22 Mar 2012

Kreativitas dan Inovasi dalam Memajukan Sekolah



Kreativitas dan Inovasi dalam Memajukan Sekolah

Pendahuluan
Sistem dan program pendidikan di seluruh tingkatan, secara umum sudah membutuhkan revolusi alias perlu diubah total. Di berbagai jenis dan jenjang pendidikan, kini sekolah cenderung tidak terarah karena kurikulum yang tidak serasi. Proses pembelajaran pun tidak kreatif dan tidak mendorong kreativitas anak didik. Di sisi lain, pengelolaan dalam materi pembelajaran kerap tumpang tindih sehingga mematikan prakarsa pelajar. Kemampuan guru-guru di bidang pedagogik, didaktik dan metodik juga sangat kurang, sehingga acapkali guru sama sekali tidak mempedulikan pengembangan kepribadian dan watak anak didiknya.

Pendidikan di Indonesia makin materialistis. Pendidikan kita juga terperangkap dalam keyakinan keliru, seolah-olah makin banyak mata ajaran yang dikuasai semakin terdidik seseorang. Kenyataan itu merupakan materialisme dikdaktis yang harus segera dihentikan. Lebih ironis lagi, pendidikan yang materialistis itu bersifat komersial. Tak berlebihan bila istilah penyelenggara sekolah kini sudah dapat diubah menjadi pengusaha sekolah.

Pendidikan memang membutuhkan biaya besar, tetapi biaya itu tidak perlu seluruhnya dibebankan kepada murid (orang tua/wali). Pemerintah sebagai pengayom masyarakat harus menjalankan asas subsidiaritas. Jika tidak, makin banyak anak jalanan, anak fakir miskin, anak telantar. Kecen-derungan itu tidak boleh diabaikan oleh masyarakat dan pemerintah.

Sebaiknya pendidikan dan persekolahan wajib dibebaskan dari etatisme (pengaruh dan pengaturan pemerintah yang berlebihan). Pendidikan juga perlu dibebaskan dari sentralisme (penyeragaman). Harus ada variasi kurikulum, serta dikembangkan otonomi pengelolaan pendidikan di berbagai kawasan. Otoritas ini memiliki wewenang penuh untuk mengatur pendidikan di wilayahnya.
Persepsi Keliru tentang Pendidikan

Ada tiga persepsi yang kurang benar tentang pendidikan. Pertama, pendidikan hanya terjadi di sekolah. Kedua, tugas sekolah ialah mengajarkan pengetahuan. Ketiga, sekolah harus membuat siswa menjadi “manusia siap pakai”.

Akibat negatif dari kesalahan pertama, pengetahuan tentang pendidikan keluarga tidak berkembang. Sistem pendidikan nonformal tidak berkembang dan kemampuan bangsa untuk belajar dari situasi pendidikan nonformal menjadi rendah.

Sedangkan dampak kesalahan kedua, kemampuan siswa yang rendah untuk mempergunakan pengetahuan sebagai alat berpikir dan alat untuk memahami serta memecahkan masalah. Kepekaan siswa terhadap nilai-nilai terhadap norma juga sangat rendah, baik norma estetis maupun norma synnoetis (norma kehidupan sosial), atau pun norma etis.

Kesalahan ketiga berakibat lulusan sekolah tidak cukup menguasai konsep-konsep dasar. Mereka terpaku kepada keterampilan yang bersifat terapan. Selain itu, tenaga kerja menjadi kurang retrainable. Persepsi yang sebaiknya, adalah bahwa pendidikan terjadi sebelum anak masuk sekolah dan sesudah anak tamat sekolah. Sekolah hanya suatu mata rantai dari suatu kegiatan nyata pendidikan yang luas, dinamis dan saling ber-sambungan. Tugas sekolah ialah mempersiapkan anak untuk mengarungi kehidupan, bukan hanya membuat siswa menjadi siap pakai. Untuk itu, tugas pokok sekolah bukan sekadar mengajarkan pengetahuan, melainkan me-mupuk kepekaan terhadap nilai-nilai.

Konsekuensinya, sekolah harus tahu jenis pendidikan yang telah dilalui anak di keluarga dan menilainya sejauh mana pendidikan keluarga itu dapat dipergunakan sebagai landasan untuk menyusun program pendidikan sekolah. Sekolah juga harus membimbing anak untuk menguasai kemampuan belajar, baik untuk situasi pendidikan formal, maupun situasi pendidikan nonformal dan informal. Tugas sekolah adalah melahirkan generasi yang menjadi bagian dari bangsa yang pandai belajar.

