Termasuk
sifat Al-Qur`an adalah Al-Matsani. Artinya, Al-Qur`an adalah kitab yang
menyebutkan sesuatu dengan pasangannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan:
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling
baik (yaitu) Al-Qur`an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang,
gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi
tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah,
dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang
disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya.”
(Az-Zumar: 23)
Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu menyatakan, ﭮ artinya diulang-ulang padanya cerita dan hukum-hukum, janji
dan ancaman, sifat-sifat orang yang baik dan orang yang jelek. Diulang-ulang
padanya nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ini termasuk bukti keagungan Al-Qur`an dan
keindahannya. Karena, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui kebutuhan
makhluk-Nya terhadap Al-Qur`an yang akan menyucikan hati serta menyempurnakan
akhlak, dan bahwasanya makna-makna itu bagi hati bagaikan air bagi tanaman.
Maka sebagaimana tanaman (pohon), ketika lama tidak disirami, ia akan layu
bahkan mungkin mati. Sedangkan manakala selalu disirami maka dia akan baik dan
berbuah dengan berbagai macam buah yang bermanfaat. Demikian pula hati. Ia
selalu memerlukan pengulangan makna-makna Kalamullah. Seandainya suatu makna
dari Al-Qur`an hanya disampaikan sekali pada seluruh Al-Qur`an, maka tidak akan
tepat sasaran dan tidak akan membuahkan hasil.
Ibnu
Katsir rahimahullahu berkata: “Adh-Dhahhak berkata: ﭮ, yaitu mengulang
kata-kata agar mereka paham dari Allah tabaraka wata’ala. Abdurrahman bin Zaid
bin Aslam berkata: ﭮ, yang diulang-ulang. Telah diulang-ulang kisah Nabi Musa,
Hud, dan nabi-nabi yang lain, ‘alaihimussalam.”
Kemudian
Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan: “Diriwayatkan dari Sufyan bin ‘Uyainah
bahwa makna ﭮ adalah menyebutkan sesuatu dan lawannya (kebalikannya).
Seperti menyebutkan orang-orang mukmin kemudian orang-orang kafir, menyebutkan
sifat surga kemudian sifat neraka.”
Jadi
dengan diulang-ulang beberapa kali dan disebutkannya sesuatu bersama
kebalikannya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan agar kita paham apa yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki dari kita, para hamba-Nya. Sebagaimana
dikatakan:
“Dan dengan kebalikannya, sesuatu dapat dibedakan.”
Dalam masalah musik pun demikian. Allah Subhanahu wa Ta’ala jelaskan bagaimana jalan orang-orang yang baik, berakal, dan beruntung. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjelaskan bagaimana jalan orang-orang yang dzalim dan sesat, serta yang akan menyesal pada hari kiamat nanti. Mari kita simak paparan Al-Qur`an dalam hal ini, semoga menjadi ibrah bagi kita.
Dalam masalah musik pun demikian. Allah Subhanahu wa Ta’ala jelaskan bagaimana jalan orang-orang yang baik, berakal, dan beruntung. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjelaskan bagaimana jalan orang-orang yang dzalim dan sesat, serta yang akan menyesal pada hari kiamat nanti. Mari kita simak paparan Al-Qur`an dalam hal ini, semoga menjadi ibrah bagi kita.
Orang
yang Baik, Berakal, dan Beruntung
- Orang-orang cerdik (ulul albab) selalu berdzikir
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“(Yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): ‘Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha
Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’.” (Ali-Imaran: 191)
Al-Imam
Al-Baghawi rahimahullahu mengatakan: “Seluruh ahli tafsir berkata bahwa yang
dimaksud dengan ayat tersebut adalah terus menerus berdzikir, dalam semua
keadaan, karena manusia tidak akan lepas dari tiga keadaan ini.”
Asy-Syaikh
As-Sa’di rahimahullahu mengatakan, ini mencakup seluruh dzikir dengan perkataan
dan hati. Termasuk di dalamnya shalat dengan berdiri, kalau tidak mampu dengan
duduk, kalau tidak mampu maka dengan berbaring.
Maka
pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjukkan kepada kita jalan orang
yang baik dan beruntung. Yaitu, mereka selalu berdzikir, memanfaatkan waktu
mereka dalam perkara-perkara yang bermanfaat, baik, dan mendatangkan pahala.
Mereka adalah orang-orang yang bakhil terhadap waktunya. Tidak ingin waktunya
terbuang sia-sia.
2.
