MENELADANI KEPEMIMPINAN IBRAHIM AS
Segala
sanjungan puja dan puji syukur hanyalah kepada Allah SWT., atas segala karunia
kenikmatan yang kita terima dalam jumlah yang begitu besar sehingga kita bisa
hadir pada pagi hari yang agung ini untuk melaksanakan shalat Idul Adha.
Kehadiran kita pagi ini bersamaan dengan kehadiran sekitar empat juta jamaah
haji dari segala penjuru dunia yang sedang menyelesaikan pelaksanaan ibadah
haji di Tanah Suci. Suara mereka bertaut dengan suara kita, sambung-menyambung
di angkasa raya dalam pujian, takbir, tahlil dan tahmid. Ini karena kita semua
disatukan dalam nikmat terbesar yang diberikan Allah SWT, yakni nikmat Iman dan
Islam.
Prosesi manasik
dalam ibadah haji dan perayaan ‘Idul Adha tidak terlepas dari penapak tilasan
dan mengenang kembali seorang Manusia Agung yang diutus oleh Allah SWT. sebagai
nabi dan rasul, yakni Nabi Ibrahim AS, yang juga diangkat oleh Allah sebagai
Imam/pemimpin untuk menjadi panutan seluruh alam hingga akhir zaman. Keagungan
pribadi nabi Ibrahim beserta keluarga dan pengikutnya, serta keteguhannya dalam
berjuang menegakkan dakwah tauhid dan pemurnian loyalitas manusia kepada Allah,
membuat kita bahkan Nabi Muhammad harus mampu mengambil keteladanan darinya.
Allah SWT. berfirman:
Sesungguhnya
telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersama dengan dia ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami
berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami
ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dengan kamu kebencian dan
permusuhan buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja..” (QS
60:4).
Banyak hal yang
harus kita teladani dari Nabi Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan
beliau, dalam khutbah yang singkat ini akan kami sampaikan tiga hal yang
menjadi isyarat bagi kaum Muslimin untuk mewujudkannya dalam realitas
kehidupan, apalagi bagi kita, kaum muslimin bangsa Indonesia yang masih harus
terus berjuang untuk mengatasi berbagai persoalan besar yang menghantui
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pertama, belajar
dari kehidupan Nabi Ibrahim AS. membuat kita harus memberikan kepedulian yang
lebih besar terhadap kesinambungan generasi yang dapat memperjuangkan tegaknya
nilai-nilai kebenaran. Hal ini karena ketika usia Nabi Ibrahim sudah semakin
tua, kerinduannya pada generasi penerus perjuangan menjadi semakin besar, dan
ia pun harus berdo’a agar Allah SWT. menganugerahkan kepadanya keturunan yang
shaleh. Beliau mengatakan dalam sebuah do’anya:
” Ya Tuhanku,
anugerahkanlah kepadaku seorang anak yang termasuk orang-orang yang shaleh”
Kondisi
generasi muda kita sekarang boleh dibilang cukup memprihatinkan. Kasus-kasus
perzinahan, pemerkosaan, pembunuhan, perkelahian/tawuran, pencurian, narkoba,
AIDS, dan berbagai kasus kriminal lainnya adalah kasus-kasus yang banyak
dilakukan oleh generasi muda kita.
Satu hal yang
harus kita ingat bahwa anak merupakan anugerah sekaligus amanah yang diberikan Allah
SWT kita, maka setiap orang tua harus mensyukuri kehadiran sang anak, apapun
jenis kelaminnya dan bagaimanapun keadaan anak itu. Dalam hal ini anak harus di
didik dengan sebaik-baiknya sebagaimana Nabi Ibrahim dan Siti Hajar yang
mendidik puteranya Ismail dengan sedemikian baik. Sebagai seorang isteri,siti
hajar selalu mendukung sang suami yang aktif berjuang di jalan Allah dan rela
ditinggalkan di satu lembah yang tandus dan tak berpenghuni,namun Siti Hajar
tetap memberikan perhatian kepada anaknya Ismail dengan begitu baik, meskipun
ia harus berusaha mencari rezki sendiri yang dalam hal ini adalah mencari air,
ia pergi hingga ke bukit Shafa, namun ia khawatir pada anaknya, maka ia pun
berjalan kembali untuk melihat anaknya. Ketika dilihat anaknya dalam keadaan
baik, ia pun menuju Marwa.ritual Inilah yang kemudian disebut dengan Sa’I dari
Shafa ke Marwa sebanyak tujuh kali.
