaman tangannya dari Rabi'ah. Dan seketika itu, Rabi'ahpun terjaga dari tidur malamnya.
Sambil menopang tubuh rentanya, kulit tipisnya yang sudah tak kuat menahan dingin malam itu, Rabi'ah pergi mengambil air wudlu. Berkali-kali Rabi'ah melafadzkan istighfar dan kemudian menunaikan shalat malam dalam suasana hati penuh sesal dan haru. Hingga akhir hayatnya Rabi'ah Al Adawiyyah menyesali, bahwasanya ia pernah melalaikan shalat malam. Maka semenjak mimpinya itu Rabi'ahpun selalu terjaga dan beribadah di tengah malam.
Dan Mereka Tenggelam Dalam Tahajjudnya

Seorang tokoh sufi, Abu Yazid Al Bustomi, semenjak kecil dikenal sebagai seorang shalih, yang taat menjalankan perintah agama. Hobi utamanya membaca kalamullah, Al Qur'an Nur Karim. Tak ada hari dan malam terlewat tanpa membaca firman-Nya.
Suatu malam, Abu Yazid asyik membaca dan menekuri lembar demi lembar halaman Qur'an bersama sang ayah. Ayat demi ayat terbaca, sehingga ia sampai pada surat Al Muzammil.
�Abi, untuk siapakah Allah memerintahkan qiyamul lail ini ?�
�Untuk Muhammad SAW,�jawab ayahnya pendek.
�Mengapa ayah tidak melaksanakannya sebagaimana Rasulullah telah melakukannya ?�
�Itu adalah perintah Allah untuk memuliakan derajat Rasulullah, anakku.�ujar sang ayah sambil menahan senyumnya.
Mendengar jawaban singkat ayahnya, Abu Yazid kembali khusyuk membaca ayat demi ayat dalam surat tersebut. Ketika sampai kepada ayat : �...thaaifatun minalladziina ma'aka,� Abu Yazid kembali bertanya kepada sang ayah.
�Abi, siapakah yang dimaksudkan oleh ayat ini ?�
�Mereka adalah para sahabat Nabi SAW.�
Kening Abu Yazid kembali berkernyit, mendengar jawaban ayahandanya. �Lalu, mengapa Abi tidak ikut menunaikannya sebagaimana sahabat Rasul telah melakukannya ?�
Sang ayah yang hari-harinya habis untuk bekerja itu lantas menjawab, �Mereka adalah orang-orang yang diberi kekuatan oleh Allah SWT untuk menunaikan shalat malam.�
�Apakah Abi tidak ingin seperti mereka ?�
Sekali ini sang ayah tak kuat lagi menahan senyumnya. Ia tersenyum. Tapi tak sepatah-katapun ia menjawab pertanyaan Bustomi kecil. Alkisah sejak saat itu, sang ayah kerap terbangun malam hari untuk menunaikan shalat tahajjud.
Bustomi kecil sering terjaga ditengah malam, dan menyaksikan ayahnya tengah khusyuk menghadap kiblat, bahkan sesekali tampak terisak disela-sela tahajjud-nya. Menyimak betapa nikmatnya sang ayah berkhalwat dengan Sang Khaliq, Abu Yazid Al Bustomi memohon kepada ayahnya untuk diajari, bagaimana melakukan shalat malam.
Bustomi kecil kerap melakukan shalat malam, semenjak ia mendapatkan pelajaran dari ayahnya itu. Setiap malam ia terbangun dan segera mengambil air wudlu, sebagaimana sang ayah juga melakukannya.
Menyaksikan ketekunan anaknya sang ayah lalu menasehati,�Anakku, kamu masih terlalu kecil. Jika kamu sering terbangun tengah malam begini, bisa-bisa kamu jatuh sakit.�
Bustomi kecil yang polos itu kemudian berkata, setengah bercanda, �Abi, di akhirat kelak jika saya ditanyai tentang shalat tahajjud saya akan berkata : - Ya Allah, sebenarnya saya sangat menyukai shalat tahajjud, hanya saja ayah telah melarang saya dari menekuninya.�
Mendengar kebajikan yang diutarakan oleh sang anak, ayah Bustomi kecil nyaris tak dapat berkata-kata, saking terharunya. Dengan suara pelan dan senyum bahagia sang ayah berkata pada Bustomi kecil,�Baiklah anakku. Silahkan kamu laksanakan tahajjud-mu dengan sabar dan khusyuk.�
Pada malam bersejarah itu, pada malam-malam selanjutnya, ayah dan anak yang shalih itupun tak pernah lepas dari menunaikan qiyamul lail. Mereka berlayar, tenggelam, dalam kenikmatan yang sama yang pernah dikaruniakan Allah terhadap Rasulullah SAW dan kaum keluarga serta sahabatnya. Mereka tenggelam dalam samudera luas nan tenang. Sebagaimana Allah SWT telah menganugerahkan kenikmatan itu kepada orang-orang shalih terdahulu.