Kurikulum Padat, Kreativitas Anak Terabaikan
Para guru sebenarnya menyadari bahwa pelajaran yang memberi kesempatan mengembangkan kreativitas, sangat dibutuhkan anak. Akan tetapi mereka umumnya tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana mengatasi keadaan itu. Kesulitan mereka terutama karena padatnya kurikulum pendidikan sehingga kreativitas anak terabaikan.
Fakta menunjukkan minimnya waktu dan pelajaran yang bersifat untuk mengembangkan kreativitas pada sekolah formal, padahal di sisi lain menurut upaya memunculkan pribadi kreatif sangat dibutuhkan bagi anak dalam kehidupannya. Dengan demikian, para guru memiliki kesulitan bagaimana menanamkan dan menumbuhkan jiwa kreativitas kepada anak.

Diperlukan adanya pelatihan bagi guru dan penerbitan buku mengenai kreativitas, sebab guru pun membutuhkan tuntunan. Beberapa sekolah yang secara finansial memadai kini memang sudah mempunyai tenaga psikolog sosial dan lainnya, tetapi psikolog pendidikan belum ada, yang mendampingi para guru dan khususnya guru Bimbingan Konseling dalam membina siswa di sekolah. Namun sekolah-sekolah lainnya belum mampu ke arah rekruitmen seperti itu.

Dapat mengerti betapa sulitnya posisi guru, karena kurikulum pendidikan dasar dan menengah saat ini memang sangat luas. Tentu mereka tak memiliki waktu lagi untuk mengasah kreativitas siswa. Selain waktu, kreativitas membutuhkan ruang. “Bagaimana mungkin bisa dilakukan guru jika di ruang kelas diisi 40 atau lebih anak?”

Hargai Perbedaan

Untuk bisa menanamkan kreativitas pada siswa, mestinya kurikulum memfokuskan pada hal dasar dan esensial, sehingga cukup waktu untuk mengasah kreativitas. Di luar itu harus pula diperhatikan, harus ada kurikulum yang berbeda karena anak memiliki perbedaan bakat dan minat.

Terdapat jalan agar siswa mendapat kesempatan mengasah daya kreativitasnya, yakni dengan meluangkan waktu untuk keperluan itu. Anak-anak jangan didesak untuk menerima hafalan yang sebenarnya tak menambah kecerdasannya. Dalam memberikan soal hendaknya jangan memberi peluang untuk satu jawaban saja. Guru dapat membuat pertanyaan yang menuntut pemikiran banyak gagasan dan janganlah membuat semuanya serba seragam, karena setiap anak memiliki pribadi berbeda. Upaya itu akan menumbuhkan hasil berupa kelancaran dalam berpikir.

Selanjutnya, faktor originalitas yang bisa dilakukan oleh guru dengan cara lebih luwes dalam menghargai gagasan unik, bahkan mendorong mereka mengutarakan pendapat lain dari yang lain. Terakhir, perlu elaborasi dengan memperkaya gagasan dengan uraian lebih rinci.

Empat unsur di atas sebaiknya masuk kurikulum sebab hal-hal itu yang menjadi dasar-dasar kreativitas. Selain berpikir kreatif, perlu pula bersikap kreatif dengan merangsang anak membuat sesuatu yang baru, membuat sesuatu yang imajinatif.

Pendidikan Wadah Pemberdayaan Civil Society

Di mata penulis, pendidikan dalam arti yang luas memegang peranan yang sangat strategis bagi setiap masyarakat dan kebudayaan. Bahkan kualitas suatu bangsa dapat diukur dari sejauh mana kualitas pendidikan yang diberlakukan. Jelaslah bangsa yang mempunyai pendidikan yang berkualitas akan mampu pula menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas secara menyeluruh. Lebih lanjut penulis mengatakan, pendidikan tidak hanya sebagai wadah bagi penyiapan SDM bermutu, melainkan juga menjadi wadah bagi pemberdayaan masyarakat warga.