Orang-orang beriman tenang hati mereka dan tentram dengan berdzikir
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“(Yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.”
(Ar-Ra’d: 28)
Asy-Syaikh
As-Sa’di rahimahullahu menyatakan, “Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan sifat
orang-orang beriman, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan:
“Orang-orang
yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah.”
Maksudnya,
akan hilang gundah gulana dan kegoncangannya, serta akan datang kebahagiaan dan
ketentramannya.
“Ingatlah,
hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.”
Maka lebih pantas baginya untuk tidak tentram dengan sesuatu selain mengingat-Nya. Karena tidak ada sesuatu yang lebih lezat, lebih disukai, dan lebih manis bagi hati daripada kecintaan kepada Penciptanya.
Maka lebih pantas baginya untuk tidak tentram dengan sesuatu selain mengingat-Nya. Karena tidak ada sesuatu yang lebih lezat, lebih disukai, dan lebih manis bagi hati daripada kecintaan kepada Penciptanya.
3. Orang
yang beruntung adalah orang yang menjauhi perbuatan sia-sia yang tidak berguna
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:
“Telah beruntung orang-orang yang beriman.
(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya. Dan orang-orang yang
menjauhkan diri dari perbuatan yang sia-sia.” (Al-Mu`minun: 1-3)
Maknaﭞ telah dijelaskan oleh para ulama.
Maknaﭞ telah dijelaskan oleh para ulama.
Al-Imam
Asy-Syaukani rahimahullahu dalam tafsirnya mengatakan: “Az-Zajjaj berkata, ﭞ adalah semua kebatilan, perkara sia-sia dan tidak serius,
kemaksiatan, serta segala perbuatan dan ucapan yang tidak baik.” Adh-Dhahhak mengatakan, “Sesungguhnya ﭞ di sini maknanya adalah kesyirikan.” Al-Hasan Al-Bashri
rahimahullahu berkata: “Ia (ﭞ) adalah seluruh kemaksiatan.”
Makna ﭟ (berpaling darinya) adalah menjauhi dan tidak melirik
kepadanya.
Inilah
beberapa sifat dan kriteria orang-orang yang beriman. Mereka selalu menjaga
waktu dan berupaya untuk memanfaatkannya untuk perkara yang membawa maslahat,
baik untuk urusan duniawi maupun ukhrawi. Mereka selalu berdzikir dengan
membaca Al-Qur`an atau dzikir-dzikir yang diajarkan oleh Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mencari ketenangan dan ketentraman dengan
ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka pantas sekali bila mereka
menjadi orang yang beruntung di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Orang-Orang
yang Tidak Terbimbing
Adapun orang-orang yang tidak terbimbing ke jalan yang benar, mereka menjauh dari dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan larut dalam godaan-godaan setan. Bahkan mereka membeli perkataan sia-sia tersebut serta rela membayarnya dengan harga mahal. Hal ini akan menjadi penyesalan mereka pada hari kiamat nanti. Tapi sayang, penyesalan pada hari itu tiada berguna. Bila mereka di dunia ini mencari kesenangan dan ketenangan hati dengan cara-cara seperti itu, maka ini adalah hal yang kontradiktif. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan:
Adapun orang-orang yang tidak terbimbing ke jalan yang benar, mereka menjauh dari dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan larut dalam godaan-godaan setan. Bahkan mereka membeli perkataan sia-sia tersebut serta rela membayarnya dengan harga mahal. Hal ini akan menjadi penyesalan mereka pada hari kiamat nanti. Tapi sayang, penyesalan pada hari itu tiada berguna. Bila mereka di dunia ini mencari kesenangan dan ketenangan hati dengan cara-cara seperti itu, maka ini adalah hal yang kontradiktif. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan:
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku,
maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit….” (Thaha: 124)
Kalimat ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ (berpaling dari peringatan-Ku), dijelaskan Ibnu Katsir rahimahullahu, artinya adalah: “Menyelisihi perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, menjauh darinya, dan pura-pura lupa, dan ia justru mengambil bimbingan dari yang lain.”
Kalimat ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ (berpaling dari peringatan-Ku), dijelaskan Ibnu Katsir rahimahullahu, artinya adalah: “Menyelisihi perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, menjauh darinya, dan pura-pura lupa, dan ia justru mengambil bimbingan dari yang lain.”
Jadi,
orang yang mendengarkan musik dan lagu-lagu, berarti ia telah berpaling dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarangnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah melarangnya.