Sore Ketika Saya Mengenal Hakikat Ridzki (I)

Senin sore itu, saya terpaksa pulang lebih malam. Lebih lambat dari kawan-kawan kantor, karena proses up-load konten yang lama. Inilah dilema penulis cyber. Ketika teks telah siap, tiba-tiba kecepatan jaringan internet berkurang, melemah dan akhirnya lambat sama sekali. Untuk membuka content management system butuh waktu 5 sampai 7 menit. Bila dijumlahkan, waktu up-load konten bisa memakan waktu 20 menit per satu konten. Betul-betul menyiksa. Mengingat saya seharusnya sudah bisa pulang 20 menit lebih awal, jikalau kecepatan jaringan sedang normal.
Saya keluar dari pintu kantor lima belas menit menjelang shalat maghrib. Seharusnya, saat lima belas menit menjelang maghrib itu saya sudah menghirup bau rumah, rangkuman aroma masakan untuk makan malam, sabun mandi anak saya, dan harum tanah basah di kebun kecil rumah kami. Tapi apa boleh buat. Lima belas menit menjelang maghrib itu saya baru saja mengawali sebuah perjalanan pulang. Perjalanan yang juga seharusnya cepat dan tenteram, jika saja tidak ada kemacetan dan ulah pengendara mobil-motor yang seperti dikejar hantu. Melihat ulah mereka saya su'udzhan saja : �Mungkin takut ketinggalan maghrib berjamaah.�
Langit yang gelap dan penat yang sangat, membuat saya menyingkir dari jalanan sibuk, yang biasa saya lalui setiap pulang. Didepan mulai tampak tanda-tanda kemacetan, sedang dari langit mulai turun setitik-dua titik air hujan. Cukup alasan bagi saya untuk mengambil jalan pintas lewat perkampungan, meski sebenarnya bukan malah menyingkat jarak. Tapi setidaknya, lewat jalan kampung pasti terhindar dari macet, dan ketika hujan bisa berteduh di dangau atau warung kopi, yang tentu lebih nyaman keadaannya daripada berlindung di pinggir toko- menunggu hujan reda sambil memandang botol plastik, kotak minuman dan kadang veses atau bangkai tikus mengalir ke tengah jalan. Hiiy.....jijik.
Singkat cerita, setelah beberapa saat menikmati suasana kampung yang lengang menunggu maghrib, hujan akhirnya turun menemani perjalanan pulang sore itu. Jalan desa yang dinaungi dedaunan rimbun, yang menjulur dari tangkai pohon besar di kiri-kanan jalan, membuat hujan deras itu tidak begitu menyulitkan saya. Dengan jaket lapis mantel hujan saya terus menyusuri jalan kampung. Saya bersyukur dan merasa beruntung telah memutuskan untuk lewat di jalan yang sangat sepi itu.
Hujan turun kian deras. Kalau mengikuti hitungan jam, semestinya saya bisa sampai ke rumah lima belas menit lagi, karena separuh jalan kampung itu telah habis saya lalui. Setelah jalan kampung ini, saya tinggal menyeberangi jalan raya lalu masuk ke gang lokasi tempat tinggal. Hati yang kecut karena gelegar petir yang terus sahut-menyahut, dingin yang menyusup karena air mulai tembus ke lapisan terakhir mantel hujan, jadi sedikit tak terasa. �Santei ajaaa. Sebentar juga sampe ke rumah.�bisik batin saya, menirukan seloroh sejawat muda saya di kantor, ketika deadline sudah didepan mata dan dia tertangkap basah sedang main game atau sedang chat.