Di mana letak peranan pendidikan sebagai wadah pemberdayaan masyarakat madani itu? Pendidikan dalam masyarakat madani Indonesia tidak lain ialah proses pendidikan yang mengakui hak-hak serta kewajiban perorangan dalam masyarakat. Sebab, dalam suatu masyarakat yang demokratis, hak-hak dan kewajiban merupakan batu landasan dari masyarakat. Masyarakat demokrasi hanya ada apabila hak-hak dan kewajiban warga negaranya diakui, dikembangkan dan dihormati.

Sudah barang tentu proses pendidikan dalam masyarakat demokratis mengakui adanya identitas masyarakat atau bangsa yang berbudaya. Dan pengembangan pribadi di dalam masyarakat yang berbudaya, baik lokal maupun nasional tidak terelakkan lagi dalam kehidupan global abad ke-21.

Di benak penulis, dalam interaksi antara perkembangan kepribadian dengan kebudayaannya, proses pengembangan pribadi manusia lebih mendasar, karena bukan sekadar menyerap unsur-unsur kebudayaan secara pasif, tetapi manusia itu merupakan makhluk yang dinamis. Dinamisme kepribadian di dalam cipta, karsa, dan rasa secara keseluruhan merupakan sumber bagi perkembangan masyarakat warga. Di dalam proses yang dinamis itu terjadilah proses hominisasi dan proses humanisasi yang justru menjadi titik pijak bagi pemberdayaan civil society.

Apa yang diperlukan dalam membangun masyarakat madani Indonesia melalui pendidikan? Penulis mengatakan, untuk mengupayakan civil society, beberapa paradigma baru dalam pendidikan diperlukan. Paradigma baru itu adalah pendidikan, dari, oleh, dan bersama-sama masyarakat.

Pendidikan dari masyarakat artinya pendidikan haruslah mampu memberikan jawaban kepada kebutuhan masyarakat itu. Jadi, pendidikan bukan dituangkan dari atas, dari kepentingan pemerintah semata-mata, apalagi dari penguasa; tetapi pendidikan yang tumbuh dari masyarakat itu sendiri dengan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat itu sendiri.

Pendidikan oleh masyarakat artinya bahwa masyarakat bukanlah merupakan obyek pendidikan untuk melaksanakan kemauan negara atau suatu kelompok semata-mata tetapi partisipasi yang aktif dari masyarakat di mana masyarakat mempunyai peranan di dalam setiap langkah program pendidikan. Hal ini berarti masyarakat bukan sekadar penerima belas kasih dari penguasa, tetapi suatu sistem yang percaya kepada kemampuan masyarakat untuk bertanggung jawab atas pendidikan generasi mudanya.

Terkait dengan itu, pendidikan juga harus bersama-sama masyarakat, artinya, masyarakat diikutsertakan di dalam program-program pemerintah yang telah mendapatkan persetujuan masyarakat karena lahir dari kebutuhan nyata masyarakat itu sendiri. Jadi, masyarakat bukan disubordinasikan oleh pemerintah.

Selain paradigma tersebut, pendidikan harus didasarkan pada kebudayaan nasional yang bertumpu pada kebudayaan lokal. Kebudayaan Nusantara yang merupakan silang budaya antarbangsa telah menampung unsur-unsur terbaik dari budaya luar dan menghasilkan kebudayaan Nusantara.

Unsur-unsur budaya lokal itu seharusnya dikaji dan dikembangkan dalam pendidikan sehingga dapat memberikan sumbangan besar bagi terwujudnya masyarakat madani yang berdaya. Di sini tugas pendidikan nasional bukan hanya sekadar menghayati dan mengembangkan kebudayaan lokal tetapi juga ikut membangun kebudayaan nasional itu.
Paradigma berikut adalah proses pendidikan mencakup proses hominisasi dan proses humanisasi. Pendidikan dalam pengertian ini perlu dijadikan upaya mengembangkan manusia sebagai makhluk hidup, dan makhluk yang mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri maupun terhadap kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesempatan untuk belajar bertanggung jawab mengenal dan menghayati serta melaksanakan nilai-nilai moral perlu ditumbuhkembangkan dalam pendidikan. Terkait dengan itu relevanlah budaya demokrasi dihidupkan dalam seluruh proses belajar mengajar. Dengan budaya seperti itu jiwa demokrasi akan tumbuh dan berkembang secara baik.

Selain tiga paradigma di atas, desentralisasi manajemen pendidikan menjadi keharusan demi pemberdayaan masyarakat warga. Penulis menganalisis bahwa kesalahan yang terjadi dalam pemerintahan Orde Baru adalah pemberlakuan sistem dan praksis pendidikan nasional yang sifatnya sentralistik.