Adapun ﯹ ﯺ (penghidupan yang sempit), para ahli tafsir berbeda
pendapat tentangnya. Ada yang menafsirkan bahwa adalah kehidupan yang sempit,
seperti dinukil dari Ibnu ‘Abbas c. Ada juga yang menyatakan bahwa maknanya
adalah amalan dan rizki yang jelek, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir dari
Adh-Dhahhak, ‘Ikrimah, dan Malik bin Dinar. Ada pula yang mengatakan bahwa
maksudnya adalah adzab kubur. Ini dinukil dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu
‘anhu, bahkan ada yang mengatakan bahwa (pendapat) ini marfu’ sampai kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Bazzar
rahimahullahu meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hujairah, dari Abu
Hurairah, dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada perkataan
Allah Subhanahu wa Ta’ala ﯺ (yang sempit), beliau menjelaskan: “Kehidupan yang sempit
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala katakan adalah bahwa orang tersebut akan disiksa
dengan 99 ekor ular yang memakan dagingnya sampai hari kiamat.” Riwayat ini
dikuatkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani t.
Al-Bazzar
rahimahullahu juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Salamah, dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau menyatakan adalah adzab kubur. Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan
sanad hadits ini hasan.
Kaidah tafsir menyatakan: “Manakala ada penafsiran yang banyak dan tidak bertolak belakang, serta bisa dicakup oleh suatu ayat, maka ayat itu dibawa kepada semua makna yang ada.”
Kaidah tafsir menyatakan: “Manakala ada penafsiran yang banyak dan tidak bertolak belakang, serta bisa dicakup oleh suatu ayat, maka ayat itu dibawa kepada semua makna yang ada.”
Walhasil,
Ibnu Katsir rahimahullahu menyimpulkan bahwa tidak ada ketenangan dan
kelapangan dada bagi orang yang menjauh dari syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Orang
yang Menjauh dari Dzikir akan Ditemani Setan yang Menyesatkannya
Termasuk
hukuman yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan atas orang yang menjauh dari
dzikir –dan orang yang senang dengan lagu dan musik termasuk dalam hal ini–
adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengirim setan dan membiarkannya
menyesatkan orang tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran
Dzat Yang Maha Pemurah (Al-Qur`an), Kami adakan baginya setan (yang
menyesatkan), maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.”
(Az-Zukhruf: 36)
Asy-Syaikh
As-Sa’di rahimahullahu mengatakan, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan
tentang hukuman yang keras bagi orang yang berpaling dari peringatan-Nya. Maka
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan: ﭦ ﭧ artinya, “dan
barangsiapa yang berpaling dan menghalangi”, ﭨ ﭩ ﭪ yaitu Al-Qur`an yang agung, yang merupakan nikmat yang
terbesar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya. Maka, siapa yang
menerimanya berarti dia telah menerima pemberian yang terbaik, dan beruntung
mendapatkan hasil yang terbesar. Sebaliknya, siapa yang menjauh darinya atau menolaknya,
maka dia telah gagal dan merugi, serta tidak akan berbahagia selamanya.
Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan kirimkan kepadanya setan yang
membangkang untuk menemani dan menyertainya, memberikan janji-janji dan
angan-angan, serta mendorongnya berbuat maksiat. Semoga Allah Subhanahu wa
Ta’ala menjauhkan kita dari hal ini.
Dari
paparan Al-Qur`an yang sangat jelas tadi, orang yang berakal tentunya akan
memilih perkara yang jelas membawa manfaat, yaitu selalu berdzikir, membaca
Al-Qur`an, dan mengamalkan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik shalat
maupun yang lain, yang akan menentramkan hati dan membawa kebahagiaan ukhrawi.
Dia juga akan berusaha keras meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala, Dzat yang telah menciptakannya, meskipun perkara ini telah
mendarah daging pada dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membimbing kita
kepada jalan yang benar sebagaimana telah ditegaskan:
“Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-‘Ankabut: 69)
Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah memberikan motivasi, bahwa
ketika semakin besar kesulitan yang dihadapi seseorang dalam suatu perkara,
maka balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala juga lebih besar. Diriwayatkan dari
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Sesungguhnya
besarnya balasan tergantung besarnya cobaan.” (HR. At-Tirmidzi, Kitab Az-Zuhd,
no. 57, Ibnu Majah, Kitabul Fitan, no. 23. At-Tirmidzi mengatakan: “Hadits
hasan gharib.” Hadits ini dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’,
no. 110)
Wallahu a’lam.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar sahabat sangat membantu untuk perkembangan di blogs kami
berikanlah komentar yang membangun