Sedang asyik-asyiknya melancar, ketika jarum speedometer melewati angka 60, tiba-tiba motor saya oleng sukar dikendalikan. Untung bukan kali itu saja saya mengalami kejadian serupa, sehingga saya bisa mengendalikan laju motor setengah mantap. Beberapa detik saya terlambat, bisa-bisa saya dan Gorgom- julukan motor saya, dijuluki demikian oleh montir langganan karena jarang sekali dicuci- menyeruak kebun singkong di pinggir jalan. Dulu, jaman pertama kali belajar motor, saya dan Gorgom pernah dua kali menggerus perkebunan dan tanaman milik orang. Pertama, waktu saya dan Gorgom 'berselancar' di perkebunan teh. Kedua, waktu saya dan Gorgom melakukan 'terjun bebas' di sawah belakang komplek. Alhamdulillah, senin sore itu saya dan Gorgom tidak sampai mencetak rekor baru.
Di pinggir jalan desa itu, dibawah hujan yang masih deras menyiram, saya memeriksa apa penyebab dari olengnya motor saya tadi. Kalau dalam dua peristiwa sebelumnya olengnya motor disebabkan oleh over speed di belokan tajam, maka dalam peristiwa ketiga ini penyebabnya adalah ban belakang yang bocor. Inna lillaahi...kepala paku beton tampak tersembul dekat bagian pentil, ketika saya menjamah ban motor yang kempes total.
Setelah saya mencabut paku yang menancap dalam itu, dibawah air hujan yang turun dan kini betul-betul merembes ke seluruh tubuh, saya berjalan menuntun motor. Seandainya saja saya belum kawin, atau minimal belum kawin dan juga jokron (maaf, ini akronimnya jomblo kronis, sebuah istilah yang pernah digunakan sebagai nama gang anak-anak STM di Bandung yang doyan berkelahi, karena frustasi ditolak cinta), pasti rasanya pahit betul perasaan di sore nan gelap dan lembab itu. Sambil berjalan, mengatur nafas, saya berharap bisa cepat menemukan tukang tambal ban. Diantara kecipak langkah sendiri yang dirasa mulai berat sayapun bergumam : semoga anakda tercinta, Abang Rashif yang sedang demam dan menunggu-nunggu ayahnya di rumah, dikaruniai kesembuhan oleh Allah dan tidak gelisah atau panas seperti malam sebelumnya.
Ah, sudahlah. Saya harus melupakan bau rumah. Saya harus cepat-cepat mencari kios tambal ban, yang kalau tidak salah ada di 'lima menit' menjelang jalan raya, masih bagian dari jalan kampung ini. Singkat kata, sayapun bergegas menuntun motor ke arah depan, menyibak hujan yang kini ditingkahi oleh suara gelegar petir yang menciutkan nyali. (bersambung)
Sulitnya Air

Air adalah salah satu sumber hidup bagi manusia. Namun masih banyak terdengar orang kekurangan air. Itulah yang dialami kami saat berada di lingkungan baru tempat tinggal sang mertua. Saat belum berkeluarga mau berapa ember air pun tidak jadi masalah. Tapi sekarang, saya sadar masih banyak orang yang rela menghemat akibat keterbatasan sarana dan prasarana. Kondisi ini menurut tokoh masyarakat setempat sudah berjalan sangat lama tanpa ada perhatian pihak terkait.
Kondisi ini menyebabkan orang rela membeli paling sedikit 5 jeligen untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Meski begitu banyak juga orang yang tidak mau susah dengan membuat jet pump untuk memudahkan keluarnya air. Permasalahan tidak berhenti sampai disitu, berdirinya pabrik-pabrik tekstil cukup menyedot sumber daya air di sekitar lokasi warga
Kebiasaan ini pun kami jalani dengan penuh semangat. Pagi-pagi sebelum kami berangkat sudah datang Pa Olih, sang pengantar air dengan 5 jeligen yang beliau angkut dengan alat dorong. Kalaupun kebutuhannnya sangat banyak bisa sampai 8 jeligen kami memesannya. Air yang kami terima itu, satu persatu dimasukan ke dalam tong besar untuk kebutuhan sehari-hari. Aktivitas ini kami lakukan bergantian dengan sang mertua, karena di rumah tidak ada lagi anak laki-laki. Meski begitu, mertua saya pun terlihat lelah ditambah dengan aktivitasnya di sebuah perusahaan tekstil yang tidak jauh dari tempat tinggal.
Pernah terbersit di benak adik saya, kenapa gak pindah saja ke Padalarang ? disana kan banyak air, lagian kondisi masyarakatnya enak.