Model seperti itu sama sekali tidak bisa mengembangkan dan menumbuhkan potensi-potensi yang ada di dalam masyarakat, khususnya pengelola pendidikan. Dengan kata lain, sentralistik justru bertentangan dengan hakikat masyarakat madani. Atau tegasnya, hal itu memperlihatkan ketidakpercayaan pemerintah pada kemampuan rakyat sendiri.

Kini sudah waktunya memberlakukan sistem desentralisasi manajemen dalam pendidikan. Ini penting, karena desentralisasi memiliki sejumlah dampak positif, antara lain mengembangkan kebudayaan lokal, mengem-bangkan kebudayaan nasional sebagai benteng pertahanan menyaring pengaruh-pengaruh kebudayaan global yang negatif, serta akan mampu mengembangkan inisiatif untuk bereksperimen dan bersaing dalam pengembangan mutu pendidikan nasional menghadapi persaingan global, serta akan meningkatkan peran masyarakat swasta untuk mengembangkan ciri khasnya sebagai sumbangan bagi pemberdayaan civil society.

Dapat disimpulkan bahwa pendidikan, kebudayaan, dan masyarakat warga merupakan elemen-elemen yang terkait dalam tatanan kehidupan bersama. Perhatian yang seimbang atas ketiga unsur itu dalam praksis pendidikan akan mampu menumbuhkan orang-orang yang berdaya dalam masyarakat.

Penutup
Semakin jelas kini betapa persoalan terberat bangsa Indonesia adalah ketiadaan lembaga kemasyarakatan (society institution) yang real. Pada banyak realitas sosial, hegemoni state seperti gurita yang terus saja membelit kehidupan warga masyarakat. Hal tersebut berlangsung pada berbagai aspek dan level kehidupan, termasuk tentu saja dunia persekolahan kita.

Overlapping peran dan fungsi kemasyarakatan—sebut saja eksekutif yang merangkap rakyat kebanyakan—dalam dunia persekolahan kita semakin menjadi ruwet dan terkesan sebagai sebuah kelaziman yang tidak aneh. Lihat saja pengurus BP3 berbaju ”Komite Sekolah” yang masih tetap menjadi ‘kaki tangan’ sang raja kecil yang bernama Kepala Sekolah. Simak pula LSM Persatuan Orangtua Murid Indonesia yang ‘pentolan-pentolan’-nya justru eksekutif di dunia pendidikan (baca= persekolahan). Bukankah orangtua murid itu identik dengan warga masyarakat? Mengapa LSM Persatuan Orangtua Murid Indonesia tidak digawangi oleh the real orangtua murid?

Sementara itu gaung School Based Management ataupun School Council hanya menjadi gincu kosmetika persekolahan belaka. Padahal dari sinilah segala problematika pendidikan dan persekolahan sekaligus solusinya bersemi.

Kejujuran dan keseriusan semua pihak dalam menyongsong era baru dunia pendidikan formal kita dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang berbasis Kompetensi, akan menjadi titik krusial mengatasi berbagai problema kemandulan kreativitas dan inovasi yang seharusnya bersemi dari balik dinding sekolah.

Sebuah institusi sekolah akan mampu mengembangkan kreativitas dan inovasi siswa bila berbagai aspek, dan berbagai lini manajerial sekolah dijalankan sesuai dengan semangat atmosfer filosofis pendidikan yang membebaskan. Dalam arti, secara praktis Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan akan bernasib sama dengan Kurikulum yang sebelumnya bila manajemen pendidikan yang dilaksanakan di setiap unit kerja atau sekolah masih dikungkung oleh model kepemimpinan kepala sekolah yang monolitik, soliter dan jauh dari prinsip-prinsip kreatif dan inovatif.

Memajukan sekolah dengan kemandirian

Dunia pendidikan di tanah air terus berbenah. Seolah ingin berlari cepat mengejar segala bentuk ketertinggalan dibanding dengan pendidikan di negara-negara mapan dan maju. Kebutuhan dan pentingnya pendidikan di negeri ini juga telah menjadi kesadaran dan kebutuhan bersama. Seluruh komponen bangsa didukung pemerintah telah berusaha mewujudkan pendidikan Indonesia yang berkualitas dan mampu menciptakan lulusan yang mumpuni.