Untuk bisa
melahirkan generasi yang shaleh, yang harus menjadi shaleh terlebih dahulu
adalah kita sebagai orang tuanya. Sangat jarang terjadi orang tua mendambakan
anaknya menjadi shaleh sementara ia sendiri tidak shaleh. Hal ini karena
mendidik anak harus dimulai dengan keteladanan yang baik dari lingkungan
keluarganya, karenanya bagaimana mungkin orang tua bisa mendidik anak-anaknya
dengan baik kalau ia sendiri tidak bisa memberi contoh yang baik. Perhatian dan
kepedulian terhadap kaderisasi generasi muda harus menjadi agenda utama setiap
pemimpin dan calon pemimpin bangsa ini, karena di tangan generasi muda lah
terletak masa depan yang diharapkan lebih baik dari masa kini.
Kedua, yang
menjadi pelajaran dari profil Nabi Ibrahim AS. dan keluarganya adalah keharusan
mempertahankan dan memperkokoh idealisme sebagai seorang mu’min yang senantiasa
berusaha untuk berada pada jalan hidup yang benar, apapun keadaannya dan
bagaimanapun situasi dan kondisinya. Begitulah memang, yang telah ditunjukkan
oleh Nabi Ibrahim AS dan keluarganya dalam mempertahankan dan memperjuangkan
ideologi Tauhid dengan hujjah, argumentasi atau alasan yang kuat. Dalam sejarah
Nabi Ibrahim, kita dapatkan beliau menghancurkan berhala-berhala yang biasa
disembah oleh masyarakat di sekitarnya, saat itu Ibrahim adalah seorang anak
remaja, sebagaimana yang tercermin dalam firman Allah SWT yang menceritakan hal
ini: (الأنبياء: 58-60)
“Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu
hancur terpotong-potong, kecuali yang terbesar dari patung-patung yang lain,
agar mereka kembali ( untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata: Siapakah yang
melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan sembahan kami, sesungguhnya dia
termasuk orang-orang yang zalim. Mereka berkata: Kami dengar ada seorang anak
remaja yang mencela tuhan-tuhan ini, namanya Ibrahim”.
Untuk
mempertahankan idealismenya ini, Ibrahim bahkan siap untuk terus berjuang
sampai mati, meskipun harus berjuang di wilayah lain, ia menyebut dirinya
sebagai orang yang pergi (berhijrah) kepada Allah SWT, Tuhannya Yang Esa. Dalam
hal ini Nabi Ibrahim menyatakan di hadapan orang-orang kafir: (الصافات: 99)
” Dan Ibrahim
berkata: Sesungguhnya aku pergi (berhijrah) kepada Tuhanku dan Dia akan memberi
petunjuk kepadaku”.
Oleh karena
itu, idealisme yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim AS tidak hanya saat ia masih
muda belia, tapi bandingkan dengan suatu peristiwa yang amat menakjubkan, saat
Ibrahim diperintah oleh Allah SWT untuk menyembelih puteranya, Ismail, dalam
peristiwa pengorbanan yang sangat terkenal itu, saat itu Ibrahim sudah sangat
tua, sedangkan Ismail adalah anak kesayangannya yang sangat didambakan sejak
lama. Maka Ibrahim pun melaksanakan perintah Allah SWT yang terasa jauh lebih
berat dari sekedar menghancurkan berhala-berhala di masa mudanya. Ini
menunjukkan kepada kita bahwa Nabi Ibrahim AS memiliki idealisme sekaligus
loyalitas dan totalitas yang tinggi kepada Allah semenjak masih muda sampai ia
sudah tua. Dan inilah yang amat dibutuhkan dalam kehidupan di negeri kita,
jangan sampai ada generasi yang pada masa mudanya menentang kezaliman, tapi
ketika ia berkuasa pada usia yang lebih tua justeru ia sendiri yang melakukan
kezaliman yang dahulu ditentangnya itu. Jangan sampai ada generasi yang semasa
muda menentang korupsi, tapi saat ia berkuasa di usianya yang sudah semakin tua
justeru ia sendiri yang melakukan korupsi padahal dahulu sangat ditentangnya.