Inilah sebuah keprihatinan kita, di saat sebagian orang banyak menghambur-hamburkan air, tapi masih banyak orang rela membeli air di negeri yang katanya serba berlimpah.
Usaha yang dilakukan masyarakat sudah kurang apa ? Beberpa waktu lalu telah mengajukan permintaan ini kepada pemerintah setempat. Namun, jawaban yang dilontarkan sangat menyakitkan. Mereka menjawab sudah terlambat untuk membuat saluran air. Padahal permintaan ini sudah jauh-jauh hari di sampaikan perwakilan warga.
Kita prihatin dengan kondisi masyarakat yang semakin terpuruk. Di satu sisi sebagian orang membelanjakan hartanya secara berlebihan, sisi lainnya orang berlomba-lomba antri hanya untuk membeli air yang merupakan sumber penghidupan kita.
Masyarakat kita termasuk di sejumlah beberapa negara tidak menyadari bahwa saat ini tengah terancam kesulitan air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Hadits riwayat Bukhari menjelaskan bahwa Rasulullah pernah membeli kurma dari Bani Nadhir dan menyimpannya untuk perbekalan setahun kebutuhan keluarga. Dalam hadits lain Rasulullah SAW menganjurkan menyimpan sebagian hartanya untuk kebaikan masa depan.
Banyak orang bekerja keras dan mendapatkan apa yang dia inginkan, tetapi dia tidak dapat mengendalikan dirinya. Hemat itu bukan sederhana, hemat itu menggunakan kesempatan sesuai keperluan. (fzyqn) 
Betul-betul Bayi Ajaib

Aku lahir pada tanggal 21 Maret tahun 1979. Si Bayi Ajaib, julukanku, karena menurut orang tua, ketika Yana lahir (demikian aku dipanggil), tidak menangis sama sekali. Hal itu sempat membuat panik seluruh anggota keluarga, khususnya kedua orang tuaku.
�Pak, Yana tidak seperti bayi pada umumnya, kenapa ya ?�tanya ibu kepada bapak.
Mereka berusaha membuat Yana menangis dengan cara mencubit dan memukul pantatku, namun usaha mereka tetap tak membuahkan hasil. Sempat mereka mengira Yana telah meninggal, tapi setelah jari telunjuk ibu didekatkan ke lubang hidung Yana, �Pak, anak bapak masih hidup !�
Aku ternyata masih bernafas. �Alhamdulillah,� bisik ibu.�Tapi kenapa dia tidak menangis,� Ibu masih terus bertanya kepada bapak.
�Sabar,sabar. Tabah, Ma. Mungkin anak kita ini mau dikasih anugerah oleh Allah,� jawab bapak ketika itu, sambil menghibur ibu tercinta.
Singkat cerita, Yana pun diurus, dirawat, dan dibesarkan, dan diberi kasih sayang. Yana adalah anak ketiga dari lima bersaudara : Dani Hamdani, Tanu Ruhimat, Toni Supriyadi dan Muhammad Lukman Permana. Sebenarnya, nama asliku adalah Dadan Rusmawan, tapi semua anggota keluargaku memanggil dengan panggilan : Yana.
Jauh, ya, dari Dadan ke Yana ? Nama itu asal-muasalnya dari nini dan aki. Menurut bibi dan paman, daripada menyakiti kedua orangtua ibu, lebih baik gunakan saja nama yana untuk panggilan. �Siapa tahu membawa hoki,�kata adik ibu, bibi Heni, kepada ibuku.
***
Pernah suatu sore, Ibu bercakap-cakap denganku.�Yan, waktu kamu bayi, kamu itu sehat dan montok. Hanya waktu bulan ke-5 dan ke-6, ibu mulai was-was, kenapa kamu tidak bisa berjalan.�katanya sambil terus mengurai rambutku.�Berat badan kamu cukup, tinggi badan kamu juga cukup,� ujarnya saat kami berbincang di teras rumah.
Saat itu usiaku baru sekitar enam tahun. Baru saja disunat. Ibu memang biasa memanjakan aku dengan cara seperti itu : mencari kutu di rambutku sambil berbincang-bincang di teras depan rumah. Selain itu, setiap hari ia membelikan aku coklat, sebatang beng-beng.
�Tapi saat bayi seusiamu belajar jalan, kamu tidak,�imbuh ibu dengan tersendat,� Heran, bingung, sedih, pokoknya campur aduk perasaan hati ini.� lanjut ibuku.