Berbagai reformasi kebijakan juga sudah dilakukan, mulai ditetapkannya anggaran pendidikan 20 persen dari APBN, dilegalkannya Undang-Undang Sisdiknas, pemberlakuan standarisasi sistem pendidikan (BSNP), peningkatan kualitas mutu peserta didik melalui ujian nasional, pembenahan kurikulum, hingga bantuan fisik dan finansial yang digelontorkan pemerintah kepada lembaga pendidikan. Semua upaya tersebut dalam rangka pemajuan pendidikan Indonesia dengan tujuan pencerdasan anak bangsa.

Seiring dengan perkembangan global, pemerintah berharap agar pendidikan di Indonesia kelak dapat berdiri sepadan dengan lembaga-lembaga pendidikan internasional, atau yang akhir-akhir ini kita kenal dengan sekolah bertaraf internasional (SBI). Guna menuju ke sana, pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional berusaha menciptakan iklim pendidikan yang kompetitif, dengan tujuan adanya kompetisi perlombaan mejadikan lembaga pendidikan lebih maju dan progresif. Lahirnya strata Sekolah Dasar Standar Nasional (SDSN) untuk jenjang SD, Sekolah Standar Nasional (SSN) untuk jenjang SMP dan SMA, serta program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah langkah-langkah pemerintah mewujudkan harapannya.

Namun, bagi sebagian besar pengamat pendidikan, langkah-langkah pemajuan pendidikan yang telah ditempuh pemerintah belum cukup apabila tidak diimbangi dengan kesungguhan lembaga pendidikan dalam mereformasi dirinya menjadi lembaga yang mandiri. Kemandirian lembaga-lembaga pendidikan merupakan sebuah keharusan agar dalam upaya meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan lembaga-lembaga tersebut, tidak hanya menunggu kebijakan dari pemerintah. Dengan kemandirian diharapkan lembaga pendidikan mampu menyediakan pelayanan pendidikan yang kreatif, inovatif, dan memenuhi harapan masyarakat.

Reformasi pendidikan memiliki bentuk konkret pada dimensi individu (guru dan siswa), dimensi sekolah, dimensi masyarakat atau makro. Sekolah mandiri salah satu bentuk konkret dari reformasi pendidikan pada dimensi sekolah. Yakni, suatu kebijakan yang menempatkan pengambilan keputusan pada mereka yang terlibat langsung pada proses pendidikan: kepala sekolah, guru, orang tua siswa dan masyarakat. Kebijakan ini akan membawa dampak, tidak saja pada manajemen sekolah, tetapi juga pada implementasi kurikulum dan proses belajar mengajar yang dilaksanakan. Sebab, tanpa ada perubahan pada proses belajar mengajar, apapun yang dilaksanakan di sekolah tidak akan banyak artinya. Perubahan juga tidak akan banyak artinya tanpa melibatkan aparat sekolah secara keseluruhan.

Sekolah mandiri tidak berarti tanpa kendali. Melainkan mandiri dalam konteks sistem-pendidikan nasional. Sekolah memiliki kemandirian dalam melaksanakan rekayasa untuk menjabarkan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara nasional, tanpa meninggalkan latar belakang dan karakteristik kondisi lokal setempat. Untuk itu, sekolah mandiri memiliki kultur, kebiasaan dan cara kerja baru yang berbeda dengan kebiasaan dan tata cara kerja sekolah dewasa ini. Kultur, kebiasaan-kebiasaan dan tata cara kerja baru ini akan mempengaruhi perilaku seluruh komponen sekolah: kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, dan siswa. Bahkan, dalam jangka panjang, kebiasaan dan tata cara kerja baru ini akan berpengaruh di kalangan orangtua siswa dan masyarakat. Kultur, kebiasaan, dan tata cara kerja baru tersebut antara lain: a) setiap sekolah memiliki visi dan misi, b) sekolah memiliki program yang mendasarkan pada data kuantitatif, c) sekolah merupakan sistem organik, d) sekolah memiliki kepemimpinan mandiri, e) sekolah memiliki program pemberdayaan bagi seluruh komponen sekolah, f) sekolah merupakan kegiatan pelayanan jasa dengan tujuan utama memberikan kepuasan maksimal bagi siswa, orangtua siswa dan masyarakat selaku konsumen, dan, g) sekolah mengembangkan "trust" (kepercayaan) sebagai landasan interaksi internal maupun eksternal seluruh warga sekolah.