Dalam kehidupan sekarang, kita dapati banyak orang yang tidak mampu
mempertahankan idealisme atau dengan kata lain tidak istiqomah sehingga apa
yang dahulu diucapkan dan diperjuangkan tidak tercermin dalam langkah dan
kebijakan hidup yang ditempuhnya, apalagi hal itu dilakukan karena terpengaruh
oleh sikap dan prilaku orang lain, teman sejawat atau kelompoknya yang tidak baik.
Karena itu, Rasulullah SAW, mengingatkan dalam haditsnya:
Janganlah kamu
menjadi orang yang ikut-ikutan dengan mengatakan, kalau orang lain berbuat baik
kami pun berbuat baik dan kalau mereka berbuat zalim kami pun akan berbuat
zalim. Tetapi teguhkanlah dirimu dengan berperinsip: jika orang lain berbuat
kebaikan kami berbuat kebaikan pula dan kalau orang lain berbuat kejahatan maka
janganlah kamu berbuat zalim (seperti mereka).
Ketiga, dari
sekian banyak ‘Ibrah dari pribadi Nabi Ibrahim dan keluarganya adalah pelajaran
tentang kepemimpinan (Imamah). Di mana Allah telah memilih Nabi Ibrahim sebagai
pemimpin bagi umat manusia atas berbagai prestasinya yang gemilang dalam banyak
ujian yang telah dilaluinya. Dalam hal ini Allah menyebutkan dalam Al Qur’an:
” Dan
(ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan
larangan), lalu Ibrahim menunaikannya secara sempurna. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu pemimpin bagi seluruh manusia”. Ibrahim
berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: ” Janjiku
ini tidak mencakup orang-orang yang zalim”.
Ujian Allah
terhadap Nabi Ibrahim AS. cukup banyak, diantaranya, perintah untuk berdakwah
memurnikan ketauhidan ummat manusia yang telah terkontaminasi oleh perbuatan
syirik (menyekutukan Allah), perintah menyembelih puteranya Ismail, membangun
Ka’bah dan membersihkan Ka’bah dari kemusyrikan, menghadapi raja Namrudz dan
lain-lain. Selanjutnya Allah mengangkat Ibrahim sebagai pemimpin bagi manusia.
Pemimpin yang menjadi tauladan yang baik dan berlaku bijak dan adil terhadap
rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin manusia di bidang misi risalah yang
diembannya dari Allah SWT, di bidang kehidupan beragama, politik, hukum,
ekonomi dan lain-lain. Pemimpin yang berjuang untuk mengangkat martabat
rakyatnya agar menjadi bangsa yang punya ‘izzah, berwibawa di mata Allah dan di
dalam percaturan dunia. Tetapi Nabi Ibrahim berharap agar kepemimpinannya itu
kelak akan diwariskan kepada anak cucunya, tetapi Allah memberikan ketentuan
bahwa Imamah atau kepemimpinan ini tidak akan diberikan-Nya kepada orang-orang
yang berbuat zalim; zalim terhadap dirinya dengan berbuat syirik (menyekutukan)
kepada Allah, atau berbuat zalim kepada umat manusia dengan cara mengkhianati
amanah yang telah dipercayakan kepadanya. Di dalam sejarah, kita mengenal
banyak nabi dan rasul yang diutus oleh Allah untuk menjadi pemimpin manusia
dari anak keturunan Nabi Ibrahim AS, dan yang terakhir adalah Nabi kita
Muhammad SAW. Tapi tidak jarang dari anak keturunan Ibrahim yang berlaku zalim
seperti orang-orang Yahudi dan bangsa Arab Jahiliyah yang tidak mampu mewarisi
misi dakwah yang dibawa oleh Nabi Ibrahim AS, yang akhirnya Allah menghinakan
mereka.