�Kalau lihat kakak-kakakmu normal (bisa jalan), kamu sedih nggak ?� tanya ibu. Aku menggeleng. Mungkin saat itu, aku belum mengerti. Tidak terbersit di dalam hati bahwa aku seorang difabel, sedikit berbeda dari anak-anak, saudara-saudaraku yang lain.
***
Aku menjalani masa kecil dengan teman sebaya, misalnya main kelereng di halaman rumah tetangga. Hal itu membahagiakan aku. Aku bermain mengunakan sepeda dorong anak, sekali-kali berjalan dengan berpegangan pada tembok, disamping merangkak.
Aku menjalaninya dengan senang dan bahagia pada waktu itu, apalagi aku dikenal sebagai jagonya main kelereng. Aku tidak begitu mempedulikan perbedaan antara diriku dengan teman-teman. Pada waktu itu, di hati dan pikiranku yang penting hanyalah keluarga dan teman-temanku, sayang kepadaku dan memperlakukan aku dengan baik.
Tidak dapat dipungkiri, sebenarnya ada saja yang mengolok-olokku dengan kalimat : yana cacat, yana lumpuh, yana teu bisa leumpang (tak bisa jalan) dan sebagainya. Semua cemoohan itu, aku acuhkan. �Biarlah anjing menggongong kafilah berlalu.�
***
Suatu ketika, waktu itu sore hari, sepulang dari bermain aku lewat ke daerah yang belum pernah kudatangi. Kebetulan hari itu aku bermain cukup jauh dari rumah.
Ketika aku sedang asyik mendorong sepeda kesayangan menuju rumah, dari sebuah rumah dengan pintu gerbang yang cukup megah dan luas, muncul seorang bocah yang tiba-tiba mengejek aku. Bocah itu mengeluarkan kata-kata kotor, dan ejekan yang memerahkan telinga. Saat itu jalanan sangat sepi. Bocah yang tampaknya orang kaya itu mengeluarkan kata-kata, seperti : pengkor, lumpuh, cacat, jalannya pakai sepeda butut.
Aku acuhkan semua kata-katanya, namun saat ia tak juga berhenti dan mulai menyinggung harga diri dan martabat kedua orangtuaku, aku jadi naik pitam. Katanya, orangtuaku dikutuk Tuhan, sehingga aku terlahir cacat. Orangtuaku dibenci Tuhan, sampai-sampai anaknya pengkor. Orangtuaku sering berbuat dosa, sehingga aku tak bisa jalan !
Karena tak tahan orangtuaku ikut dimaki-maki, akhirnya kuambil sebuah batu dan kulemparkan kearah dia. Anak itu membalas lemparan batu itu, dan terjadilah perang batu, dengan susah-payah aku berusaha menghindar.
Akhirnya, aku terkena juga lemparan batu. Setelah melihat aku berdarah, anak tersebut melarikan diri, lari ke dalam rumahnya dan bersembunyi. Dengan jidat bercucuran darah aku pulang ke rumah sambil menangis. Sampai di rumah, aku ceritakan kejadian yang baru kualami pada bapak dan ibu.
Bekas luka di jidatku masih ada sampai sekarang. Bekas luka itu selalu menyemangati aku, agar keadaanku ini jangan dijadikan suatu beban, bagi diriku, bagi orang lain. Malahan harus dijadikan kekuatan dan motivasi bagi orang lain. Kedifabelanku ini adalah anugerah, modal bagiku untuk masuk surga lebih cepat dibandingkan orang lain.
Sepenggal kisahku ini akan kukenang selalu, biarpun menyakitkan. Meski sakit, tapi disitulah harga diriku bangkit dan tumbuh, berkembang hingga sekarang. Karenanya aku tidak mau bermalas-malas atau bermanja-manja. Agar diriku berguna dan bermanfaat sama atau lebih dari mereka yang terlahir normal. Aku harus membuktikan, bahwa aku  betul-betul bayi ajaib !
Pendamping Sejati

Suatu hari, seorang ibu dan anaknya menaiki bus yang aku tumpangi. Sebenarnya, aku tidak berharap mereka mengambil posisi duduk di sebelahku. Entah mengapa, aku merasa �agak terganggu� jika yang menjadi teman dudukku mereka berdua. Hatiku beralasan bahwa aku masih ingin menikmati sisa bacaan tadi pagi. Tapi bus ini milik umum, siapa saja bisa duduk dimana yang dia inginkan, asalkan membayar sesuai ketentuan. Tentunya bukan kesalahan mereka jika akhirnya mereka mengambil duduk tepat disebelahku.