Menurut Prof. Dr. H. Fasich, Apt., Rektor Universitas Airlangga Surabaya, sekolah mandiri adalah sekolah yang mampu mendorong dirinya untuk menjadi otonom. ”Maksudnya, lembaga pendidikan tersebut mampu menyelenggarakan seluruh pendidikannya sendiri, mulai dari kurikulum, pendanaan, rekruitmen (tenaga pendidik dan peserta didik), keuangan, sampai organisasinya,” jelas Wakil Bendahara PP Muhammadiyah tersebut. Sedangkan, menurut Prof. Dr. Ir. Eng. Imam Robandi, M.Eng., Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jawa Timur, kemandirian sekolah tidak hanya dalam masalah finansial, tetapi yang lebih dari itu adalah kemampuan sekolah dalam menyelesaikan permasalahan di internalnya melalui inisiatif sendiri. ”Setiap komponen dalam sekolah mandiri harus mempunyai inisiatif, karena ini merupakan kunci pokok,” tegas dosen ITS Surabaya tersebut. Lebih lanjut Imam menjelaskan, bahwa inisiatif dalam menyelesaikan permasalahan tidak hanya menjadi kewajiban pimpinan sekolah saja, tetapi, seluruh elemen sekolah, mulai pimpinan, guru, karyawan, bahkan sampai tukang kebersihan, sekuriti, dan tukang parkir harus mempunyai kemandirian dalam menyelesaikan pekerjaan dan tanggung jawabnya tanpa harus disuruh-suruh oleh pimpinan. ”Jadi, bukan seperti robot hanya menunggu instruksi dari pimpinan, kemudian baru jalan. Kalau itu terjadi pertumbuhan sekolah menjadi sangat rendah,” imbuhnya.

Sekolah mandiri tidak hanya diartikan dengan membentuk suatu lembaga di sekolah dengan wewenang tertentu seperti anggaran dan kurikulum. Dengan telah dibentuknya lembaga ini belum tentu sekolah sudah memahami tanggung jawab dan peran yang baru dalam mengelola sekolah, dan akan mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan singkat dikatakan, bahwa implementasi sekolah mandiri memerlukan suatu bentuk kesadaran baru dalam menjalankan roda organisasi sekolah. Kepala sekolah beserta guru harus memiliki otonomi dan otoritas yang memadai, dan instruksi serta petunjuk dari kantor pendidikan harus dikurangi. Sejalan dengan itu, berbagai sumber daya perlu disebarluaskan sampai pada dimensi sekolah. Seperti, informasi prestasi siswa dan kepuasan orangtua siswa serta masyarakat, serta sumber-sumber yang tersedia perlu disampaikan pada dimensi sekolah, sehingga sekolah memiliki pertimbangan yang jelas dalam menentukan kegiatan.

Prof. Imam Robandi kurang setuju apabila kemandirian diterjemahkan sebagai otonomi yang seluas-luasnya tanpa kontrol dan perhatian dari pemerintah. Dalam hal ini, tugas pemerintah tetap sama sebagaimana sebelumnya, yakni merumuskan kebijakan umum, membantu peningkatan kualitas lembaga pendidikan, serta memberikan bantuan sarana belajar dan finansial. Menurutnya, kemandirian sekolah juga akan sangat membantu mengurangi beban pemerintah. ”Itu namanya self tunning. Kalau setiap sekolah nanti sudah sangat mandiri, beban pemerintah menjadi ringan. Pemerintah hanya menjadi fasilitator dan bagi-bagi kebijakan,” urai mantan Ketua Ikwam SD Muhammadiyah 4 Pucang tersebut. Kebutuhan mewujudkan sekolah mandiri adalah agenda yang penting, mengingat pada ranah praktis banyak sekolah-sekolah yang sangat menggantungkan keberlangsungan lembaganya pada pemerintah.