Di dalam
kehidupan kekinian, cukup relevan untuk dikemukakan bahwa di dalam memilih
pemimpin haruslah kita berhati-hati, jangan sampai kita memilih orang yang
zalim sebagai pemimpin kita; karena sudah dapat dipastikan Allah akan
menghancurkan orang-orang yang zhalim, dan kita yang memilihnya pun akan ikut
binasa. Allah berfirman:
“..maka Tuhan mewahyukan kepada para rasul:
Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zhalim”. (Ibrahim:13).
Dan di akhirat,
para pemimpin yang zalim dan para pemilih dan pengikutnya akan sama-sama
disiksa di neraka dengan azab yang sangat pedih. Mari kita simak firman Allah
berikut ini:
“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan
(atau disate) di neraka, mereka berkata, ‘alangkah baiknya seandainya kami taat
kepada Allah dan taat pula kepada Rasul. Dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami,
sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami,
lalu mereka menyesatkan kami dari jalan kebenaran. Ya Tuhan kami, timpakanlah
kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang
besar”.
Kepemimpinan di
dunia ini memang terkadang jatuh ke tangan orang-orang yang zalim akibat
lemahnya orang-orang yang shaleh, padahal orang-orang shalehlah yang paling
berhak menjadi pemimpin di muka bumi ini. Allah berfirman:
“..Sesungguhnya bumi ini akan diwarisi oleh
hamba-hamba-Ku yang shaleh“.
Berbagai
prilaku arogan yang dipertontonkan oleh orang-orang zalim di dunia kini adalah
akibat dari kelemahan orang-orang shaleh, praktek-praktek buruk seperti
korupsi, kolusi, nepotisme dan berbagai ketidak adilan dalam pemerintahan yang
dilakukan orang-orang yang zalim adalah akibat dari lemahnya orang-orang yang
shaleh. Karena itu orang-orang yang beriman haruslah memilih orang yang shaleh
yang memiliki visi dan misi kepemimpinan sebagaimana misi kepemimpinan nabi
Ibrahim, yakni misi dakwah dan reformasi di semua sektor kehidupan. Barangsiapa
yang memilih orang zalim sebagai pemimpinnya, maka ia ikut bertanggung jawab
atas semua kezalimannya di hadapan mahkamah Allah SWT dan bertanggung jawab
juga kepada rakyat.
Untuk memilih
pemimpin yang shaleh, kita dapat melihat track record kepribadiannya di masa
lalunya, secara vertikal ia harus baik hubungan ibadahnya kepada Allah SWT, dan
secara horisontal ia selalu berbuat adil dan bijaksana serta penuh kasih sayang
dan berakhlak baik kepada sesama manusia. Kondisi akhlak dan pendidikan
keluarga dan anak-anaknya. Karena atas dasar inilah Nabi Ibrahim dipilih oleh
Allah SWT. sebagai imam (pemimpin) bagi semua manusia. Hanya dengan kejelian
dan penuh rasa tanggung jawab kita dalam memilih pemimpin yang shalih, beriman
dan bertakwa serta memiliki dedikasi yang tinggi kepada Sang Khalik, di samping
berakhlak mulia dan penuh kepedulian kepada sesamanya, negeri ini diharapkan
dapat keluar dari krisis multidimensi, dan menjadi negeri yang penuh berkah dan
maghfirah dari Allah SWT. “Baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofuur”.
Dari uraian
khutbah kita yang singkat pada pagi ini, dapat kita simpulkan bahwa sebagai
seorang Muslim kita sangat dituntut untuk menunjukkan komitmen atau keterikatan
dan loyalitas kita kepada Allah SWT. dengan menegakkan nilai-nilai Islam yang
telah diturunkan-Nya, sebagai apapun kita dan di manapun posisi kita, baik
dalam kehidupan berkeluarga, atau bermasyarakat dan berbangsa. Karenanya,
Rasulullah SAW berpesan kepada kita agar selalu bertaqwa kepada Allah SWT di
manapun kita berada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar sahabat sangat membantu untuk perkembangan di blogs kami
berikanlah komentar yang membangun