Anak laki-laki yang duduk disebelahku berusia kurang lebih 20 tahun, badannya sangat gemuk, rambutnya agak berantakan, kancing kemejanya tidak terkunci dengan sempurna.
Dari awal ia duduk, aku menangkap ada keanehan dari tingkah lakunya. Mengapa anak sebesar itu masih diberi komando oleh ibunya untuk duduk dengan baik. Ibunya melihat posisi duduk anaknya mengangguku, karena agak menyenderkan badan besarnya ke bahuku.
Dengan agak malu, ibu tersebut merangkul anaknya agar bisa duduk dengan baik. Sepertinya perkembangan mental anak ini agak terlambat. Aku mencoba menerka dan sedikit waspada jika tiba � tiba nanti dia bertindak aneh kepadaku. �Dalam bus umum, berbagai kemungkinan buruk sangat mungkin terjadi,� begitu hatiku berbisik.
Di separuh perjalanan, anak laki � laki itu tiba-tiba kejang, dan mengeluarkan suara seperti mengerang. Matanya terbelalak !! Hi.........mulutnya penuh dengan (maaf) muntah.
Si ibu terlihat panik, punggung anaknya dipukul perlahan agar bisa mengeluarkan sisa muntahannya. Sementara kakiku terpaksa mendekat ke dinding bus, untuk menghindari tetesannya.
Sang ibu tampak sekuat tenaga memegang badan anaknya yang mulai menyender sepenuh badan ke arahku. Namun aku berusaha sekuat tenaga memberinya senyum, berusaha menyampaikan pesan bahwa aku tidak merasa terganggu dan aku mengerti dengan kondisinya.
Melalui belaian tangan yang menyiratkan sayang, dia masih merangkul anaknya, tangan kanannya masuk ke mulut anaknya, dan mengeluarkan (maaf) muntah melalui tangannya. Tidak ada rasa jijik sama sekali. Yang ada, mungkin hanya rasa canggung, karena ini terjadi di depan umum, ditengah orang � orang yang tidak tahu persis dengan kondisi dan kesulitan mereka.
Melihat kasih sayang ibu tersebut, pemandangan itu menjadi tidak menjijikan lagi, dan aku sudah tidak mengambil jarak lagi. Kemudian aku berikan sebungkus tissue yang masih utuh. Sang ibu dengan gembira menerimanya. Seusai menyeka mulut buah hatinya, diusapnya kening sang anak yang mulai terlihat lunglai. Beliau masih memeluk dengan erat, tanpa perduli seberapa berat badan anaknya, dan seberapa besar �perhatian� penumpang lain kepada mereka.
Mereka berdua, sungguh memiliki cinta yang sulit kita mengerti. Mereka mempunyai rasa sayang yang tak berbatas. Sama seperti ibu kita. Ya....., sama seperti ibu kita, sebagai pendamping sejati kita. Dalam kesulitan apa pun dan terhalang jarak begitu jauh, ibu masih mendampingi kita dengan untaian doa penuh makna dan sepenuh harap.
Satu pelajaran semoga bisa ditarik dari kejadian ini. Jika kita bisa memperhatikan orang lain dengan persfektif berbeda, melalui empati yang bisa kita tanam setiap hari di setiap kejadian, maka Insya Allah kita akan mendapat tambahan kekayaaan batin atau vitamin hati.
Ibu tadi tengah berada dalam kesulitan membawa anaknya dalam kendaraan umum, namun kasih sayang ibu tidak bisa kita ukur dalam satuan manapun. Beliau memberikan kasih sayang secara tuntas dalam kondisi apapun. Satu hal lagi, bahwa berbuat baik bisa dimulai dari hal yang kecil Penerimaan kita terhadap kondisi mereka ternyata dapat pula memberikan rasa nyaman kepada mereka. Apa jadinya jika kita bermuka masam menghadapi kejadian tersebut ? Mungkin si ibu malah akan bertambah gugup dan semakin panik dan membuat sang ibu tidak leluasa memberikan pertolongannya.
Semoga, mereka diberi kemudahan Allah dalam menjalankan aktifitasnya.