Sedangkan, menurut Prof. Fasich, sekolah yang sudah mandiri tetap mengemban amanat pengembangan ilmu dan masa depan anak. Oleh karena itu, pendidikan tidak boleh didominasi oleh kepentingan kekinian. ”Kita bisa bayangkan jika pendidikan itu didominasi oleh kepentingan birokrasi dan kekinian, maka cita-cita untuk menjadikan anak-anak sebagai bagian dari masa depan akan sulit untuk dicapai,” jelas mantan Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur tersebut. Lebih lanjut, beliau menegaskan, bahwa sekolah tidak boleh terpengaruh kepentingan-kepentingan sesaat, termasuk politik. ”Anak-anak kita adalah anak masa depan. Oleh karenanya, kemandirian sangat penting untuk melihat sebuah proses pembelajaran yang diantisipasikan ke depan dan terbebas dari kepentingan-kepentingan saat ini,” pungkasnya

10 Cara meningkatkan prestasi di sekolah

Sekarang ini motivasi untuk belajar sedikit berkurang, sehingga menyebabkab penurunan prestasi di sekolah, nah mungkin kiat-kiat dibawah ini bisa membantu kamu yang sedang mengalami penurunan motivasi belajar, semoga bermanfaat

1. Jadilah seorang pemimpin. Latihlah rasa tanggung jawabmu.

Apabila guru meminta bantuanmu untuk mengerjakan sesuatu misalnya membersihkan kelas, jangan ragu untuk menerimanya. Ajak beberapa teman kelas dan pimpin mereka untuk membersihkan kelas bersama-sama.

2. Mendengarkan penjelasan guru dengan baik.

Jawablah setiap pertanyaan yang diajukan oleh guru apabila kamu mengetahui jawabannya. Jangan menunggu guru untuk memanggil kamu untuk menjawab pertanyaan.

3. Jangan malu untuk bertanya.

Selalu ajukan pertanyaan kepada guru apabila tidak mengerti tentang sesuatu hal.

4. Kerjakan PR

Kerjakan PR dengan baik, jangan selalu mencari alasan untuk tidak mengerjakannya. Jangan malas mengerjakan PR dengan alasan lupa atau menunda-nunda mengerjakannya. Enak kan kalau kita cepat mengerjakan PR, jadi masih punya banyak waktu untuk bermain dan nonton TV deh!

5. Selalu Mengulang Pelajaran yang Sudah diajarkan

Setiap pulang dari sekolah, selalu mengulang pelajaran yang tadi diajarkan. Nanti sewaktu ada ulangan jadi tidak banyak yang harus dipelajari! Asyik!

6. Cukup istirahat, makan dan bermain.

Semuanya dilakukan secara berimbang. Setelah pulang sekolah, kita sering ingin cepat-cepat bermain dan melupakan segala hal penting lainnya, contohnya makan dan istirahat. Padahal setelah seharian di sekolah, tak terasa badan kita membutuhkan masukan energi tambahan yang bisa didapatkan dari istirahat dan makanan yang kita makan. Oleh karenanya kita harus dapat membagi waktu untuk makan, istirahat dan bermain. Kalau semuanya dilakukan dengan baik, badan jadi segar setiap hari! Jadi tidak sering mengantuk di kelas!

7. Banyak berlatih pelajaran yang kurang disuka.

Apabila kamu tidak menyenangi suatu mata pelajaran, contohnya matematika, maka banyak-banyaklah berlatih, mengikuti kursus atau belajar berkelompok dengan teman. Sehabis belajar bisa bermain dan menambah teman baru di tempat kursus. Selain itu, siapa tahu dari kurang menyukai matematika, kalian malahan menyukainya.

8. Ikutilah kegiatan ektrakurikuler yang kamu senangi.

Cari tahu kegiatan apa yang cocok dan kamu suka. Contohnya apabila kalian suka pelajaran tae kwon do, cobalah untuk mengikuti kursus dari kegiatan tersebut, sehingga selain belajar pelajaran-pelajaran yang diajarkan di sekolah, kalian juga dapat mendapatkan pelajaran tambahan di luar sekolah.

9. Cari seorang pembimbing yang baik.

Orangtua adalah pembimbing yang terbaik selain guru. Apabila ada yang kurang jelas dari keterangan guru di sekolah, kalian dapat menanyakan hal tersebut kepada orang tua. Selain itu, kalian juga dapat belajar dari teman yang berprestasi.

10. Jangan suka mencontek teman.

Kalau mencontek, kamu bisa bodoh karena tidak berpikir sendiri. Lagipula belum tentu, teman yang kamu contek itu menjawab pertanyaan dengan benar. Belum lagi kalau ketahuan guru dan teman lain, malu kan? Kalau kamu rajin belajar, pasti bisa menjawab semua pertanyaan dengan benar sehingga ulangan dapat nilai baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar sahabat sangat membantu untuk perkembangan di blogs kami
berikanlah komentar yang membangun